Masker: Belajarlah pada Helm

 

“Ada yg lucu hhh…”, begitulah  komentar  Muhammad Basri, salah seorang kawan kuliah saya dulu dan kini  berprofesi selaku guru,  sesaat setelah saya memasang foto profil akun facebook saya, bermasker nan unik. Lalu saya balas komentar itu, “Berbagi kelucuan tuan guru. Hehehe…”

Perkara masker belakangan ini,  masih menjadi salah satu poin penting, dari empat poin anjuran pemerintah-pejuang kesehatan, selain poin: sering cuci tangan pakai sabun, jaga jarak, dan olehraga-perbaiki gizi. Laiknya permainan sepak bola, empat kesebelasan, menjadi jatah Liga Champion Eropa, semisal klub-klub di Liga Primer Inggris, sebentar lagi akan lanjut gulirannya. Klub itu, eh maksud saya, masker menjadi salah satu perisai terdepan berlaga di era Kenormalan Baru.

Masalahnya kemudian, anjuran  memakai masker saat keluar rumah, masih banyak yang mengabaikannya. Sederet alasan mengemuka. Mulai dari alasan tidak takut pada corona, hingga sikap menganggap ribet saat memakainya. Waima, sampai detik ini belum ada riset, tentang berapa persentase warga yang memakainya, plus alasan tidak menggunakannya, tapi masih amat mudah dijumpai anggota masyarakat tak mengenakan masker.

Di negeri ini, soal ketidakpatuhan sebagian warga atas penggunaan perlengkapan keselamatannya, bukanlah soal baru. Banyak ajaran dan anjuran sebelumnya, tidak dindahkan, meski akan mengancam keselamatan jiwa-raganya. Dan, di waktu lampau, sebagai missal saja, ada kasus yang menyita perhatian besar, khususnya di Kota Makassar, terkait penerapan kebijakan penjagaan keselamatan dalam berkendara, persisnya, pengendara roda dua.

***

Masih ingat kasus helm? Saat mau diterapkan, disambut demonstrasi besar-besaran oleh mahasiswa se-Kota Makassar. Tiga orang tewas dalam kasus helm ini. Luka-luka tak terhitung jumlahnya. Kerusakan materiil, jangan ditanya. Mahasiswa ditangkapi, polisi menggeledah rumah-rumah kos, asrama, dan kampus, lalu menahan mereka. Tatkala dilepas, mereka sudah gundul.

Salah satu kampus sebagai sentrum demonstrasi mahasiswa adalah kampus Institut Keguruan Ilmu Pendidikan  (IKIP) Ujung Pandang. Kini, berganti nama Universistas Negeri Makassar (UNM). Waktu itu, saya baru memasuki semester tiga di IKIP. Saya pun ikut demonstrasi, walau baru sebatas melempar batu dan teriak-teriak pada aparat keamanan. Seorang kawan seasrama saya ikut ditangkap. Bebas dari tahanan, sekujur tubuhnya babak belur. Demonstrasi itu berlangsung  31 Oktober-2 November 1987.

Mengapa terjadi penolakan atas kewajiban memakai helm? Padahal demi keselamatan pengenadara? Di sinilah masalahnya, karena penerapan kewajiban ini tidak berdimensi tunggal. Salah satu isu yang mengemuka, karena ada unsur bisnis di dalamnya, yang melibatkan salah seorang putra presiden. Ditengarai, pabrik helm tali pusarnya dimiliki oleh Keluarga Cendana. Muncullah istilah, “Proyek Helm”.

***

Dulu, sebelum kewajiban memakai helm saat berkendara roda dua, pemakaian helm hanya terbatas pada tempat dan orang tertentu. Semisal di areal proyek bangunan dan pertambangan atau semacamnya. Maka dinamakanlah “Helm Proyek”. Bentuk dan warnanya khas. Kalau bukan kuning, ya putih. Pokoknya polos saja. Nyaris seragam modelnya.

Seiring dengan membludaknya jumlah pengenadara roda dua, di saat bersamaan lakalantas ikut meningkat. Areal kepala termasuk paling rawan penyebab kematian tatkala terjadi kecelakaan. Lapik inilah menjadi latar belakang terdepan dalam penerapan kewajiban memakai helm.

Kiwari, pemakaian helm bagi pengandara roda dua, sudah menjadi pemandangan umum. Apa yang diprotes oleh mahasiswa dulu, sekarang menjadi kebutuhan jika ingin kepala selamat. Bahkan, ada semacam keanehan jika berkendara, tanpa menggunakan helm. Konsekuensinya pun bisa kena tilang polisi, atau dicibir warga lain. Meski begitu, masih ada saja segelintir warga tidak patuh. Merasa pore, jago.

***

Bagaimana dengan masker? Takdirnya, mungkin bakal mirip dengan helm. Sebelum ada anjuran, pemakaiannya masih terbatas. Hanya dipakai di areal tertentu, semacam rumah sakit. Sering pula dijumpai di jalanan. Segelintir pengendara roda dua mengenakannya, buat perlindungan diri dari asap kendaraan. Warnanya pun nyaris seragam. Kalau bukan hijau muda, ya abu-abu.

Ajakan memakai masker pun bukan perkara mudah. Apatah lagi di awal pandemi Covid-19. Kelangkaan masker salah satu biangnya. Keserakahan dalam bisnis masker penyebabnya.  Selain itu, dari pemerintah sendiri, awalnya hanya menganjurkan pada persona tertentu saja. Belum lagi, kontroversi jenis masker yang ekslusif pembuatan dan kualitasnya.

Namun, seiring makin tingginya serbuan Covid-19, keluarlah kebijakan agar memakai masker pada semua warga. Bahannya boleh dari kain saja. Setiap orang bisa membuatnya.Kelangkaan masker teratasi, tapi tidak serta merta semua warga ingin memakainya. Seabrek alasan mengemuka. Ke depan, walau Covid-19 berlalu, kebutuhan pada masker akan tetap mengemuka, mengingat kualitas udara sarat polusi.

***

Mungkin masker harus banyak belajar pada helm. Memasyarakatkan helm dan menghelmkan masyarakat. Dinamika kewajiban dan pembiasaan memakai helm bagi pengendara roda dua. Mulanya hanya digunakan oleh kalangan tertentu. Berikutnya, digunakan oleh siapa saja yang mau berkendara roda dua. Hebatnya lagi, kualitas dan model helm sudah makin beragam. Bahkan, menjadi salah satu wadah kreativitas menumpahkan rasa keindahan pada sebuah helm. Tengoklah sekarang tempat penjualan helm, beragam harga dan model bukan?

Terkini, sejak ajakan memakai masker, selain berlapikkan alasan kesehatan, pun harus dilihat sebagai ajang mengembangkan kreativitas. Dan, rupanya tanda-tanda ke arah itu makin benderang. Produksi masker begitu beraneka. Mulai dari model dan kualitas standar, hingga bentuknya yang unik mulai menyerbu pasaran. Masker bergambar yang dipakai oleh para pengurus negeri salah satu contohnya. Amat menghibur.

Nampaknyta, masker harus diperpadat kegunaannya. Selain untuk kesehatan, juga mesti dijadikan bagian dari asesori, agar menarik untuk dikenakan, menambah kegairahan dalam berinteraksi secara sosial. Masker yang saya pakai di foto profil facebook, mungkin secuil upaya dari kegairahan hidup di tengah keterbatasan interaksi sosial. Paling tidak, kawan saya sudah merasa terhibur. “Ada yang lucu,”  ujarnya.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *