Tentang Perundungan: Belajar dari Kasus Ferdian dan Rizal

Saya ingin memulai tulisan ini dengan mendefenisikan kata bullying, yang dalam Bahasa Indonesia disebut dengan istilah merundung. Dalam KBBI dijelaskan defenisi merundung, salah satunya adalah: menyakiti orang lain, baik secara fisik maupun psikis, dalam bentuk kekerasan verbal, sosial, atau fisik berulang kali dan dari waktu ke waktu, seperti memanggil nama seseorang dengan julukan yang tidak disukai, memukul, mendorong, menyebarkan rumor, mengancam, atau merongrong.

Mengapa saya perlu defenisikan di awal? Karena yang terakhir adalah kamu.

***

Kita dibuat terperanjat, sedih dan sekaligus marah ketika seorang YouTuber bernama Ferdian dengan santai dan tanpa rasa bersalah membagikan bantuan sembako berisi sampah pada para transpuan (transgender perempuan) di pinggir jalan. Praktis, aksinya tersebut menyulut amarah para netizen, serupa api membakar sekam. Hujatan tetiba membakar jagat maya, sumpah serapah membanjiri sudut-sudut hati kita.

Kita marah, sangat marah, lalu meminta polisi menangkap pelaku secepatnya, tindakannya sungguh tak dapat dibenarkan: mencederai rasa kemanusiaan. Ditambah, tak lama setelah videonya itu viral, ia kemudian membuat video permintaan maaf, tapi bo’ong. Kemarahan kita bertambah, mukanya ngeselin tau gak. Saya yakin, banyak dari kita yang melihat videonya sembari mengepalkan tinjunya. Tetiba menjadi Floyd Mayweather, Jr atau Manny Pacquiao. Namun, sayang sungguh sayang, kita mengutuk tindakan Ferdian dengan cara-cara yang sama tidak manusiawinya. Perundungan, akhirnya dibalas dengan perundungan. Sejak kapan api bisa memadamkan api?

Tak berhenti di situ. Tatkala Ferdian tertangkap, perlakuan yang diperoleh tak kalah menyayat hati. Lewat video yang beredar, terlihat kepala Ferdian dan temannya sudah digunduli (sampai di sini saya tak mengerti, mengapa harus gundul), plus hanya mengenakan celana dalam, di antara para tahanan yang berpakaian lengkap. Tahanan yang lain, juga meminta Ferdian untuk melakukan squat jump dan push up. Ia sungguh menjadi bulan-bulanan para tahanan. Nampaknya, kebencian para tahanan sudah sampai ke ubun-ubun. Masih dalam kondisi seperti itu, terlihat salah satu dari Ferdian dan temannya masuk ke dalam tong sampah berwarna kuning, sementara yang lainnya mendorong tong sampah itu. Tak sampai di situ, masih dalam video yang beredar, Ferdian kemudian dipaksa mengatakan ‘aing belegug’ (saya bodoh) oleh tahanan lain.

Kadang saya berpikir, tanpa sadar, kita telah menjadi Ferdian-Ferdian lain. Tindakan kita tak ada bedanya dengan yang dia lakukan. Kita sepertinya salah menembak peluru, bukankah semestinya yang kita benci adalah tindakannya? Kalau demikian, mengapa membalasnya dengan tindakan yang sama? Lantas apa bedanya Ferdian dengan kita?

Saya tahu, kita semua marah. Saya pun demikian. Ketika melihat video Ferdian, saya sungguh marah. Mungkin kemarahan saya jauh lebih besar dari yang lain. Saya telah membuang-buang kuota hanya menanamkan setitik kebencian dalam hati. Saya juga ingin menumpahkan hujatan saya di kolom komentar, meski masih enggan saya lakukan. Saya mencoba menahan diri, saya tak mau kalah oleh amarah sesaat. Namun, ketika kemudian beredar video perundungan yang dialami oleh Ferdian. Saya merasa kasihan pada diri saya sendiri, pada kita semua. Ternyata, naluri dalam diri kita untuk merundung yang lain itu ada. Mungkin baru sekarang naluri itu menyeruak, karena menemukan orang dan memontum yang tepat. Lantas, mengapa kita menghujat Ferdian ketika yang kita lakukan juga sama?

Tanpa sadar, kita meninggikan kemanusiaan, sembari merendahkan kemanusiaan. Membela kemanusiaan, tapi di sisi lain menyerang kemanusian. Ahhh, apa pula arti kemanusiaan itu? Bagaimana pula kita membahasakannya? Rasanya, akhir-akhir ini kemanusiaan itu menjadi asing bagi manusia.

Kita tak pernah tahu bagaiaman perasaan Ferdian diperlakukan seperti itu. Saya kemudian ingin mengutip pendapat Ibu Fitriani, Akademisi Fakultas Psikologi dan Pendidikan Al Azhar Indonesia yang dimuat di situs merdeka.com.

Beliau menilai perlu digali lebih dalam sosok Ferdian. Pertama, katanya, soal konsekuensi yang diterima, apakah benar-benar disukai atau tidak. Kedua dalam porsi yang cukup, tidak kurang ataupun berlebihan. Bu Fitri menambahkan, bahwa porsinya haruslah pas. Jika kurang, tidak akan menimbulkan efek jera dan pelaku kemungkinan akan mengulangi tindakan negatifnya. Dan jika berlebihan, maka pelaku malah memiliki hasrat balas dendam yang mungkin bisa lebih negatif pasca hukuman selesai.

Saya berpendapat, ketika Ferdian ditangkap, oke selesai. Biarlah kemudian polisi bekerja sesuai dengan prosedur yang ada. Kita sudah membantu memviralkan videonya, dan itu baik, karena polisi dengan sigap melakukan penangkapan. Setelah itu, hilangkan amarah, meski tak mudah. Kebenciaan harus dikubur dalam-dalam. Api dendam mesti dipadamakan, secepatnya.

***

Kemarin, aksi serupa kemudian berulang. Seorang anak bernama Rizal (12) penjual jalangkote mendapat perlakuan kasar dari sekelompok anak muda. Ia ditertawakan, dipukul dan didorong hingga terjungkal. Dalam salah satu situs berita, aksi perundungan dilakukan karena si pelaku merasa paling preman di daerah itu. Ada perasaan superior di antara yang lain. Perasaan lebih baik, lebih berkuasa. Yang demikian itu sungguh berbahaya, bisa menggiringmu masuk sel penjara. Semoga cukup penjara, tak sampai neraka.

Tak lama, videonya pun viral, pelaku perundungan kemudian ditangkap. Hujatan, cacian dan makian kembali menyeruak. Saya tak ingin membahas Bang Kumis ini banyak-banyak. Kan, sudah diproses juga dengan kepolisian. Saya ingin membahas Dik Rizal, korban perundungan itu.

Dalam sebuah situs berita, dikatakan bahwa Rizal menjaul jalangkote ini atas inisiatif pribadi, menurut keterangan ibunya. Ia, ingin membantu Ibunya mencari uang, agar bisa membeli popok bayi untuk adiknya yang baru berusia satu bulan. Dalam sehari, Rizal bisa membawa pulang 10 ribu. 5 ribu untuknya, 5 ribu untuk Ibunya. Ahh, Rizal, kau menampar kami semua. Kau hebat. Sangat hebat.

Lebih lanjut, Ibunya sudah pernah mendapat laporan bahwa Rizal ini sering diganggu saat berjualan, dan meminta Rizal untuk berhenti saja. Namun, permintaan Ibunya itu justru membuat Rizal menangis, setelahnya ia masih tetap berjualan tanpa memberitahu Ibunya. Rizal khawatir, tak bisa lagi memberikan uang pada Ibunya. Ahh, Rizal, kau menamparku lagi, kadang kami masih sering menyembunyikan uang dari Ibu. Agar bisa membeli kesenangan lain, kami tak sadar, bahwa Ibu adalah kesenangan abadi yang tak bisa dibeli.

Di hari yang sama setelah dirundung, Rizal pulang ke rumah langsung mencium adiknya dan meminta maaf, tak bisa lagi membelikan popok, ia tak lagi mau berjualan. Rizal trauma. Ketika ditanya Ibunya, ia enggan menceritakan masalah yang dihadapinya, tak mau membuat Ibunya khawatir. Ahh, Rizal, masalah kami justru diselesaikan oleh Bapak-Ibu kami. Kau hebat, Dik.

***

Kita patut bersyukur, setelah videonya viral. Rizal kemudian memeroleh banyak bantuan. Saya tak usah menyebutkannya satu persatu, medsos kita sudah riuh mengabarkan. Saya kemudian hanya berharap, bahwa dengan kebaikan yang dilakukan oleh orang-orang pada Rizal, bisa sedikit menghapus memori buruk perlakuan sebagian orang padanya. Mengobati luka di hatinya yang suci. Dunia kita, penuh dengan orang-orang baik, Dik Rizal. Sebenarnya, masih banyak Rizal-Rizal di luar sana: di jalan, di bawah jembatan, di tempat-tempat sampah. Saya kemudian tak ingin, kita baru peduli, setelah mereka di-bully. Meski, saya juga yakin, sudah banyak saudara-saudara kita yang bekerja tanpa publikasi apa pun. Semuanya lumrah saja di era kita yang sekarang.

Walakhir, kehidupan akan terus memproduksi orang-orang seperti Ferdian dan Rizal: manusia yang merasa berhak melakukan apa saja terhadap orang lain, dan manusia yang lemah, tak berdaya seperti Rizal. Lantas apa yang harus kita lakukan? Pertama, hilangkan kebencian dalam diri, dan belajarlah memaafkan.

 

Ilustrasi: detotabuan.com

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *