Urgensi Sikapaccei dalam Melawan Covid 19

 

“Berikanlah yang terbaik dari milikmu, seolah yang akan menerimanya adalah dirimu sendiri. Pemberian mesti dimaksudkan sebagai titik temu antara kemampuan menyatakan kesanggupan dan keterbatasan beban bagi yang menerimanya.” (Sulhan Yusuf, Pesona Sari Diri, 2019).

 

Sikapaccei berasal dari kata pacce. Dalam Wikipedia, istilah pacce diartikan, mengajarkan solidaritas dan kepedulian sosial yang tidak mementingkan diri sendiri dan kelompok. Sehingga sikapaccei dapat diartikan saling memiliki sikap solidaritas, antara satu orang dengan orang lain.

Dengan demikian dalam sikapaccei, perlu hubungan timbal balik, dan kerjasama yang baik. Antara satu orang dengan orang lain. Jika pacce berlaku satu arah, sikapaccei harus timbal balik, bahkan multi arah atau multi pihak.

Istilah pacce biasanya diiringkan dengan istilah siri‘. Siri’ dan pacce merupakan budaya/kearifan lokal suku Bugis-Makassar yang telah ada dan berlaku sejak dahulu dan masih dipertahankan hingga sekarang ini.

***

Virus korona atau Covid 19, adalah virus yang gampang menular dari satu orang kepada orang lain, jika seseorang yang positif bersentuhan atau menyebarkan virusnya melalui bersin dan atau batuk, disadari atau dan tanpa disadari. Sehingga protokol kesehatan yang dikeluarkan pemerintah, untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus ini, antara lain dengan cara menjaga jarak dan menghindari kerumunan atau berkelompok. Pun akhirnya berlaku kebijakan bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah.

Lalu, di mana letak urgensi budaya sikapaccei, bila kita menjaga jarak sosial (social distancing) bukankah dengan pemberlakuan ini, menyebabkan kita tidak bisa bersosialisasi, membangun keakraban, dan kekerabatan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain?

Solidaritas dan kepekaan sosial dalam konteks hari ini, tidak hanya dimaknai saat kita bisa berkumpul, bergerombol, nongkrong, dan berjemaah. Sementara kemaslahatan atau keselamatan orang yang ada di sekitar kita terancam. Karena jarak yang dekat, rapat memudahkan virus ini berpindah-pindah. Terutama bagi mereka yang memiliki imunitas tubuh yang lemah. Apatah lagi jika yang menyebarkan virus ini, termasuk kategori OTG ( orang tanpa gejala) karena fisiknya sehat dan kuat.

Ya, pilihan untuk tetap di rumah, tidak keluar rumah saat tidak terlalu penting atau mendesak, adalah pilihan yang sangat bijak. Meskipun bagi yang memiliki aktivitas di luar rumah, dan sama sekali tak bisa meninggalkannya. Ini merupakan pilihan yang sungguh berat. Oleh karena itu, siklus sikapaccei tidak bisa berhenti pada satu titik atau orang tertentu saja. Tetapi harus selalu bergulir dan saling menguatkan pada seluruh masyarakat.

***

Bagi orang yang tidak terganggu penghasilannya oleh pandemi dan pemberlakuan sosial distancing, harus menanamkan dalam dirinya sikap sikapaccei ini, dan menerapkannya dalam pergaulan sosial sehari-hari pada lingkungan sekitarnya.

Mengulurkan tangan, menyedekahkan sebagian pendapatannya untuk membantu dan menolong tetangga-tetangganya. Tidak memanfaatkan situasi dan kondisi untuk menyulitkan, meresahkan, menjatuhkan, dan mencelakakan sesamanya.

Misalnya, kasus langkanya masker awal merebaknya virus korona ini, disebabkan oleh ulah oknum yang menimbun, membeli secara massal masker yang diperjualbelikan di pasar. Dengan maksud untuk dijual kembali dengan harga yang jauh lebih tinggi atau harga normal. Perilaku yang mementingkan diri sendiri ini, telah menyebabkan rumor dan teror keresahan dan kepanikan di masyarakat.

Beruntunglah budaya sikapaccei masih bertahan dan  melekat dalam masyarakat kita, sehingga perilaku-perilaku menyimpang tersebut dapat diminimalisir. Budaya dan  sikap sikapaccei ini pula, telah melahirkan sikap kerelawanan berbagai pihak. Relawan gugus tanggap covid 19 multi pihak lahir, terbentuk dan tersebar di seluruh daerah. Baik kota hingga ke pelosok desa. Mereka dengan ikhlas, mengulurkan tangannya, membantu pemerintah dan sesamanya untuk mengedukasi masyarakat dalam mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus yang telah memakan korban ratusan ribu jiwa, di berbagai negara ini.

Para relawan ini, ada yang membagi secara gratis hasil kebun atau pertaniannya, menyisihkan sebagian pendapatan, upah atau gajinya. Membuat dan membagikan  alat pelindung diri (kostum untuk tenaga medis, masker, sarung tangan dan lain-lain), sarana kebersihan, secara gratis. Melakukan penyemprotan disinfektan ke rumah-rumah warga, tanpa mengharapkan imbalan dan balasan apapun. Serta mengedukasi masyarakat untuk tanggap, waspada terhadap penyebaran virus ini. Serta memberikan pengarahan dan penerangan terkait virus ini serta suntikan semangat tetap tenang dan tidak panik.

Sikap kerelawan ini tentu saja hadir sebagai bagian dari sikap dan budaya sikapaccei yang masih bersarang dalam sanubari kita. Dan, artikulasi sikapaccei ini, cukup benderang penampakannya di masyarakat Bantaeng, Pun, di seantero pelosok negeri. Ini dapat kita lihat dari banyaknya laporan aktivitas kerelawanan di media daring dan luring.

Kita semua, dapat memberikan bantuan sebagai bentuk kepedulian pada sesama, dengan cara dan dalam bentuk apapun. Yang penting mendatangkan kemanfaatan bagi sesama. Setiap orang harus tergerak untuk membantu sesamanya.

***

Virus ini, awalnya menyerang satu orang. Kemudian menyebar ke orang lain dalam satu keluarga, ke tetangga, ke desa atau kampung lain, kota lain. Menyeberang dan menyerang negara lain, hingga situasinya seperti yang kita rasakan sekarang ini.

Demikian pula, jika setiap orang memiliki sikap empati, solidaritas, sikapaccei. Maka virus ini perlahan-lahan dapat dilawan dan dihentikan penyebarannya. Sebagaimana wabah penyakit yang pernah menyebar sebelum-sebelumnya.

Memperhatikan protokol kesehatan yang telah ditetapkan pemerintah, menjaga jarak, menjaga kebersihan dan kesehatan, serta tidak panik, adalah hal-hal yang bisa kita terapkan untuk diri sendiri dan bisa disampaikan ke orang lain.

Setiap peristiwa, memiliki dua sisi pandang. Negatif dan positif. Sisi negatifnya, membuat kita atau orang-orang di sekitar sakit, kekurangan juga kehilangan. Tetapi sisi positifnya harus membuat kita lebih optimis. Di antaranya, lebih memerhatikan kualitas kesehatan, meningkatkan kualitas hubungan dengan keluarga dan sesama. Menumbuhkan sikap empati ke sesama dan lingkungan sekitar.

Sumber ilustrasi: SuakaOnline

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *