Beberapa hari lalu, tepat pada tanggal 1 Syawal 1441 H, pada saat matahari telah mencapai tempatnya, umat muslim berbondong-bondong merayakan kemenangannya. Ucapan tahmid, takbir, tahlil seraya menundukkan kepala dan hati dalam keadaan sujud merupakan bentuk sebaik-baiknya selebrasi kemenangan.
Tak peduli sekat zaman dan waktu, kalimat-kalimat tersebut tetap mengudara tanpa halangan dan rintangan apapun. Kalimat-kalimat tersebut menjadi penegas dalil pembuktian eksistensi-Nya. Perihal umur dan jenis kelamin tak menjadi soal. Tetap saja kalimat tersebut mengudara bebas sebebas-bebasnya. Begitulah kedahsyatan dari efek selebrasi kemenangan yang dilakoni oleh semua umat muslim, bahkan alam raya pun turut mendendangkan irama yang sama. Yusabbihu lahu ma fii as-samawati wa al-ardh.
Perlu diakui, memang perayaan hari Idul Fitri tahun ini sangat berbeda dengan perayaan Idul Fitri yang sudah-sudah. Penyebabnya tak lain dan tak bukan adalah pagebluk Covid-19. Gara-gara makhluk sekecil biji zarrah ini, tatanan kehidupan masyarakat global menjadi berubah drastis. Sejak awal mula kemunculannya, tak habis-habisnya dibahas oleh khalayak ramai.
Mulai dari pakar, pemerintah, akademisi sampai tukang becak sekalipun tak luput dari membahas si pagebluk Coronavirus ini. Tak pelak, perayaan hari Idul Fitri pun terkena imbasnya. Walhasil, ubin rumah menjadi pengganti tanah lapangan sebagi tempat sujud pada pelaksanaan hari raya Idul Fitri. Maka jadilah shalat Id dilaksanakan di rumah saja. Meskipun dibeberapa wilayah tetap melaksanakan shalat Id berjamah di masjid dengan mengedepankan protokol kesehatan dengan ketat.
Beragam kegiatan yang dilakukan selepas melaksanakan shalat Id pada tahun-tahun sebelumnya, kini pun juga tidak dapat dilakoni. Bersalam-salaman, cipika-cipiki, saling berangkul-ria, menyambangi kediaman sanak famili baik yang jauh maupun yang dekat tidak bisa lagi kita lakukan, dengan alasan yang sama. Kesehatan. Terlepas dari bantuan tenaga medis, kita tidak tahu apakah kita termasuk sebagai carrier tanpa gejala atau benar-benar bersih dari Covid-19. Mal Qorona, Wa Maa Adrakamal Qarana?—meminjam istilah Cak Nun—kita benar-benar buta mengabstraksikannya karena memang pada dasarnya kita bukan yang berkepentingan—meminjam istilah Gus Muhidin—dengan pegebluk Covid-19 ini.
Lagi-lagi, pola kehidupan yang serba menyalahi kebiasaan yang sudah-sudah membuat kita kelimpungan. Beruntunglah ada berbagai macam platform komunikasi yang membuat kita tidak cepat mati gara-gara tidak berlaku-bertindak seperti biasanya. Ada baiknya pada kesempatan dikuncitara dan tungku-terungku ini kita jadikan suluk untuk memuhasabahi diri sebaik-baiknya. Toh, kehadiran Allah SWT. Tidak harus berada dalam keramaian dan kehangatan bersama sanak famili, bahkan Allah SWT. pun menegaskan bahwa Ia berada dalam kesendirian kita, Wa Ana aqrabu ilaihim minal wariid. Juga merasai kenikmatan Allah SWT. tidak hanya pada pakaian baru, yang bisa saja perilaku tersebut justru melencengkan niat awal kita untuk mengabdi sepenuh-penuhnya hamba. Dan juga kenikmatan menyantap ketupat dan kari ayam tidak berkurang apabila tidak disantap secara beramai-ramai seperti yang sudah-sudah kita lakoni.
Jika kita menggunakan kacamata yang berbeda, momen pagebluk Covid-19 ini merupakan “syaikhul akbar” bagi kita. Betapa tidak, makhluk sekecil biji zarrah ini mengajarkan kita belajar menjadi sosok spiritualis secara otodidak. Meskipun tidak seluruhnya orang beranggapan seperti ini, paling tidak ada hikmah dibaliknya yang dapat kita ambil.
Pada momen merayakan kemenangan yang sejak beberapa hari lalu telah dan masih berbekas sampai sekarang, perlu kiranya kita mereflesikan hari kemenangan tersebut. Sudahkah kita mensyukuri apa yang telah kita dapatkan hari ini? Sudahkah kita betul-betul memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri juga pada pagebluk Corona? Memaafkannya karena telah menghalau dan membuat kita sedikit banyak uring-uringan terhadap dampak yang diakibatkannya.
Sudikah lagi kita berterima kasih kepadanya—pagebluk Covid-19—karena telah mengajarkan kita bahwa untuk menjadi diri yang otentik (baca: fitri) tidak harus dengan segala kemewahan dan gegap-gempita seperti yang sudah-sudah? Sudikah kita menerima bahwa justru kitalah yang merangsang dan “merancang” hadirnya makhluk sekecil biji zarrah tersebut?.
Cak Nun, dalam karya terbarunya “Lockdown 309 Tahun” bisa kita jadikan sebagai pemantik untuk memulai tirakat memuhasabahi diri sendiri. Seperti judulnya, kita bisa belajar pada pemuda ashabul kahfi yang dilockdown oleh Allah SWT selama 309 tahun bersama seekor anjing bernama qithmir. Para pemuda tersebut dilockdown oleh Allah SWT agar menjadi pribadi yang lebih otentik, menjadi pemuda-pemuda yang tidak gelagapan melihat peradaban, pemuda-pemuda yang hatinya tetap dikategorikan sebagai qalbun salim, pemuda-pemuda yang diajarkan untuk lebih cermat menghitung-hitung skala prioritas.
Di momen yang fitri ini, menerungku diri sendiri mungkin ada baiknya, terlebih dengan kondisi pagebluk yang sedang mendera. Kita diajarkan oleh Allah SWT untuk mensyukuri hidup dan menghimbau kita untuk tetap mengukur ketawakwaan kita sendiri oleh diri sendiri sebagai penghitungnya, bukan berdasarkan penilaian masyarakat umum.
Di momen yang fitri ini, menjadikan kita sebagai sebaik-baik guru bagi diri kita sendiri, dengan mengunci diri dari segala keramaian, membuat kita sadar bahwa untuk menjadi dekat dengan Allah SWT tidak harus menuding sesama sebagai penyeleweng agama hanya karena tidak melakukan ritus ibadah yang kita lakukan. Sekali lagi, di momen yang fitri ini menjadi sebaik-baik guru, syaikhul akbar, yang tugasnya hanya mengajar dan mendidik kita menjadi pribadi yang otentik.
Kalimat tahmid, takbir, tahlil yang kita gaungkan pada hari raya kemenangan seharusnya menghantarkan kita menuju pribadi yang “di-ashabulkahfi-kan” oleh Allah SWT dan menuntut kita untuk menghayatinya sedalam-dalamnya dalam tempo yang tidak sesingkat-singkatnya. Kalimat-kalimat tahmid, takbir dan tahlil bukan sekadar kalimat dengan kepalan tangan meninju ke langit-langit, tapi juga menumbuk, menghantam bagai palu gada di dalam sanubari kita. Tujuannya tak lain dan tak bukan hanya untuk memenangkan diri otentik atas nafsu yang terlalu berlebihan yang mungkin sudah lama mendongkol.
Tulisan ini tidak diniatkan untuk mendakwahi atau bahkan menghukumi yang lain sebagai tidak otentik. Tulisan ini hanya sebatas refleksi dengan niatan ajakan untuk menghitung kembali seberapa qalbun salim-nya kita dan sejauh mana kita mengambil ibrah pada pelajaran yang telah disediakan syaikhul akbar yang kecilnya setara dengan biji zarrah. Sudahkah kita benar-benar memenangi kemenangan yang diterungku? Baik itu terungku oleh pagebluk Corona atawa terungku “pagebluk” hawa nafsu kita sendiri, yang mengahalangi kita menggapai kemenangan yang diterungku (baca: diri yang fitri/otentik).
Sumber gambar: https://id.pinterest.com/pin/771874823613052068/
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute