Peran Perempuan untuk Keadilan Ekologis

Lingkungan ataupun ekosistem telah menjadi pembahasan lama yang tidak berhenti diteriakkan. Hampir setiap hari, ekspolitasi alam menyebabkan pergulatan sosial, antara masyarakat miskin, kekayaan alam, dan munculnya kaum pemilik modal yang rakus dan rasis. Membahas isu-isu lingkungan akan mengembalikan ingatan purba kita terhadap ratusan tahun lalu saat seluruh bangsa besar mengekspansi jajahannya guna memperluas kekayaan tanpa memperhatikan proses umur perbaharuannya. Portugis, Belanda, Jepang, atau seperti Inggris ke Malaysia dan India, dan yang paling laris adalah kisah Jerman membabat Inggris meski bersekutu oleh Amerika.

Dari data Asosiasi Industri Plastik (INAPLas) dan Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan sampah plastik di Indonesia mencapai 64 juta ton pertahun. Sebanyak 3,2 juta ton di antaranya merupakan sampah plastik yang dibuang ke laut. Sedang data dari Sustainable Waste Indonesia tahun 2017, dari angka tersebut baru 7 persen yang didaur ulang, sementara 69 persen lainnya menumpuk di tempat pembuangan akhir (TPA). Dan selebihnya 29 persen menjadi pencemaran lingkungan atau Illegal dumping.

Dan terakhir melalui data Kementrian Lingkungan Hidup pada postingan 2018, untuk data tahun 2017 jenis sampah organik mencapai 60 persen dan kedua terbesar adalah 16 persen dari sampah plastik. Jika dilihat dari foto udara, dapat dibayangkan bagaimana sampah terkhusus plastik memenuhi permukaan bumi yang berasal dari pusat perbelanjaan, dapur rumah tangga hingga perusahan logistik dan kurir. Sampah yang sepanjang jalan dipunguti, disapu, dikampanyekan oleh  Tri Rismaharini Wali Kota Surabaya merupakan keresahan besar terutama perempuan yang selama ini paling dekat dengan wilayah domestik, pengelolaan sampah rumahan, hingga program penghijauan yang masih saja kurang.

Nakabuye Hilda, di Uganda, aktif menyerukan seluruh lapisan masyarakat bukan hanya sesama anak muda, tapi seluruhnya untuk mau mengangkat sampah di laut yang telah tercemar dan menyumbangkan racun dan limbah terbesar penyebab kerusakan ekosistem laut. Nakabuye bersuara untuk merekontruksi kultur domestik yang kotor pada nilai-nilai humanis yang bersih dan seimbang. Ada sampah maka ada pengelolaan sampah. Ada limbah maka harusnya pemerintah melaksanakan aturan jelas UU perlindungan ekosistem, satwa dan habitat lingkungan agar limbah pun sampah bisa dialih fungsikan sebagai bagian dari prisma mahluk hidup.

Pada dasarnya sampah bukan sesuatu yang berbahaya jika saja pihak pemodal mampu mengolah limbah industri agar tidak kontaminan dalam konsentrasi tinggi terhadap lingkungan. Limbah adalah sampah lain yang berkontaminasi dengan komponen lingkungan, rawan beracun dan mudah sekali merusak. Limbah dan pencemarannya merupakan pembahasan penting karena pengerusakan alam telah menjadi isu global, kontruktif dan dimuat dalam forum penting berupa UU Perlindungan Hutan dan lingkungan serta tata kelola limbah dalam bentuk amdal.

Pada acara bertajuk “Jambore Perempuan Pejuang Tanah Air” pada tahun 2017 lalu, datang berbagai perempuan yang menamai dirinya Perempuan Pejuang Tanah Air, berkumpul menyampaikan data dan berdiskusi memikirkan berbagai kondisi alam dan lingkungan yang terdampak sampah pun limbah industri beracun. Ada banyak perempuan tua dan muda berkumpul, mencairkan hati dan pikiran setelah sibuk menekuri kasus-kasus sosial yang terimbas dari pabrik-pabrik besar dan pemodal kapitalis.

Hampir seluruh aura acara berisi orasi, teriakan murka, mengutuk pengerusakan alam, pengeksploitasian lingkungan, dan penggunaan plastik sekali pakai. Dalam suatu wawancara, seorang mahasiswa mendeklarasikan gerakan ekobrick, semacam daur ulang sampah plastik untuk dibuat dalam bentuk hasta karya multifungsi dan ramah lingkungan. Upaya-upaya kecil ikut muncul saling meniru mengembangkan diri dan melahirkan swacipta mandiri.

Titik Balik yang Menguras Emosi

Bukan gampang sekadar duduk sedia menyuarakan pelbagai pemanasan global, perubahan iklim, dampak limbah beracun, hingga penggusuran masyarakat adat dalam hutan konservatif secara rasial dan konfrontatif. Hampir semua perempuan dan meja perjuangan menyampaikan pelecehan hingga pengasingan karena mulut-mulut provokatif, serta penjilat budak kapitalis.

Dalam masa perang melawan kasus-kasus yang dihadapi Perempuan Pejuang Tanah Air telah banyak yang kehilangan rumah tangga, ditinggal anak dan keluarga, dibuang oleh dewan adat, dikeluarkan dalam serikat tani bahkan ada yang sampai dianggap mati karena dianggap sok idealis. Mendapat tekanan dari pihak pabrik, diserang setiap hari oleh kaum penjilat dan tengkulak yang berusaha menanggalkan dan menggagalkan seluruh upaya untuk melindungi hak-hak kawan tertindas dan lingkungannya adalah suratan yang musti dilewati.

Di Nusa Tenggara Timur ada mama Aleta Baun, perempuan Mollo yang getol berteriak untuk memperjuangkan hak-hak para warga adat menentang perusahaan marmer yang ada di sana. Bergerilya tiap malam bersama puluhan ibu-ibu sekampung menenun di celah bukit, sepanjang tahun, sampai ditahun kedua, kedua perusahaan PT Soe Indah Marmer dan PT Karya Asta Alam berhenti beroprasi. Proses panjang ini meraih penghargaan dari Yap Thiam Hien tahun 2016, The goldman environmental prize di San Fransisco, Amerika Serikat. Meski kenyataannya dalam perjuangan tersebut, mama Aleta mendapat stigma pelacur, akibat gerilya pada malam hari.

Tidak jauh beda dengan Gunarti, perempuan Kendeng, yang berteriak menolak pembangunan pabrik semen di Rembang. Mendapatkan stigma miris karena dianggap berlebihan sebagai perempuan yang harusnya didapur dan hanya mengurus anak. Ataupun Eva susanti hanafi yang dikenal sebagai Eva Bande, perempuan Luwuk, meneriakkan keadilan malah dipenjara karena membela petani melawan perusahaan sawit PT Kurnia Luwuk Sejati di Banggai.

Hampir seluruh perempuan dalam jambore tersebut memiliki titik balik yang suram, bahkan mendapatkan banyak kecaman meskipun akhirnya menerima penghargaan dalam medali yayasan lingkungan global. Tapi bukankah titik balik seharusnya tidak boleh dibiarkan, karena hakikatnya mereka membela yang seharusnya. Mengembalikan hak preogratif warga negara terhadap tanah yang ditinggalinya, sebagaimana dalam Alquran surah Ar-Ruum ayat 41, “telah nampak kerusakan di darat dan disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat dari perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar.”

Alam dan perempuan bisa dibilang dua subjek yang sering diekploitasi dan terdampak limbah dan sampah. Dalam banyak kasus kekerasan seksual, perempuan meramu diri dalam pahit getir melawan tindakan kasar yang acap kali diterima dari perilaku kuasa laki-laki, sama ketika membahas relasi kuasa pemilik modal kepada buruh dan petani. Perempuan yang lekat pada sentuhan kerusakan dan kekerasan tidak akan sulit berteriak menyatakan perlawanan untuk menolak berbagai pembangunan industri di atas lahan-lahan yang dipaksa dijual dan akhirnya lahan sekitar lainnya harus menanggung limbah pun sampah yang dilepas pihak pabrik.

Mengapa titik balik dari usaha merawat alam tidak mampu menyadarkan banyak pihak bahwa ekosistem dan manusia mampu bertahan tanpa industri polusi, limbah dan sampah. Agar warga adat dan petani-petani di desa tidak perlu merasakan tekanan status antara industri melawan petani konservatif. Mengapa pembangunan besar justru membuat kerusakan bagi lingkungan dalam nilai tinggi, pada pemberdayaan masyarakat miskin dan petani ikut rusak bersama nilai-nilai humanis antara manusia dan alam.

Ilustrasi: https://www.theguardian.com/environment/2020/feb/06/eco-gender-gap-why-saving-planet-seen-womens-work

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *