Anakmu bukanlah anakmu
Mereka adalah putra putri sang hidup
Yang rindu akan dirinya sendiri
Mereka lahir lewat engkau
Tapi bukan dari engkau
Mereka ada padamu
Tapi bukan milikmu
Berikanlah mereka kasih sayangmu
Namun jangan sodorkan pemikiranmu
Sebab pada mereka ada alam pikirannya sendiri
(Kahlil Gibran)
Pertama kali saya tertarik dengan dunia kepengasuhan alias parenting, pasca membaca buku Mauliah Mulkin berjudul, Metamorfosis Ibu. Entah apa yang membuat saya tertarik, tapi sepertinya, apa yang diutarakan oleh penulis dalam buku tersebut amat dekat dengan kehidupan saya. Baik sebagai seorang anak, orang dewasa, dan juga guru sebagai profesi saya. Dan saya yakin, perasaan ini juga akan anda alami tatkala membaca buku tersebut.
Memangnya, apa sih parenting itu?
Parenting memang terambil dari kata parent, yang dalam bahasa Inggris berarti orangtua, maknanya juga tak jauh-jauh dari situ. Nah, untuk lebih jelasnya, berikut beberapa defenisi parenting yang saya sadur dari pelbagai sumber:
Menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia, parenting atau pengasuhan diartikan sebagai proses interaksi antara orangtua dan anak dalam mendukung perkembangan fisik, emosi, sosial, intelektual, dan spiritual sejak anak dalam kandungan sampai dewasa. Dalam KBBI, pengasuhan adalah proses, cara perbuatan mengasuh
Sedang dalam Kamus Merriam-Webster, parenting diartikan sebagai the raising of a child by it’s parents (membesarkan anak yang dilakukan oleh orangtua). Juga The act or process of becoming a parent (proses dalam menjadi orangtua).
“Kalau demikian, parenting ini belum penting bagi saya, saya kan belum nikah?” Mungkin begitu pikiran sebagian orang. Dikiranya parenting hanya untuk orangtua saja, yang sudah memiliki anak.
Saya kira ini anggapan yang tidak sepenuhnya benar, bahkan mungkin keliru. Mengapa? Sebab, kita semua, saban hari pasti berinteraksi dengan anak-anak. Entah itu sepupu, ponakan, adik, murid di sekolah, juga anak-anak di sekitar rumah. Nah, di sinilah urgensi parenting: bagaimana menghadirkan interaksi yang positif, humanis dan edukatif tentu saja.
Kita pada akhirnya harus mengakui, kontruksi interaksi yang kita bangun selama ini sungguh buruk. Saya berani mengatakan demikian, setelah membaca buku Metamorfosis Ibu itu. Dalam interaksinya, kita seringkali tidak melihat anak sebagai manusia yang utuh.
Sering kita dengar pernyataan klise “anak-anak ji”, hal tersebut seolah melegetimasi semua perlakuan buruk orang dewasa terhadap anak-anak. Kita kadang tanpa merasa bersalah membohongi mereka, mendikte dan mungkin juga melakukan tindakan kekerasan: fisik dan verbal. Semua sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Lupa, kalau semasa anak-anak dulu, kita juga punya memori perlakuan buruk sebagian orang dewasa terhadap kita. Lantas, itukah yang mau kita wariskan?
Hemat saya, Parenting ini secara sederhana soal interaksi positif, interaksi yang didasarkan pada ilmu pengetahuan, tak bersifat instingtif semata. Kita tak hendak menegasikan semua warisan nenek moyang terdahulu dalam mendidik anak. Namun, harus diakui, seiring berkembangnya zaman, kita mesti adaptif dalam melihat perubahan. Cara saya dibesarkan, tentu berbeda dengan anak zaman sekarang. Kasadnya di sini berlaku pula salah satu kaidah ushul fikih populer, “Memelihara tradisi lama yang baik, dan mengambil tadisi baru yang lebih baik.”
Berabad-abad yang lalu, khalifah keempat, Ali Bin Abi Thalib sudah mengingatkan, “Jangan paksakan anakmu untuk menjadi seperti keinginanmu, karena mereka diciptakan berbeda dengan zamanmu”.
Harus diakui, posisi sebagai orang dewasa kadang menjadikan kita semena-mena terhadap mereka. Perasaan superior itu benar-benar berbahaya, termasuk dalam relasi kita dengan anak-anak. Disangkanya mereka itu serupa kertas putih yang masih polos: tanpa perasaan. Padahal, anak-anak adalah yang paling peka di antara kita.
Saya ingin mengutip salah satu kisah dalam buku Metamorfosis Ibu yang dikutip dari buku berjudul School starts at Home yang ditulis oleh Cheri Fuller, ceritanya begini: ada seorang Ibu yang anak laki-lakinya baru saja pulang dari sekolah, taman kanak-kanak, dan berusaha menceritakan kepada Ibunya tentang apa yang terjadi pada hari itu di taman bermain sekolahnya. Sambil terus sibuk di dapur, Ibunya berkata, “Ibu dengar, Ibu dengar,” tapi pikirannya tengah melayang jauh. Akhirnya sang anak berhasil membuat ibunya mengambil posisi yang sama tinggi dengannya; ditaruhnya kedua telapak tangannya yang kecil pada wajah ibunya dan berkata, “Tetapi Ibu, mauka Ibu mendengar dengan wajah Ibu?”
Pertama membaca kisah di atas, saya terperanjat. Kisah di atas benar-benar dekat dalam kehidupan sehari-hari. Meski ditulis oleh orang luar, tapi gaung dan realitasnya menyata juga dalam rumah-rumah kita, yang kadang sering abai pada anak-anak. Seolah mereka hanya butuh makan dan minum saja, tanpa mau peduli bagaimana kondisi batin mereka. Kita seringkali berbicara dengan mereka seraya tetap menatap gawai, akhirnya, percakapan menjadi kering: tak memupuk cinta dan kasih sayang.
Sungguh, tanpa sadar, jangan-jangan anak kita secara psikologis sudah menabung luka batin akibat sikap abai kita, luka yang akan mereka bawa hingga berbulan-bulan, tahun dan mungkin selamanya.
Inilah saya kira mengapa urgen mempelajari ihwal parenting. Tak peduli status, pekerjaan dan jenis kelamin. Sebab kita hidup bersama, dan berdampingan dengan anak-anak saban hari.
“Anak-anak belajar tersenyum dari orangtua mereka.” Begitu pendakuan Shinichi Suzuki, tentu hal tersebut juga berlaku sebaliknya, anak-anak yang dididik dengan amarah jangan berharap akan menjadi ramah tatkala dewasa. Dia akan mewarisi kemarahan dari orangtuanya, dan mungkin saja melipatgandakannya. Kecuali, kalau dalam perjalanannya ia kemudian menemukan formula yang tepat untuk mengatasi hal tersebut. Namun, akankah kita serahkan anak-anak pada ketidakpastian masa depan?
***
Pekan lalu, saya sempat ikut dalam diskusi virtual dengan salah satu pegiat parenting, yang juga penulis buku Metamorfosis Ibu, Kak Mauliah Mulkin. Dalam pemaparannya, salah satu yang saya tangkap adalah tentap konsep pendidikan anak. Beliau menjelaskan tiga konsep dasar: otoriter, permisif, dan persuasif.
Saya akan mencoba membagikannnya, semoga, kita bisa mengenal dan mengidentifikasi di mana posisi kita berada selama ini baik sebagai orang dewasa maupun yang sudah berstatus orangtua. Tentu ini adalah hasil penafsiran saya terhadap apa yang disampaikan oleh Kak Uli kemarin, ditambah dengan penyelaman literatur saya di internet.
Pertama otoriter, adalah jenis pola asuh dengan unsur memaksa pada anak untuk mengikuti kehendak orangtua/orang dewasa. Konsep pendidikan seperti ini biasanya berlangsung satu arah, tanpa mau tahu kondisi kebatinan, perasaan maupun pikiran anak. Pola asuh seperti ini biasanya diikuti dengan punishment apabila anak dianggap tidak patuh terhadap orangtua. Patut disayangkan, pola asuh seperti ini justru akan menciptakan jurang pemisah antar anak dan orangtua menjadi lebar. Anak bisa saja menyimpan dendam pada orangtuanya, dan bisa menjadi bom waktu yang siap meledak kapan saja.
Nah, dalam kaitannya dengan profesi saya sebagai seorang guru. Harus diakui, pola pendidikan seperti ini masih jamak kita temui di sekolah. Di tengah gaung pendidikan partispatif, murid kadang masih dilihat sebagai objek pendidikan, yang mesti patuh tanpa keberanian mengemukakan perasaan dan pikirannya di depan guru.
Sampai di sini kita mesti paham, mengapa parenting ini mesti dipelajari oleh semua orang. Tak terkecuali guru, meski saya yakin dalam konsep pedagogik hal seperti ini sudah ada. Namun, saya kira keduanya akan bersifat komplementatif jika dikolaborasikan dalam ruang-ruang kelas.
Kedua, permisif, pola asuh ini bisa dibilang antitesa dari otoriter, semuanya serba boleh. Serba longgar dan bahkan tanpa aturan sama sekali. Anak-anak diberikan kebebasan tanpa batasan. Hal ini bisa disebabkan oleh orangtua yang terlalu sibuk pada pekerjaan, hingga tak sempat memperhatikan tumbuh kembang anak. Bisa juga terjadi pada anak tunggal, yang atas dalih kasih sayang memberikan apa saja yang diminta. Saya kira, pola asuh seperti ini juga banyak, utamanya di kota-kota besar, kota yang sibuk.
Terakhir, persuasif, jika kita percaya pada kemerdekaan, maka ini merupakan pola asuh yang mendukung hal tersebut. Tentu, kemerdekaan jangan dimaknai sebagai kebebasan yang kebablasan. Konsep ini merupakan perpaduan dari dua konsep sebelumnya. Dalam pengaplikasiannya, pola asuh ini didasarkan pada komunikasi dua arah antar anak dan orangtua/dewasa. Pola ini dianggap ideal karena dianggap menghargai pendapat, perasaan serta keinginan anak. Tentu, setelah dikomunikasikan dengan orangtua yang kemudian disepakati bersama. Orangtua bersikap terbuka, anak pun demikian. Muaranya adalah, anak dan orangtua bisa saling memahami keinginan masing-masing. Tidak keluar pada batas-batas yang telah disepakati bersama. Pokoknya demokratislah.
Anak kemudian melakukan sesuatu berdasar kesadarannya sendiri, motivasinya bersifat intrinsik, bukan paksaan dari luar. Hal ini, juga sejalan dengan konsep merdeka belajar yang digagas oleh Mas Mentri. Di mana guru-murid mesti berkolaborasi dalam proses pembelajaran. Tak harus dimonopoli oleh guru. Tak boleh monolog.
Saya rasa, pola asuh dan pendidikan seperti ini akan melahirkan generasi yang mandiri, jujur, open minded, dan dapat mengontrol diri. Bukankah tujuan pendidikan adalah memaksimal segenap potensi itu?
***
Pada akhirnya, untuk mewujudkan generasi yang baik, tentu dibutuhkan pula pola asuh dan proses mendidik yang baik pula. Saya percaya hal sesederhana itu. Dan, hal tersebut mesti dimulai dari orang dewasa yang berada di sekitar anak. Termasuk kamu dan saya yang belum menikah. Belajarlah mulai sekarang, mesti jodohmu belum kelihatan, meski uang panaikmu belum cukup, meski korona belum berlalu. Siapa tahu, setelah ini, seseorang datang ke rumahmu bersama orangtuanya. Siapa tahu? Mimpi aja dulu.
Intinya, belajar parenting tak harus kamu dan aku jadi parent dulu ya. So, prepapre yourself.
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).