Bagi sebagian orang, filsafat bukanlah hal yang mesti dipelajari atau sesuatu sangat sulit untuk dipelajari dan dipahami. Hal ini bukannya tidak beralasan. Memang perlu diakui, belajar filsafat tidak semudah belajar cara menambah atawa mengurangi bilangan. Oleh karena sifatnya yang analitik dan keharusan menggunakan logika yang sesuai, belajar atau membaca buku-buku filsafat membuat otak “memble” mempelajarinya. Bahkan, bagi sebagian kelompok ultra konservatif-skriptualis memandang filsafat sebagai sesuatu hal sangat-sangat tidak dianjurkan untuk dipelajari dan pada titik ekstremnya malah mendakwahi filsafat sebagai hal yang haram. Akan tetapi, sikap kelompok ultra konservatis-skriptualis tidak akan bahas dikesempatan ini.
Tetapi, benarkah filsafat sedemikian sulitnya untuk dipelajari? Beberapa golongan atau sekelompok orang menganjurkan untuk menggunakan filsafat dalam menghadapi pelbagai persoalan yang tengah dihadapi, tetapi sebagian yang lain justru memandang filsafat terlalu mengawang-awang dan tidak cocok untuk dijadikan sebagai dapur pacu dalam merekonstruksi bahkan sampai pada tataran hidup yang sangat fundamental.
Pertanyaannya, tidak adakah filsafat yang sifatnya benar-benar praktis? Jawabannya tentu ada. Salah satunya adalah filsafat stoa. Filsafat ini berbeda dengan filsafat pada umumnya, karena sifatnya menekankan aspek pengamalan.
Salah satu karya pengantar yang paling cocok buat pemula yang berminat mendalami filsafat ini adalah buku anggitan Henry Manampiring berjudul “Filosofi Teras”. Permulaan buku ini mengantarkan kita untuk melihat bahwa ada keterkaitan antara kesehatan mental dan kesehatan fisik. Diterangkan bahwa apabila seseorang yang sedang mengalami stress atau depresi—atau apa saja yang erat kaitannya dengan kesehatan mental—memiliki efek terhadap kesehatan fisik. Dampak ini disebut sebagai psikosomatik.
Melalui wawancara yang penulis lakoni bersama para ahli, didapati kesimpulan bahwasanya, yang menjadi titik penting terhadap efek psikosomatis yang dihasilkan adalah persepsi kita terhadap gejala kesehatan mental itu sendiri. Berangkat dari hal tersebut, memberikan kita sedikit penyelarasan atau persamaan persepsi tentang grand topic atau big theme yang dibahas oleh filsafat stoisisme.
Kepedulian atau penitikberatan terhadap kesehatan mental membuat stoisisme disebut sebagai filsafat praktis. Karena pada dasarnya, puncak tertinggi pemahaman atas filsafat ini adalah dengan cara mengamalkannya sesering mungkin bahkan perlu diterap-patenkan dengan semaksimal dan seefektif mungkin.
Secara historis, filsafat ini pertama kali dirintis oleh Zeno sekaligus menjadi salah satu filosof peletak dasar utama filsafat ini. Konon, Zeno adalah seorang pedagang kaya dari Siprus yang melakukan perjalanan dari Phoenicia ke Peiraeus dengan kapal laut melintasi Laut Mediterania. Pendek cerita, malang tidak bisa ditolak, kapal yang membawa Zeno beserta barang jualannya karam. Ia tidak hanya kehilangan barang dagangannya yang sangat mahal tapi juga terdampar di Athena. Tentunya, kemalangan nasib ini merupakan sebuah cobaan yang sangat berat apatah lagi hidup menggelandang tanpa harta sepeserpun.
Pada suatu waktu, Zeno berkunjung ke sebuah toko buku di Athena dan menemukan sebuah buku filsafat yang menarik hatinya. Setelah mengembara belajar dari filosof satu ke filosof yang lainnya, kemudian akhirnya Zeno mulai mengajarkan filsafatnya sendiri. Ia senang mengajarkan filsafatnya di sebuah teras berpilar (dalam Bahasa Yunani disebut Stoa). Dan dari situlah, sebutan stoisisme, kaum stoa atau filosofi teras ditujukan kepada inti filsafatnya dan para pengikutnya.
Poin pertama dari inti filosofi teras atau stoisisme adalah menekankan manusia untuk hidup selaras dengan Alam. Keluar dari keselarasan dengan Alam adalah pangkal akan ketidakbahagiaan. Dan hidup dengan keselarasan Alam menurut filosofi teras adalah hidup dengan mendayaguna-aktifkan potensi nalar, akal sehat, rasio, karena itulah yang menjadi pembeda antara manusia dan binatang. Selain penegasan kesesuaian hidup dengan akal sehat, filosofi teras juga meyakini bahwa segala sesuatu yang ada dalam Alam ini saling terkait (interconnected), termasuk segala tetek-bengek yang terjadi dalam hidup kita.
Melawan atau mengingkari apa yang telah terjadi artinya keluar dari keselarasan dengan Alam. Sebagai contoh, menghardik pagebluk Covid-19 yang sedang menimpa adalah sebentuk perbuatan yang tidak selaras dengan Alam. Ketika menghardik pagebluk Corona, secara tidak langsung memperlihatkan hilangnya fungsi nalar dan memperturutkan hawa nafsu. Hidup selaras dengan Alam merupakan sebentuk keyword untuk tetap hidup dengan akal sehat dan tidak kehilangannya yang justru dapat membuat kita berlaku seperti binatang.
Poin kedua dari filosofi teras ini adalah sistem dikotomi kendali. Sistem ini sangat penting untuk mengerti secara mendalam arti hidup selaras dengan Alam. Dikotomi kendali ala stoisisme, menjelaskan ada hal yang berada di luar kendali diri dan ada yang berada dalam kendali diri sendiri. Kedengarannya sepele, tapi mari kita lihat lebih lanjut apa yang dimaksud oleh luar kendali diri dan kendali diri sendiri. Berikut beberapa macam hal yang berada di luar kendali diri: tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kekayan, kesehatan, kondisi saat lahir, segala sesuatu di luar pikiran dan tindakan kita semisal gempa, tsunami bahkan pagebluk Corona.
Adapun yang berada dalam kendali diri sendiri: pertimbangan, keinginan, tujuan dan segala hal yang berkaitan atau yang berada di bawah kendali kita. Sebagai contoh, mengapa pagebluk Corona dan kesehatan berada di luar kendali kita? Karena pagebluk ini lahir tanpa sepengetahuan kita dan memang benar-benar kita tidak dapat mengendalikannya.
Begitu pula dengan kesehatan, masih tetap contoh yang sama, pagebluk Corona, kita tidak bisa meyakini diri kita tidak sakit sementara kita sedang asyik-masyuk bercengkrama dengan para carrier yang tanpa gejala. Benarkah kesehatan tetap dapat kita kendalikan? Benarkah kita bisa mengendalikannya? Jawabannya ada pada para pembaca sekalian. Mungkin sebagian pembaca masih belum bersepakat dengan dikotomi kendali tersebut. Selain dikotomi kendali, juga terdapat trikotomi kendali. Trikotomi kendali menjelaskan bahwa hal yang berada di luar kendali kita memang masih terdapat SEBAGIAN andil kita dan SEBAGIAN berada di luar andil kita.
Beberapa hari belakangan ini, tagar Indonesia terserah, terserah Indonesia menjadi viral. Dikarenakan anjuran physical distancing tidak lagi ditaati oleh masyarakat. Mungkin karena jemu atau bosan, gampang saja masyarakat menghablur berbondong-bondong di keramaian. Sontak laku lakon tersebut menuai kritik dari sebagian masyarakat lainnya bahkan para tenaga medis pun sangat kecewa dengan tindakan tersebut. Karena tindakan tersebut dapat berakibat kasus eksponensial paparan pagebluk Covid-19 semakin tinggi. Otomatis gerakan
Di Rumah Saja bisa bertambah semakin lama dan secara tidak langsung membuat pengorbanan sebulan-duabulan kemarin bubyar seketika. Filosofi teras hadir sebagai obat antipanik Covid-19. Dengan secara efektif mengamalkan anjuran hidup selaras dengan Alam serta mendalami makna dikotomi kendali dan trikotomi kendali, dapat mengurangi rasa kecemasan, perasaan emosi yang bisa berujung pada efek psikosomatis. Ingat, pagebluk Covid-19 dan kesehatan sepenuhnya bukan kendali kita.
Sebagian merupakan kendali kita dan sebagian lainnya berada diluar kendali kita. Tinimbang sumpah serapah dan merasa kesal, lebih baik tetap ber-positif thingking dan menjaga kewarasan selama pagebluk. Toh, dengan tetap berdiam diri di rumah dapat meminimalisir dampak paparan Covid-19 serta turut menjaga kesehatan keluarga dan orang-orang dekat disekitar kita. Bagaimana menurut kalian?
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute