Indahnya Belajar dari Ulat

 

Ulat adalah hewan kecil menggelikan, memiliki daur hidup yang kemungkinannya berakhir indah. Sebagian ulat mampu bermetamorfosis menjadi kupu-kupu bersayap indah, membuat takjub setiap orang. Meski sebagian ulat, tak mampu melakukannya. Untuk menjadi seekor kupu indah, ada tahapan rumit yang mesti dilalui. Prosesnya pun tak sebentar.

Ada Apa dengan Ulat?

Ulat diidentikkan dengan sampah, bakteri, penyakit, ilmu sihir, dan dosa. Saat ulat mengerubungi makanan kita, sebagian merasa jijik memakannya. Alih-alih membersihkan, mungkin langsung melemparnya ke tong sampah dengan perasaan mual.

Terkait hewan kecil ini, Tuhan tak segan memakainya untuk menguji iman Nabi Ayyub. Penyakit ganas-menakutkan yang diderita Ayyub, membuat umatnya lari dan menjarakkan diri dari Nabi malang ini. Mengapa?

“Ulat dan belatung, berjubel di luka borok kaki Ayyub.”

Para tukang sihir juga tertarik menggunakan ulat sebagai wasilah teror ruhiah. Ulat dan belatung menjadi simbol adanya buhul antara tukang sihir, santet, dan korbannya.

Ulat juga identik dengan bau busuk, bangkai, kotor, dan sesuatu yang dibiarkan tanpa pernah dibersihkan. Di sana ulat dan belatung akan berkumpul. Jika ini benar, maka mungkin saja ulat juga berkerubung di jiwa-jiwa yang tak pernah dibersihkan, dibiarkan kotor, penuh dosa, hitam, bau, dekil, dan menyeruakkan aroma busuk yang menusuk.

“Jika saja bau busuknya dosa tercium oleh manusia, maka tak seorang pun mau saling mendekat,” ujar para Arif di buku-buku komentar Doa Kumail ibn Ziyad. Mari belajar dari ulat!

1-Transformasi Jati Diri: Ulat pun belajar!

Apa pun penilaian kita, ulat (larva) adalah bagian dari masa lalu sang kupu. Ada masa-masa tak indah secara bentukan fisik (materi), masa pra-transformasi. Meski secara dzat, ulat hanyalah hewan kecil, lemah, menjijikkan, dan sering dipandang remeh; namun tekad memperbaiki kualitas diri menjadi kupu indah, tak sepatutnya diabai.

Terlepas dari semua, mungkin menjadi ulat jauh lebih enak dibanding menjadi manusia dengan sifat jiwanya yang kompleks. Proses hidup yang dijalani ulat untuk sebuah perubahan, jauh dari kata repot. Tanpa ilmu pengetahuan yang rumit, ulat menjalani masa-masanya menuju identitas sempurna (kupu-kupu), tanpa khawatir terjatuh lagi ke bentukan lama (telur, larva, dan kepompong). Kepastian pasca sempurna bagi ulat, hanyalah kematian yang indah.

Kondisi ini tentu berbeda dengan jiwa manusia, sebab ada masa-masa di mana jiwa melaju bak cahaya menuju sempurna -tanpa kendala dan gerak balik. Tapi ada pula yang terlempar dari medan, jatuh terjerembab di palung gelap masa lalu. Ada jiwa-jiwa yang masih terus berjuang dan jatuh bangun. Ada sakit-airmata. Ada tangisan jiwa yang perlu untuk dipahami dan dimengerti jeritannya.

Untuk memerdekakan dan membahagiakan jiwa, diperlukan ilmu perngetahuan (marufatun nafs, dan lainnya). Setiap orang yang mengimpikannya secara sadar, tentu bergegas mencari sumber pengetahuan ini. Sebab mengabaikannya berlama-lama, akan menyisakan kegelisahan yang tak kunjung reda.

2-Bagaimana Bertahan Hidup: Ulat Berpuasa!

Dalam sebuah makalah Fisiologi, karya B. Martinez dan R. M. Ortiz, terdapat hubungan antara puasa (fasting, atau masa-masa kurangnya suplai makan pada hewan), kadar insulin, pencapaian keseimbangan, dan keberlangsungan hidup beberapa hewan.

Menurut kedua peneliti, untuk dapat bertahan hidup lebih lama, beberapa hewan butuh masa-masa mengurangi ketergantungan makanan. Kondisi tubuh hewan di masa-masa ini, resisten terhadap insulin. Keadaan ini memastikan otak (secara alami) memetabolisme glukosa dalam tubuh secara baik. Kadar glukosa yang cenderung stabil saat berpuasa, mempengaruhi kemampuan hormon-hormon lain untuk menjalankan fungsinya secara baik dan normal.

Keseimbangan yang dicapai ini sangat penting bagi kelangsungan hidup hewan yang secara berkala mengalami proses hibernasi, regenerasi, migrasi, ganti kulit, maupun transformasi identitas. Untuk mendapatkan identitas baru dan masa depan cerah, ulat rela berpuasa; menahan kesenangan untuk beberapa waktu.

Lalu bagaimana dengan manusia? Mungkin hasil penelitian Martinez dan Ortiz dapat menjelaskan teori keseimbangan jiwa, bahwa mengapa para pertapa rela menjalani masa-masa puasa, tak makan, minum, dan bergelut dengan hal-hal duniawi. Para pertapa giat mendisiplinkan jiwa ulat mereka dari kegiatan makan dan minum, semata untuk meraih keseimbangan dan keindahan jiwa kupu-kupu.

Rumi (1207-1273) dalam syairnya, sebagaimana dikutip oleh Firdaus, D. dalam tulisannya, “Puasa dan Transformasi Spiritual”, menggambarkan bagaimana jiwa dalam proses trasformasinya, terbakar oleh api puasa. Energi puasa menghantarkan ruh manusia mendaki naik menuju kesempurnaan. Saat ruh dalam proses pendakian sempurna, hawa nafsu menuju titik nadir; hingga terkendali sepenuhnya oleh jiwa muni. Pada kondisi ini, menurut Maulana Rumi, jiwa siap menerima limpahan cahaya Ilahi. Jiwa ini menjadi jiwa yang diridhai, tenang, dan bahagia (al Nafs al Mardhiyah, dan al Nafs al Muthmainnah)

Rumi bersyair:

Jika otak dan perutmu terbakar api puasa,
maka baranya meletup-letup di dadamu.
Dengan api itu, setiap waktu kau akan membakar seratus hijab.
Kau akan mendaki seribu derajat di atas jalan,
serta dalam hasratmu.

Untuk bertransformasi spiritual ala Rumi, tentu tidak lebih mudah dari transformasi identitas ala ulat. Proses meninggalkan jiwa masa lalu (pertobatan), diperlukan ketulusan niat dan kesungguhan. Hingga api yang membakar, melalap jiwa-jiwa berdosa kita, mengoyak hijab-hijab, dan mengangkat derajat kita beribu kali lipat.

Tidak seperti jiwa ulat; jiwa manusia butuh pada pelatihan jasmani-ruhani yang disiplin. Tapi apa pun itu, keduanya mensyaratkan lapar untuk menghasilkan kualitas keseimbangan alam yang lebih baik.

3-Energi Murni: Ulat Ber-takhannus!

Disebutkan bahwa ber-takhannus (mengasingkan diri dari kehidupan luar) mampu menciptakan energi murni dan berbagai keseimbangan fisiologi-kejiwaan. Di kitab-kitab suci diceritakan, bahwa para Nabi mentradisikan hening untuk menajamkan hati, menyahuti suara dari Poros Langit. Dari Nuh, Ibrahim, Daud, Sulaiman, Musa, Isa, hingga Muhammad al Mustafa; semua mencintai dan mensyaratkan takhannus untuk meraih kualitas jiwa yang murni, berkilau, lemah lembut, peka dan merobek hijab. Dipercaya, kaidah takhannus juga mendatangkan ilmu pengetahuan dan kearifan tinggi bagi para petarekatnya.

Untuk mencapai keindahan fisikal-sempurna, ulat dalam tahap kepompong menjalani takhannus dan mengasingkan diri dari kehidupan luar. Ada masa di mana, untuk mencapai tahapan hidup dan derajat tinggi; manusia pun butuh berhening diri.

Betapa banyak manusia hilang di dunia luar, hanya karena lupa diri sendiri. Tidak sedikit dari jiwa-jiwa ini menjadi terasing dalam tubuh jasmaninya sendiri. Menderita pada jiwa!

4-Menuju Sempurna: Ulat Disiplin dan Bersabar!

Tersebutlah sebuah kisah. Syahdan, di kampung Ulat, Ahriman menemukan seekor ulat indah, seribu rupa warna. Lelaki pun terpesona dengan ruas badan ulat yang tak biasa. Ia berniat membantu sang ulat tumbuh dan bertransformasi menjadi seekor kupu yang indah.

Hari demi hari, sang ulat dijamu dengan dedaunan segar dan minuman embun. Hingga musim semi pun berganti. Musim panas selesai. Namun ulat masih betah berselimut pupa.

Lelaki Ahriman gelisah. Setia dipandanginya jubah sang ulat yang masih menutup. Ia duduk terpaku, menanti. Hingga di satu hari, tampaklah kepada sang kupu menyundul lapisan pupa, memaksakan tubuhnya menembus jubah. Tapi sayang, setelah berjam-jam dinanti, sang kupu tak kunjung tiba. Hingga hilanglah kesabaran lelaki itu. Ia memutuskan untuk membantu sang kupu untuk keluar dari kepompong. Ia menarik belatinya, dan menoreh pupa dengan hati-hati. Usahanya tak sia-sia. Dalam hitungan detik sang kupu pun keluar dari pupa.

Tapi apa yang terjadi kemudian? Tak disangkanya, sang kupu tak kuasa terbang bebas. Hanya berputar-putar di tempatnya. Sesekali diam, sesekali jatuh bangun. Kakinya begitu lemah, tak sanggup menyokong tubuh dan dua sayap indahnya. Sang kupu bahkan tak mempu mengepak sayap. Akhirnya, lelaki Ahriman hanya bisa diam dan menyesal dengan usahanya, memaksa ulat menyempurna dalam prosesnya.

Terkadang kita kalah sabar dengan ulat kecil. Untuk bertransformasi eksistensial, manusia terkesan ingin cepat sampai dan terpenuhi citanya. Semua serba instan. Akibatnya, beberapa jalan tarekat (madrasah pendisplinan jiwa), alih-alih menyempurnakan; malah menyakiti jiwa. Beberapa (bahkan) berakhir di klinik dan rumah-rumah rehabilitas jiwa.

5-Di masa Pandemi: Ulat Bersedekah!

Para pertapa percaya dan rela menjalani masa-masa puasa, tak makan-minum, dan mencampuri hal-hal duniawi; mampu mengantarkan jiwa pada keseimbangannya. Keheningan meditasi-puasa sangat diyakini ikut menyumbang energi keseimbangan bagi alam semesta. Energi keseimbangan apakah yang dimaksud?

Anggap saja energi keseimbangan itu, adalah energi positif. Tak jahat, sebab terimbangi oleh energi murni dan kebaikan. Energi yang tidak serakah (individual), sebab telah terbayar oleh kedermawanan (sosial) di masa-masa jiwa berpuasa. Energi yang tidak liar oleh syahwat dan hawa nafsu, tapi tunduk penuh damai, hening, tenang, menguatkan, dan menyehatkan.

Semoga pantas untuk diklaim, bahwa di masa-masa Pandemi Covid-19, jiwa-jiwa yang berpuasa di bulan Ramadan tahun ini, adalah penyumbang terbesar energi keseimbangan bagi semesta alam. Semogalah, berkah puasa tahun ini turut mengantar kesadaran kita bagai ulat, bersedekah tak saja dalam bentuk uang dan material; tapi juga energi positif bagi semesta raya.

Semoga bersedekah dengan sepotong esai Ramadan di Kalaliterasi, pun termasuk di dalamnya. Eid Mobarak! Minal Aidin wal Fa Idzin. Mohon Maaf Lahir Batin.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *