Namanya Rebecca Walter, dia seorang profesor di bidang komunikasi. Gayanya jangan ditanya. Sepatu boots, jeans casual ala Boot Cut Jeans, dan kemeja polos lengan 3/4 jadi busana andalannya kala mengajar. Pada mata kuliah komunikasi budaya yang diampunya hari ini, dia meminta pendapat kami tentang pandemi corona dan bagaimana ia memunculkan xenophobia dalam masyarakat Amerika yang majemuk.
Xenophobia adalah perilaku kebencian yang diarahkan pada orang asing, ras, atau kelompok tertentu. Saya pun mengacungkan tangan dan menjelaskan bahwa banyak warga kulit putih Amerika menganggap orang-orang Asia sebagai biang kerok munculnya Covid-19. Mereka tak mau ambil pusing orang asia siapa yang mereka maksud. Mereka sapu rata saja mem-bully semua orang Asia. Mereka mungkin lupa, kalau Sebagian besar orang-orang Asian-America ini boro-boro pernah mudik ke Cina, mengingat nama kakek-nenek leluhurnya saja mereka mungkin sudah lupa.
Lebih dalam, kepada Rebecca saya menjelaskan, di Indonesia, fenomenanya berbeda, xenophobia tidak terlalu marak di sana, namun kebencian dan bully terhadap orang-orang asli yang berasal dari komunitas itu sendiri sangat terasa. Ada perawat yang diusir dari indekosnya, dan juga ODP yang dikucilkan warga.
Dia tiba-tiba menyela pembicaraan saya dan mengatakan “Hofstede Cultural Dimension”. Saya pun mengiyakan. “Ya, itu jawabannya”. Geert Hofstede, seorang sosiolog ternama dalam teori dimensi budayanya membedakan pola interaksi antara budaya barat dan timur. Salah satu dimensi yang dibahas dalam teorinya adalah tentang Individualistic Society dan Collectivistic Society. Orang Amerika itu bersifat individualis, para tetangga jarang yang kenal satu sama lain, tidak ada yang namanya teman sekampung karena hampir mereka semua bukan asli daerah itu. Mereka juga gemar berpindah-pindah hunian dan gemar mengganti pekerjaan bila sudah bosan.
Kurangnya keterikatan sosial inilah, yang menjadikan sasaran ketakutan dan kemarahan orang Amerika, lebih bersifat umum dan diarahkan pada ras atau kelompok masyarakat tertentu. Untuk hal prasangka kejahatan misalnya, mereka kadang mengasosiasikannya dengan ras kulit hitam. Untuk urusan terorisme, ya siapa lagi kalau bukan kelompok Muslim, dan untuk urusan Corona? Ya, orang-orang Asian-american berkulit kuning (Asia Timur) lah yang kena getahnya kali ini.
Rebecca semakin tertarik, dia lalu naik duduk di atas meja. Dosen di Amerika memang sangat slengean dalam urusan formalitas mengajar. Saya lalu melanjutkan. Hofstede mengategorikan kami orang-orang Indonesia sebagai masyarakat collectivist yang cenderung memiliki ikatan historis yang kuat, saling mengenal, dan melebur dalam komunitas yang khas.
Nah sekarang, kenapa untuk urusan Corona, masyarakat kami “sedikit” lebih beringas kepada sesama warga asli sendiri? Karena setelah corona, ada identitas dan segmen baru dalam kehidupan bermasyarakat kami, yakni identitas sebagai Orang Dalam Pemantauan atau ODP. Bila sebelumnya warga desa sangat guyub dengan warga lama namun cenderung waspada dengan warga baru, sekarang, meskipun dengan warga lama, mereka akan merasa tidak aman bila di antara mereka ada yang berstatus ODP.
Setelah menyimak pandangan saya, Rebecca menyimpulkan, “Yes, we don’t have any idea”. Kita tidak punya ide katanya. Kita tidak tahu ke depan bagaimana. Ini adalah era disrupsi. Corona akan mendisrupsi pola lama kita dan menciptakan keseimbangan yang baru, let’s see katanya.
Beberapa minggu kemudian saya pulang ke Indonesia. Jumlah kasus covid-19 yang meroket di Amerika menjadikan semua fasilitas umum termasuk kampus ditutup. Pihak pemberi beasiswa memutuskan untuk memulangkan saya secepatnya dan melanjutkan perkuliahan secara daring di Indonesia. Saya sebenarnya sudah melupakan diskusi dengan Rebecca beberapa minggu yang lalu. Saya menganggap itu hanya sampai di ruang kelas saja. Ternyata tidak. Apa yang saya diskusikan kini saya alami sendiri. Saya menyaksikan bagaimana corona telah mendisrupsi masyarakat tempat asal saya.
Saat tiba di Makassar dan dalam perjalanan pulang ke Bantaeng, banyak yang mengirimkan pesan dan bertanya “Eh, betulan ko pulang? Astaga!”. Pesan ini sangat jelas menggambarkan ada ketakutan dari mereka terhadap kepulangan saya. Beberapa juga bertanya “Eh, ndak bawa jako virus deh?”. Masih banyak pesan dan chat via Whatsapp yang sebagian besarnya adalah bully verbal.
Di tengah kebingungan, saya mencoba mengirimkan email pada Rebecca untuk berdiskusi, tentang apa yang harus saya lakukan terkait permasalahan ini. Dia sangat responsif membalas email. Tidak sampai sehari dia sudah membalas email saya. Dia menanyakan kabar dan kesehatan saya serta memberikan jadwal video call.
Tibalah waktunya kami melakukan video call. Saya menceritakan bagaimana respons masyarakat sekitar dengan status ODP saya dan bully yang saya hadapi. Saya sangat merasakan ketulusan dari matanya. Dia ikut-ikutan stres dan terpukul mendengar itu. Kami mencoba membincangkan beberapa teori komunikasi yang pernah kami bahas dan study case yang dia pahami.
Hampir sejam kami berbicara, tiba-tiba dia menjentikkan jarinya berkali-kali. Dia nampaknya telah mendapatkan ide. Dia meminta saya mengingat-ngingat bagaimana teori tentang identity development lalu menghubungkannya dengan self-appraisal theory. Pembahasan kami cukup panjang bila dibahas di sini, namun satu kesimpulan, dia mengatakan, “Ade, be open! Tell them the truth”. Saya menangkap maksudnya. Dia meminta saya terbuka.
Hasil pembicaraan itulah yang akhirnya mendorong saya membuat semacam self-publication, dan saya menganggap di Facebook lah saya bisa menjangkau lebih banyak orang dibanding media yang lain. Maka jadilah saya membuat sebuah status Facebook tentang status ODP saya dan bagaimana saya berusaha tetap sehat dan waras selama pandemi di Amerika.
Saya juga bercerita tentang upaya saya menjaga physical-distancing selama penerbangan pulang ke Indonesia. Saya bahkan memasang foto tangan saya yang mulai menghitam dan berdarah-darah akibat iritasi oleh hand sanitizer yang telah saya gunakan ratusan kali selama penerbangan demi menghindari terinfeksi. Pada akhir status tersebut, saya mengatakan “Ya, saya ODP, saya mengerti ketakutan anda, dan saya tahu kewajiban saya.”
Lalu apa yang saya dapatkan dari self-publication tersebut? Status Facebook saya berhasil mendapatkan 187 likes, 212 komentar dan dibagikan sebanyak 21 kali. Statistik yang jauh berbeda dibandingkan status facebook saya yang lain. Secara garis besar orang-orang berkomentar “Andai begini semua ki itu orang ODP di’, pasti tenang ki juga”.
Akhirnya saya menemukan jawabannya, “ketakutan”. Ya, mereka takut saya membawa virus, dan tanpa sadar, ketakutan alamiah inilah yang mendorong mereka pada respons-respons negatif seperti bully. Saya mencoba berdamai dengan ketakutan mereka. Ibarat sedang berkomunikasi, status Facebook saya seolah-olah berkata, “Iya, mungkin saya memang telah terkena corona selama di Amerika atau di penerbangan, tapi tenang saja, saya akan stay di rumah, menjaga diri saya, dan juga menjaga kalian. Mohon doakan saya!”
Sumber gambar: Media Indonesia
Pria kelahiran Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan ini adalah alumnus dari UIN Alauddin Makassar jurusan Pendidikan Bahasa Inggris. Saat ini salah satu kesibukan utamanya adalah sebagai ASN di Kantor Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bantaeng. Juga sebagai Direktur Ranu Prima College cabang Bantaeng dan inisiator Ikatan Guru Indonesia ( IGI ).Bantaeng. Dan, bergiat di komunitas Boetta Ilmoe-Rumah Pengetahuan Bantaeng. Telah menerbitkan buku Sawah dan Kebun Kurma di Tengah Laut (2019) dan Mengikat Rindu di Ranting Rapuh (2019).