Belajar Hidup dari Penjual Bakso

 

Semalam saya mengunjungi seorang teman. Ia  tak sempat pulang menikmati lebaran bersama keluarga. Saya datang sebagai keluarga di tanah rantau, juga sebagai orang yang pernah merasakan hidup jauh dari kampung halaman, jauh dari rumah, kesepian. Saat itu saya kuliah di kota besar, Makassar. Semoga kedatangan saya bisa sedikit menghibur, membuatnya lupa sejenak kerinduan pada rumah yang nyaman, dan tatapan teduh keluarga tersayang.

Nah, sepulang dari situ, saya bertemu dengan Mas penjual bakso di pinggir jalan. Saya heran saja, tadi masih lebaran, sekarang sudah jual bakso lagi. Memangnya ada yang beli? Kan, kalau lebaran, makanan biasanya melimpah ruah, ayam di mana-mana. Rumah tetiba jadi restoran mendadak, rumah tetangga juga demikian, nampaknya di hari itulah kita lebih rajin sikat gigi dari biasanya. Kedua, emang Mas ini gak pulang kampung ya? Itulah pertanyaan yang berkelindan di kepala saat itu.

Untuk menjawab rasa penasaran itu. Saya putuskan untuk menepikan motor, makan bakso. Waima, sebelumnya saya sudah makan buras di 4 rumah berbeda, 5 dengan rumah saya sendiri. Bisa dibayangkan bagaimana kondisi perut saya saat itu?

Perut saya memang kenyang, tapi jiwa saya lapar akibat penasaran. Saya butuh berbincang dengan orang lain. Ya, mau gimana lagi, mau berbincang dengan kamu udah gak bisa. Jurang pemisah kita udah terlalu jauh.

“Baksonya masih ada?” tanyaku, basa basi.

“Bungkus atau makan sini?” balas Masnya.

“Makan sini saja Mas.”

Setelah semangkok bakso di tangan, saya mengeluarkan jurus andalan, memulai percakapan:

Nah, berikut ini beberapa hal yang saya tangkap dari perbincangan kami di malam yang melankolis, akibat gerimis itu:

Mas ini, sudah menjual bakso di Bantaeng sejak tahun 2003, artinya sudah 17 tahun. Sudah lama sekali, saat itu saya masih kelas 2 SD. Kabar baiknya, dari hasil kerja kerasnya itu, beliau sudah bisa memiliki warungnya sendiri, plus rumah, meski masih sederhana. Setidaknya sudah gak ngontrak lagi. Di warung, ada istri yang jaga, Masnya tetap keliling menjual bakso. Dari rumah ke rumah, toko ke toko. Kerjasama yang baik.

Sayangnya, selama korona turba ke wilayah Indonesia, warungnya diminta tutup, gak boleh berjualan dulu. Saat berjualan keliling pun nasibnya tak jauh beda. Saat dagangan lagi laris-larisnya, banyak yang beli. Ehh, malah disuruh bubar. Ya, mau gimana lagi, keadaan memang mengharuskan kita begini. Tidak boleh berkerumun. Praktis, omsetnya pun menurus drastis, hingga Mas ini gak bisa mengirim uang lagi untuk anaknya di kampung halaman, sekadar untuk beli baju baru, bersama neneknya.

Di telpon pun, anaknya nangis. Mungkin rindu, mungkin kesepian juga tinggal bersama neneknya. Namun, ya mau gimana lagi, keadaannya tidak memungkinkan untuk pulang.

Kata Masnya, di Jawa itu kalau pulang, karantinanya bukan di rumah, tapi di tempat khusus. Beda dengan kita di Bantaeng, karantina mandiri di rumah. Itu pun masih banyak yang melanggar, padahal cuman berdiam diri di rumah. Gak disuruh ambil rumput sapi. Alasan lain Masnya, mungkin karena memang biaya pulkamnya tidak ada. Maklumlah, kondisi serba sulit sekarang ini.

Lanjut cerita, beliau juga pernah mengalami putus modal. Gak ada pemasukan sama sekali. Untungnya, saat masalah itu diceritakan pada Pak Camat, beliau dibantu modal 500 ribu. Itulah yang kemudian beliau putar kembali. Sehat terus untuk Pak Camat yang dermawan. Sampai sini, kita patut sadar, masih banyak pejabat kita yang baik hati. Jangan diover generalisasi.

Apa yang dialami oleh Mas ini, juga dialami oleh teman-teman rantaunya dari Jawa di daerah-daerah lain, salah satunya di Makassar. Bahkan ada yang harus merelakan jual motor agar bisa tetap survive di tengah pandemi ini, tapi sampai kapan kalau tak ada pemasukan? Sedang hidup mesti terus berlanjut, life must go on.

“Saya pribadi sih maunya, normalkan saja kembali, dengan tetap memastikan protokoler kesehatan yang ada. Kalau kondisinya seperti ini terus, kami sama saja dibunuh secara perlahan, anak dan istri saya mau makan apa?” begitu keluhnya.

Saya tidak mau memperdebatkan ini terlalu jauh. Saya hanya mencoba merekam sedikit ‘keluhan’ salah satu masyarakat kita. Saya pribadi masih percaya pada pemerintah, saya yakin mereka yang di atas sedang memutar otak, mencari jalan keluar terbaik, dengan meminimalisir resiko. Mungkin bukan yang paling baik, tapi setidaknya di antara pilihan-pilihan yang ada, keputusan yang diambil kelak adalah yang paling sedikit mendatangkan mudarat. Semoga.

Dalam pertemua hampir dua jam itu, kami mempercakapkan pelbagai hal. Termasuk perspektif Masnya yang melihat virus ini erat kaitannya dengan politik dunia, elit global alias politik konspirasi. Sampai di sini, saya gak berani mengekplorasi lebih jauh. Beban hidupku ini sudah berat, Mas. Tolong jangan ditambah lagi dengan teori macam-macam. Adik pusing. Apalagi, sampai mengaitkan larangan ke masjid dengan kebangkitan PKI. Ini, udah ngawur banget. Iki opo toh, Mas. Yang dilarang itu bukan ibadahnya, tapi kumpul-kumpulnya.

Tapi mall dan bandara kok dibuka, ramai pula, berdesak-desakan? Ya begitulah, Mas. Layaknya pacar. Pemerintah juga kadang sulit dimengerti maunya apa. Belum lagi komunikasinya yang berantakan, membikin kita yang di bawah makin bingung. Yang A bilang begini, yang B bilang begitu.

Perbincangan malam itu sungguh mengalir, hingga merembet pada bagaimana masing-masing suku kami melihat pernikahan. Namun, saya tak hendak membagikannya di sini. Saya masih trauma bicara yang begitu. Kamu gak usah tahu alasannya. Yang jelas, bukan karena saya lagi mengeja buku Sayap-Sayap Patah dari Kahlil Gibran. Bukan itu.

Malam itu, kami tertawa bersama. Menertawakan apa saja, meski gak lucu-lucu amat juga. Sepertinya, saya dan Mas ini punya masalah yang sama-sama berat. Dan bercerita adalah medium yang tepat. Pada akhirnya, bicara perihal hidup adalah tentang keberanian mengahadapi tantangan dan masalah.

Pertemuan kami, berakhir happy ending. Apa pasal? Saya mendapat pesan mendalam dari Masnya, “Hidup itu soal bersyukur saja. Saya ini gak bermimpi jadi kaya, bisa memenuhi kebutuhan istri dan anak saja sudah cukup. Kekayaan seringkali membuat orang lupa. Teman saya banyak yang begitu. Lupa kalau 2,5 % hartanya itu ada hak orang lain.”

Mas juga senang, karena malam itu. Saat saya pamit, baksonya sisa dua mangkok lagi. Hampir habis. Mungkin habis saat saya tinggal pulang. Semoga.

Malam itu, saya makan bakso 30 ribu. Cukup untuk membuat saya ngantuk di atas motor. Namun, 30 ribu juga adalah harga yang teramat murah untuk sebuah pelajaran hidup. Saya adalah orang yang meyakini bahwa kebijaksanaan itu berserakan di mana saja. Sisanya terserah kita, mau memungutnya atau tidak. Mau belajar atau tidak.

 

Sumber ilustrasi: Pinterest

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *