“Mohon maaf lahir dan batin”, sebuah frasa yang berulang-ulang kita kan dengar, baca, atau bahkan kita sendiri pun saat ini sedang melakukannya, lantaran situasi kini yang memungkinkannya terjadi. Terlepas dari kesungguhan niat orang yang menyampaikannya. Demikian pulan keseriusan orang-orang yang membalasnya. Sungguh pun begitu, tidak semua orang serta-merta akan nyaman melafazkannya, terlebih mengirimi orang-orang yang berada dalam kontak gawainya. Kecuali oleh mereka yang khusus memformatnya ke dalam sebuah pesan otomatis, atau broad cast. Maka tunggulah, hujan pesan itu akan ramai-ramai menghampirimu. Saya ucap salut dan penghargaan untuk usaha mereka.
Itulah sebabnya, di hari pertama dan kedua Idulfitri tak sedikit orang yang memilih untuk tidak menyentuh ponselnya terlebih yang berasal dari kontak pribadi. Apatah lagi jika ia termasuk kelompok dengan type penanggap yang cukup perhatian seperti saya. Yang mana tidak akan membuka pesan pribadi yang dikirimkan oleh seseorang jika belum ada waktu atau kesiapan untuk membalasnya. Maka siapa pun yang punya pengalaman pernah melakukan kontak dengan saya bisa merasakan hal ini. Kecuali ia nyata-nyata berbentuk tawaran bisnis yang berulang-ulang terkirim tanpa kenal jam dan hari. Bak mesin iklan yang tayang pada waktu-waktu tertentu. Tanpa peduli pada perasaan orang yang dikirimi pesan. Nyamankah atau tidak? Mendapat balasankah atau justru pengabaian yang terus-menerus?
Para pengirim itu tampaknya tak peduli dengan perasaanmu. Maka satu-satunya jalan untuk menghentikan ketidaknyamanan itu adalah dengan memblokirnya. Akan tetapi meskipun fenomenanya seperti itu, saya belum pernah melakukannya, paling banter saya clear chat, melakukan pembersihan tanpa pernah membuka terlebih lagi membaca isi pesannya. Karena saya masih menaruh penghargaan terhadapnya sebagai seorang teman atau kenalan yang kebetulan nomor kontak saya masuk ke dalam daftar kontaknya. Maka membiarkannya menjadi sebuah pilihan yang tepat menurutku. Walaupun pada mulanya saya memberikan respons, minimal dengan mengiriminya balasan berupa tiga jempol manis. Namun karena kiriman promosinya masih terus berlanjut besok dan besoknya lagi, maka mulailah saya mengamati kemudian menyimpulkan, bahwa tampaknya saya tidak perlu merespons apa-apa. Saya yakin ia pun sudah menyiapkan diri untuk menerima konsekuensi tersebut. Karena sesungguhnya yang ia harapkan adalah sebuah eksekusi berupa pembelian produk, bukan emoticon semata.
Belakangan saya perhatikan orang-orang yang sebelumnya rajin dan rutin mengirimkan iklan broad cast produk lama kelamaan berhenti dengan sendirinya atau menghilang dari linimasa. Entah karena ia sudah tidak lagi memasarkan produk tersebut, ataukah nama saya sudah ia coret dalam daftar target pasar yang mesti ia bidik. Sebab sebuah kesia-siaan belaka melakukan hal tersebut pada orang-orang seperti saya, yang sama sekali tidak menghasilkan manfaat apa-apa. Mungkin saja dia sudah punya daftar nama baru yang ia peroleh dari sumber lain dan jauh lebih mungkin memberikan harapan daripada mengirimnya pada kontak-kontak lama yang jelas-jelas sudah tidak memberikan respons sama sekali.
Maaf-maafan dan suasana batin yang sesungguhnya
Apa sesungguhnya makna saling bermaafan di hari yang fitri ini? Saya yang semula sangat menyakralkan kata-kata maaf, lambat-laun berangsur mempertanyakan kembali kesakralan kata tersebut. Karena dalam pemahaman saya, permohonan maaf seyogianya disampaikan manakala, pertama, dua orang atau pihak pernah melakukan interaksi sebelumnya yang berpotensi menimbulkan gesekan, kedua, secara tersamar atau terang-terangan pernah muncul perbuatan salah atau khilaf di antara mereka. Nah, jika salah satu atau kedua unsur tersebut terpenuhi maka pernyataan atau permintaan maaf menjadi suatu kemutlakan dan kemuliaan. Akan tetapi jika di antara kedua pihak tidak pernah melakukan interaksi terlebih perbuatan khilaf atau dosa, maka kata “maaf” hanyalah sebuah basa-basi penyambung silaturahmi belaka.
Ironisnya, ada orang yang nyata-nyata telah melakukan kesalahan pada pihak lain, tetapi justru hanya mengirimkan permohonan maaf yang standar alias broad cast, sifatnya umum, dan sangat jauh dari sentuhan emosi. Padahal dalam agama kita sudah diajarkan jika ingin meminta maaf pada seseorang, maka hendaknya kita menyebutkan dengan rinci jenis kesalahan atau dosa apa yang kiranya telah kita perbuat. Lantas beranikah kita melakukannya? Sudah cukup bernyalikah kita untuk menerima balasan atau respons dari orang yang dituju? Inilah persoalan penting yang semestinya menjadi perhatian serius dari setiap individu jika benar-benar ingin terlahir fitrah kembali di hari kemenangan ini.
Itulah mengapa manusia perlu berpikir seribu kali jika hendak melakukan salah dan dosa khususnya terhadap sesamanya. Karena aturan meminta maaf sungguh sangat tidak mudah dan sederhana. Ia butuh kekuatan niat dan kebersihan ruhani untuk mewujudkannya. Sehingga efek yang terasa dari peristiwa maaf-memaafkan ini akan abadi dalam ingatan dan kalbu mereka yang melakukannya. Dan kecil kemungkinan akan diulang kembali. Patut disayangkan di era teknologi yang semakin memudahkan interaksi lagi canggih, kelompok-kelompok atau orang dengan gampangnya berbuat dosa bahkan fitnah terhadap orang atau kelompok yang lain, lalu dengan entengnya pula meminta maaf.
Maka lambat-laun kata maaf pun mengalami penggerusan makna.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).