Inspektur Cupbray dan Pembunuhan di Villa

 

Sudah tiga hari Inspektur Cupbray merasakan tidur yang tidak nyenyak, ia selalu mengeluh kepada sahabatnya Inspektur Rifki. “Ini aneh kenapa saya selalu bermimpi buruk,” Inspektur Rifki hanya membenarkan posisi kaca matanya sembari memberikan segelas cappuccino kepada sahabatnya.

“Memangnya kamu mimpi apa?” tanya Inspektur Rifki. Inspektur Cupbray kemudian menceritakan mimpi aneh yang dialaminya selama tiga hari berturut-turut.

***

Sudah berapa banyak kasus pembunuhan yang kutangani, dan sudah berapa kali saya melihat keluarga korban menangis, menjerit, meraung-raung ditinggalkan oleh yang terkasih. Jeritannya, tangisannya tidak membuatku ketakutan, empati dan simpati pastilah hadir, namun untuk pertama kalinya saya merasa merinding, bukan karena tangisan korban pembunuhan, melainkan tangisan seorang gadis yang datang di mimpiku, dan itu berlangsung selama tiga hari berturut-turut. Kuceritakan kisah itu kepada Inspektur Rifki.

“Ini aneh kenapa saya selalu bermimpi buruk?!” sejenak kupandangi Inspektur Rifki, ia memberikanku segelas Cappuccino. “Mimpi didatangi seorang gadis muda, usianya mungkin masih belia sekitar 18 tahun, mungkin juga sudah genap dua dasawarsa. Gadis itu selalu datang di tiap tidur malamku, ia selalu menangis dan meminta tolong kepadaku…”

***

“Kak! Kak! Kak! Tolong Kak!…. hu…hu…hu…” Inspektur Cupbray menirukan tangisan gadis yang di dalam mimpinya, lelaki berusia 34 tahun ini memasang wajah menggelikan, setidaknya di mataku.

“Itu hanya bunga tidur saja,” sahutku menenangkannya, secangkir kopi kini kuseruput, sekadar menghalau dinginnya malam Kota Malino.

“Bagaimana bisa itu hanya bunga tidur?! Ia datang di tiga malam berturut-turut! Seharusnya kedatangan kita ke sini untuk mengendorkan syaraf akibat ruwetnya kasus pembunuhan siswa yang kita tangani bersama,” Inspektur Cupbray meninggikan nadanya, saya hanya menghela nafas panjang.

“Yah sudahlah minum dulu kopimu itu, sebentar siang kita keluar jalan-jalan, pergi ke kebun teh milik ayahku.”

***

Hari perama menginjaki kota ini, saya takjub. Alamnya sungguh indah, masyarakatnya begitu ramah, dan yang buatku lebih takjub, villa milik ayah Inspektur Rifki begitu megah, ruang utama ada di bagian tengah, sayap kanan dilengkapi balkon yang menghadap langsung dengan kebun teh, sedangkan di sayap kirinya difungsikan untuk kamar tidur. Kata Inspektur Rifki, sayap kiri dulu tidak ada, baru sebulan lalu selesai dibangun, semua kamar yang dulunya di sayap kanan dipindahkan ke sayap kiri, karena view-nya berhadapan dengan hutan pinus yang menjulang tinggi.

Hari pertama saya menyambangi air terjun Takappala, lalu di hari kedua sempat menyambangi gedung Konprensi Malino, di hari ketiga kami menghirup udara segar sembari berkuda di hutan pinus.

Hari ke-empat di Kota Malino saya menyambangi kebun teh milik ayah Inspetur Rifki, kebun tehnya luas sekali, banyak warga setempat bekerja sebagai buruh pemetik daun teh. Saya sempat bertanya kepada Inspektur Rifki, sejak kapan ayahnya menjadi seorang juragan teh? Ia berujar bahwa kebun teh ini adalah warisan kakeknya, ketika itu kakenya hidup di zaman pergolakan, zaman memertahankan kemerdekaan. Kakeknya dan beberapa pemuda lainnya di zaman tersebut ikut dalam kelaskaran, dari Malino ia turun gunung ke Polombangkeng, Takalar. Bertemu dengan Ranggong Daeng Romo dan melaporkan mengenai rencana van Mook mengadakan suatu konfrensi di Kota Malino.

Sembari menapaki jalan di antara rimbunnya daun-daun teh ia kembali berujar, “setelah Kakek melaporkan hal tersebut, beliau diminta oleh Ranggong Daeng Romo untuk menjadi Telik Sandi, melaporkan setiap perkembangan yang terjadi di Kota Malino dan di Zelfbestuur Gowa. Kakek dan beberapa pemuda kemudian melakukan infiltrasi dengan bekerja sebagai buruh pemetik di kebun teh orang-orang Belanda, dari sanalah Kakek dan pemuda lainnya memata-matai pergerakan petinggi Belanda, termasuk mereka yang menghadiri Konfrensi Malino di bulan Juli 1946, dan mengabarkannya ke pimpinan kelaskaran. Setelah pengakuan kemerdekaan Belanda atas Indonesia di Desember 1949, Kakek dan para pemuda mengambil alih kepemilikan kebun teh ini. Kakek mendapatkan sepertiga dari luas kebun teh orang Belanda tersebut, sisanya dibagikan ke pada para pemuda.”

Setelah menceritakan mengenai muasal kebun tehnya, saya pun memutuskan untuk berpisah untuk keliling Kota Malino, ia kemudian memberikan kunci mobil Jeep untuk kugunakan.

“Ini kunci mobil Jeep milik ayahku, kamu kelilinglah mengendorkan syaraf, saya tetap di sini melihat para pekerja ayahku. Saya sarankan kamu ke kedai kopi di ujung sana, di sana kamu bisa mencicipi kopi luwak sekaligus melihat musang.”

“Saya pamit dulu yah,” sahutku pada Inspektur Rifki, lelaki berkaca mata tersebut melambaikan tangan.

Mungkin kemampuan memata-matai yang dimiliki Inspektur Rifki adalah bakat yang diturunkan dari kakeknya, saya takjub mendengar ceritanya tentang kemampuan kakeknya memata-matai para ambtenaar dan orang Belanda di masa memertahankan kemerdekaan.

Di ujung sana kutepikan mobil Jeep milik ayah Inspektur Cupbray, sesuai rekomendasinya, saya memesan satu cangkir kopi luwak, beberapa orang juga kulihat duduk bersama dalam satu meja, mereka sedang asyik membicarakan sesuatu. Sayup-sayup pembicaraan mereka terbawa desiran sejuknya angin menembus gendang telingaku.

“Kenapa suntuk begitu Pak Ghaza, berat yah jadi kepala desa?” sahut seorang lelaki yang sedang asyik menyeruput kopi hitam dan menghisap sigaret.

“Yah pusing juga, apalagi sudah sebulan lebih saya dan pihak berwajib mencari anak gadis Pak Ziahmad dan sampai sekarang belum ditemukan,” sahutnya.

“Saya sudah berkordinasi dengan polsek di sini, pun sudah menghubungi kolega, mulai dari Pak Lurah Bonto Lerung, Malino, Bulutana hingga Pak Lurah Patappang, mereka tidak menemukan jejak anak gadis Pak Ziahmad. Bahkan kemarin saya ke Polres untuk melaporkan kasus ini, dan sampai sekarang tidak ada perkembangan. Saya kasihan melihat kondisi Pak Ziahmad yang semakin hari semakin menurun.” Kepala desa itu kemudian menyeruput secangkir kopi, lalu salah seorang dari kerumunan itu kemudian menyambung percakapan.

“Kata orang, Pak, terakhir kali anak gadis Pak Ziahmad terlihat di kebun teh milik Pak Rezky Mahmud,” mendengar penuturan itu, saya tersedak, orang-orang kemudian memalingkan wajah dan menatapku. Saya meminta air putih dan meminumnya, kemudian tersenyum kepada mereka.

Bukannya itu nama ayah Inspektur Rifki?! Batinku dalam hati.

“Iya, kata orang demikian, saya pun sempat bertemu dengan Pak Rezky Mahmud, ia sempat bercerita bahwa anak gadis Pak Ziahmad sering berkunjung ke kebun teh, beberapa kali ia ke villa untuk melihat progres pembangunan villa-nya. Kata Pak Rezky Mahmud, ia sering mendapati anak gadis Pak Ziahmad bercengkrama dengan salah seorang arsitek yang menangani pembangunan villa tersebut.”

***

Kami duduk menghadap kebun teh yang begitu hijau dan meneduhkan. Inspektur Cupbray bercerita kepadaku, tentang apa yang ia dengarkan di kedai kopi. “Katanya geger seorang anak gadis hilang sebulan lamanya, dan hingga kini batang hidungnya tidak kelihatan, terakhir kali ia menampakkan diri di dekat villa ini, bertemu dengan seseorang.”

“Sebenarnya, ayahku juga sempat menceritakan permasalahan ini, tapi saya hanya menganggapnya suatu perkara yang sepintas berlalu, toh itu pekerjaan penegak hukum di daerah ini, di sisi lain saat itu kan kita sedang menangani kasus pembunuhan siswa sekolah. Tapi mumpung kita di sini, mengapa tidak kita melakukan penyelidikan non-formal?! Saya khawatir kalau permasalahan ini tidak diselesaikan akan timbul fitnah yang dialamatkan pada villa ayahku atau mungkin lebih parah dialamatkan kepada ayahku.”

“Mungkin tidak sejauh itulah, tapi sebaiknya kita mencari tahu apa sebenarnya menimpa anak Pak Ziahmad,” sahut Inspektur Cupbray

Saya mengangguk dan kemudian mengambil gawai, menghubungi beberapa teman untuk membantu dalam memecahkan kasus ini.

***

Sudah sepekan ini tidurku tidak nyenyak, selalu mendapati mimpi buruk, seorang gadis datang menghampiriku, menangis, kali ini bukan hanya isakan yang ada, melainkan ucapan “Pembunuh! Pembunuh! Tolong saya, Kak!”. Dan seperti biasa, saya menyampaikan hal itu kepada Inspektur Rifki, ia hanya tersenyum geli, dan selalu menasehatiku untuk setidaknya membaca doa sebelum tidur.

“Sebaiknya kamu perbanyak ibadah deh, kalau tidur juga baca doa, saya saja selama menginap di Villa ini tidak mendapati hal demikian,” Inspektur Rifki kemudian berlalu, ia dengan seksama berbincang dengan para penyidik dari kepolisian, villanya digunakan sebagai kantor melaksanakan penyelidikan hilangnya anak Pak Ziahmad.

***

Warga geger, koran-koran memberitakan kasus ditemukannya mayat seorang gadis di dasar pondasi villa. Mungkin terdengar aneh tapi kenyataannya demikian, Inspektur Cupbray menaruh curiga atas mimpi-mimpi anehnya, terakhir ia bermimpi bahwa gadis yang selalu datang di tiap tidurnya berujar ‘ada mayat di bawah kasur’. Awalnya saya mengira itu hanya candaan semata, tapi melihat kawanku yang menampakkan wajah serius akhirnya kuputuskan untuk menggali dasar pondasi kamar villa ini, mengikuti sarannya. Saya sengaja memanggil Pak Ziahmad dan Pak Ghaza untuk menyaksikan proses pembongkaran lantai kamar villa ini, beberapa pemuda setempat dan rekan-rekanku membantu. Di cangkulan terakhir, kami menemukan sesosok mayat berbalut baju lusuh, sontak bau busuk menyeruak. Kami menutup mulut dan hidung, Pak Ziahmad tidak demikian, ia histeris sembari mengucapkan sebuah nama: “Dhea!!! Anakku!!!” beberapa saat kemudian lelaki malang itu pingsan….

 

Ilustrasi: https://www.newsgram.com/qualities-good-detective

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *