Wisuda merupakan suatu seremonial impian semenjak duduk di bangku perguruan tinggi. Terutama bagi mahasiswa rantau, kalung alumni yang disematkan saat wisuda, menjadi simbol bahwa dana yang digelontorkan orang tua di kampung untuk membiayai pendidikan di kota, tidak terbuang sia-sia. Lalu, bagaimana dengan wisuda yang ditunda bahkan gagal dilaksanakan?
Saya seorang mahasiswa psikologi yang baru menyelesaikan studi. Setela melaksanakan sidang akhir dan merampungkan administrasi, maka hal terakhir yang dinanti setiap mahasiswa akhir adalah wisuda. Saya dan teman-teman yang telah terdaftar untuk mengikuti prosesi Wisuda Periode III Maret 2020 Universitas Hasanuddin, telah mempersiapkan segala sesuatunya guna menyambut wisuda yang diyakini akan mengharu biru. Dua set kebaya, wedges belasan cm, bahkan uang ramah tamah sejumlah Rp500.000 per orang telah kami lunasi. Kami sangat semangat menyambut hari yang dinanti, sampai lupa bahwa Allah selalu punya kehendak-Nya sendiri.
Minggu, 15 Maret 2020, adalah waktu yang dijadwalkan untuk pelaksanaan ramah tamah. Saya dan teman-teman sangat antusias untuk melaksanakan ramah tamah sebagai salah satu rangkaian acara wisuda. Hal ini dikarenakan ramah tamah merupakan fasilitas untuk mengapresiasi orang tua dan dosen atas dukungannya selama menghadapi lika-liku kehidupan kampus. Tempat dan catering telah di-booking, para orang tua juga telah datang dari berbagai penjuru negeri dalam rangka memenuhi undangan anak-anaknya dengan riang gembira.
Rasa antusias kami masih membara hingga beberapa jam sebelum acara dilaksanakan, rektor tiba-tiba mengumumkan pembatalan segala bentuk kegiatan kampus, termasuk wisuda yang notabene akan dilaksanakan dua hari lagi. Bagai didorong dari tebing setinggi puluhan meter, begitulah kira-kira kekecewaan yang dirasakan saat itu. Tidak sedikit dari kami yang menangis terisak karena belum bisa berdamai dengan keadaan. Pun, hanya segelintir yang benar-benar bisa memahami bahwa Covid-19 yang saat itu masih akrab disebut Corona adalah virus mematikan dan memang mesti dicegah sedini mungkin dengan meminimalisir frekuensi kerumunan, termasuk wisuda.
Saya sendiri memahami bahwa keputusan rektor adalah langkah yang benar. Hal ini diutarakan mengingat saya telah mengikuti perkembangan Covid19 semenjak masih mewabah di dataran Cina bulan Januari lalu melalui aplikasi Twitter. Tingginya angka kematian akibat virus ini sukses membuat saya perlahan berdamai dengan diri, sedikit merendahkan ego guna meminimalisir dampak negatif yang tidak diinginkan. Saat itu hati saya bagai kulit teriris yang diberi obat antiseptik. Perih, kecewa, sedih, namun harus tetap diobati agar bisa sembuh, agar segala sesuatu ke depannya tetap berjalan secara optimal.
Akhirnya, pada hari di mana saya seharusnya telah mengenakan toga, saya memutuskan untuk pulang ke kampung, meskipun segala bentuk perasaan negatif juga turut serta duduk di samping saya, di atas mobil sewa yang melaju kembali ke Butta Toa Bantaeng.
Saya melampiaskan kekecewaan saya pada orang tua setiba di rumah. Orang tua dapat merespon dengan baik, bahkan sesekali menyemangati saya dengan mengungkapkan bahwa ada hal lebih baik yang menunggu di kemudian hari. Setelah disemangati sedemikian rupa, saya kemudian mulai mengisi keseharian saya dengan berbagai hal. Saya mulai belajar toefl untuk persiapan pascasarjana, hingga akhirnya saya mulai tertarik mengeksplor segala hal di rumah, termasuk mengurus dapur dan membersihkan. Mengurus dapur dan membersihkan memang adalah hal yang lumrah dilakoni seorang perempuan. Namun, bagi saya yang telah hidup terpisah dengan orang tua semenjak SMP, dua hal ini merupakan hal yang langka saya laksanakan.
Selama di rumah, layaknya lebah yang menggandrungi nektar, menyelesaikan pekerjaan rumah semakin saya geluti. Saya mulai memahami beberapa teknik terbaik dalam menyapu dan mengepel rumah. Saya mulai memahami cara membuat ikan goreng dengan menggunakan asam dan kunyit, membuat bakwan ikan dengan berbagai rempah di dalamnya, hingga mencuci beras agar tidak mudah basi. Semua ini saya pelajari sedikit demi sedikit, hingga akhirnya saya yang meng-handle hampir seluruh urusan dapur dan kebersihan rumah. Bagi saya sebelumnya tidak pernah menetap di rumah lebih dari dua pekan, segala pelajaran ini adalah hal baru yang patut saya syukuri. Andai tidak ada Covid-19 ini, saya tidak yakin apakah saya bisa setelaten ini nantinya, apakah saya benar-benar mampu menjadi perempuan yang ‘utuh’ dan belum sama sekali.
Selain mengurus rumah, saya juga mulai pandai menyetir mobil. Ayah mengajar saya menyetir hampir setiap pagi. Saya pernah menyetir mobil sampai di Tarowang Jeneponto,dan kemudian kembali ke Bantaeng setelah melalui prosedur screening di perbatasan Jeneponto-Bantaeng dengan pengarahan tim Gugus Tugas Covid-19 Pemkab Bantaeng.
Saat melaksanakan screening, saya terkesima dengan betapa sigapnya pemerintah Bantaeng dalam melaksanakan prosedur pencegahan ini. Penyemprotan desinfektan, bilik steril, cuci tangan, dan pengecekan suhu tubuh dengan tertib adalah hal yang masih langka di beberapa daerah lainnya. Saya mengapresiasi kerja keras setiap pihak yang turut serta berkontribusi dalam penanganan Covid-19 di Kabupaten kita tercinta ini. Saya berharap Bapak dan Ibu sekalian senantiasa diberikan kesehatan, kesempatan, dan keikhlasan oleh Yang Kuasa untuk terus berjuang di garda terdepan demi Bantaeng yang sehat dan makmur.
Setelah memperoleh banyak pelajaran selama di rumah, bulan Ramadan kemudian menyambut dengan tentramnya. Isu Covid-19 ini memang belum reda, tetapi semangat untuk beribadah tetap mengangkasa di bulan penuh berkah ini. Orang tua saya yang bekerja dari rumah memiliki banyak waktu untuk beribadah selama bulan puasa ini. Ayah saya bahkan sedikit lagi mengkhatamkan Qur’an yang keenam kalinya.
Saya sendiri baru pertama kalinya mampu mengkhatamkan Quran selama bulan Ramadan, karena Ramadan-ramadan sebelumnya banyak saya habiskan sebagai aktivis di kampus. Ramadan kali ini benar-benar mampu kami lewati secara maksimal. Bagi beberapa sisi kehidupan, Covid-19 memang membawa bencana. Namun, di sisi lainnya, Covid-19 justru membawa berkah jika hari-hari yang dilalui terus dilewati seoptimal mungkin.
Akhirnya, di setiap hambatan yang kita temui, pasti selalu ada hal baik lainnya yang Allah siapkan untuk kita. Covid-19 ini memang menjadi salah satu sumber kekecewaan terbesar saya di tahun ini, tetapi tak bisa dipungkiri bahwa Covid-19 ini pulalah yang mendesak saya belajar berdamai dan menjadi perempuan seutuhnya. Covid-19 memang merugikan banyak pihak dan banyak sisi, tetapi semoga di setiap kerugian yang kita alami ada satu kebaikan yang Allah curahkan melalui doa paling tulus kita.
Semua ini akan terlewati, pasti. Sisa kita yang memilih untuk melelwatinya dengan pembelajaran hidup baru atau dengan keluh kesah tak berkesudahan. Semangat untuk setiap usaha dala mengoptimalkan hidup kembali, semoga saya, kamu, kita se-Kabupaten Bantaeng, bisa kembali menatap cerahnya mentari di keesokan hari tanpa rasa was-was akan Covid-19 ini lagi.
(Tulisan ini merupakan Pemenang Harapan 1 dalam Lomba Menulis Esai Gebrak Ramadhan Bantaeng yang diselenggarakanTim Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Bantaeng. Semula tulisan ini berjudul “Antara Covid-19, Proses Berdamai, dan Belajar Menjadi Perempuan Seutuhnya”)
Sumber gambar: https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20200406/Bahu-Membahu-Bantu-Tenaga-Medis/
Nahdliyati Nur Muhammad, lahir di Bantaeng. Baru saja menjadi sarjana S1 Psikologi Universitas Hasanuddin.