Berkebun: Satu Episode Pemekar Jiwa

 

“Banyak yang berpikir, menanam lalu tumbuh dan menghasilkan itu secepat yang mereka saksikan di video. Ini bukan games.” (Olle Hamid)

Pastinya, saya seorang anak berayah petani di kebun dan beribu pedagang di pasar tradisonal. Ayah (Abba) berkebun dengan tanaman jangka panjang: kopi, cokelat, dan  cengkih. Di sela pohon-pohon ada pisang, papaya, rambutan, langsat, dan nangka, serta beberapa lagi jenis tanaman penyela lainnya. Sedang Ibu (Amma), pernah berjualan barang campuran, lalu berubah menjual pakaian jadi. Kedua orangtua saya, menjalani profesinya, hingga takluk pada kerentaan jasmani. Pun, jatah usia menyempurnakannya.

Sebagai anak keenam dari delapan bersaudara, saya dididik secara alamiah untuk menekuni kedua jenis pekerjaan itu. Sejak usia sekolah dasar sampai tamat sekolah menengah atas. Dan, sejak meninggalkan kampung halaman, Bantaeng, guna pergi kuliah, sesekali saja saya ikut bantu, kala ada libur dan pulang kampung. Uniknya, begitu selesai kuliah, saya memilih tinggal di kawasan padat pendudk, Kota Makassar. Kawin dan beranak pinak di kota. Menjadi kaum urban, dengan profesi, wiraswasta di bidang perbukuan. Penjual buku.

Praktisnya, pilihan pekerjaan saya, lebih diwarnai oleh etos Amma, selaku pedagang. Objek dagangannya saja yang beda. Amma menjual pakaian jadi,  saya berdagang buku. Namun, garis tangan sebagai seorang pedagang sama saja, hanya berputar pada tiga muara: untung, rugi, dan impas. Jadi, seorang pedagang, takdirnya jelas. Menari-nari di atas tiga muara itu. Pedagang sejati, pastilah pernah dipusari oleh muara-muara itu.

***

Apakah profesi Abba, benar-benar tidak menetes ke saya? Sepertinya begitu. Namun, serbuan pandemi Covid-19, membuat saya mulai menadah tetesan titisan Abba sebagai pekebun. Sebagai anak negeri yang mencoba patuh sepenuhnya pada pengurus negeri, saya ikut merumahkan diri selama hampir tiga bulan. Sejak penjarakan sosial dicanangkan, hanya dua hari kemudian, toko buku saya di bilangan utara Kota Makassar, saya tutup.

Berikutnya, jadilah saya pengangguran tak kentara. Pekan pertama di rumah, cuman makan tidur. Gambaran tembang Mbah Surip, “Bangun Tidur”, begitu nyata saya lakukan. Bangun tidur, tidur lagi. Sebegitu dramatiskah? Tidak juga. Tentulah saya juga beribadah, membaca, menulis, dan menonton. Namun, saya ingin jujur, lebih banyak tidurnya.

Nantilah pada pekan kedua, ada variasi kegiatan. Mula-mula saya rapikan halaman belakang rumah yang tidak seberapa luas. Sekira delapan  kali lima meter. Di tengah-tengah kesibukan itulah, saya sering perhatikan unggahan kawan-kawan di media sosial, yang menguritakan aktivitasnya di rumah dalam mengusir kejenuhan. Salah satunya, kegiatan berkebun di halaman, atau ruang-ruang kosong di sekitar mukimnya. Epiphany pun datang menyapa, ingatan pada Abba menghidu sekotah jiwa saya.

***

Guliran terungku masa pandemi makin kuat. Seiring dengan itu, seorang kawan penjual buku, Ikrimah, pemilik Toko Buku Intuisi Makassar, datang bertandang ke mukim saya. Sawala pun berlangsung dengan khusyuk seputar bisnis perbukuan yang ikut keok. Lalu berlanjut pada kegiatan-kegiatan penyela. Saya pun bercerita tentang aktivitas di halaman belakang rumah. Berkebun.

Ia pun menyebut sebuah buku yang mungkin perlu say abaca. Ajaibnya lagi, ia berjanji akan menghadiahkan buku itu. Selang beberapa hari kemudian, buku itu sudah tiba di mukim saya. Judulnya, Urban Farming, ditulis oleh Tim Agriflo. Buku ini membahas tentang bertani kreatif tanaman sayur, hias, dan buah. Saya pun membatin, amat pas dengan posisi saya saat ini, selaku pelaku urban dan ingin berkebun. Istilah kerennya, urban farming.

Saya eja dengan tekun buku itu. Tibalah saya pada pengetahuan bahwa urban farming, merupakan kegiatan menanam dan menumbuhkan tanaman di area padat penduduk, yang ditujuakn untuk konsumsi pribadi, maupun untuk didistribusikan pada orang-orang yang berada di sekitar area tersebut. Setidaknya 15% pangan dunia disuplai dari kegiatan urban farming!

***

Ketika sampai pada pucuk pendarasan buku tersebut, tetiba saya teringat pada unggahan seorang aktivis sosial, Nurhady Sirimorok di akun facebooknya. Ia mengapresiasi secara positif unggahan-unggahan kegiatan berkebun di lahan terbatas, dari warga. Simpulannya, gerakan ini semacam upaya menumbuhkan kedaulatan pangan. Warga akan berdaulat terhadap apa yang mau dimakan. Dan, berbeda dengan apa yang selama ini dibilangkan oleh pemerintah sebagai ketahanan pangan, yang hanya meletakkan pada ketersediaan pangan. Akibatnya, amat rentan pada ketergantungan.

Amat gamblang Nurhady bilang, “Kedaulatan pangan berarti para penggarap tahu apa yang dibutuhkan konsumen, dan punya kendali atas kebun yang mereka garap–di balkon, pekarangan, ataupun ladang. Karena itulah disebut kedaulatan… Orang-orang biasa sedang bekerja menggarap kebun, menumbuhkan harapan akan kedaulatan…Bila ini terus berlanjut, berlipat ganda, lalu terorganisir dengan baik, cita-cita kedaulatan pangan saya kira bukan lagi cuma harapan kosong.”

Penabalan Nurhady, seiring dengan buku yang saya eja itu. Bahwasanya, sisi positif dari urban farming, pertama, efesiensi energi. Terjadi penghematan energi transportasi produk dari kebun ke tangan konsumen. Kedua, kesegaran produk terjamin. Grow it, Pick it, Eat It! Ketiga, lebih sehat. Studi menunjukkan bahwa orang berkebun lebih banyak mengkonsumsi sayuran tinimbang yang tidak berkebun. Dan, keempat, hidup lebih hemat.

***

Heran bin takjub. Waima semula aktvitas berkebun menyentuh hal-hal yang bersifat jasmani, mulai bergeser ke kerja-kerja ruhani. Mungkin aneh belaka, saya bercakap-cakap  dengan tanaman dan binatang di area kebun. Burung-burung yang bercinta di reranting srikaya, sesekali mematuk bunga pare. Aneka serangga beterbangan, menari di pucuk-pucuk daun. Kucing liar yang beol di gemburan tanah. Tikus ikut menggeret kangkung, tomat, selada, dan cabai. Siput turut menghisap segalanya. Tak ketinggalan, hama putih berpesta pora di ketiak dedaunan.

Semulanya, saya dilanda kacau pikir dan rusuh hati. Lama kelamaan saya mulai berdamai dengan segenap binatang petualang dikebun sederhana ini. Apatah lagi, terhibur dengan unggahan  seorang karib, Olle Hamid yang cukup telaten melaporkan kebunnya dengan segala dinamikanya, di akun facebooknya. Ia seolah mengingatkan bahwa berkebun dengan luas lahan yang tidak seberapa, juga tidak mudah. Bacalah satu kalimat pendeknya yang saya nukil di mula esai ini.

Ternyata, saya tidak sendirian dalam soal berkebun sebagai olah jiwa. Seorang pentolan Band Padi, Fadli, tatkala vakum bermusik selama enam tahun, ia pun memilih berkebun ala urban farming. Bahkan, ia ikut mengampanyekannya. Di atas segalanya, saya jatuh hati pada seorang biksu, Thich Nhat Hanh, penyeru perdamaian dunia, asal Vietnam, yang tak boleh kembali ke negerinya, karena seruan-seruannya. Dari sepetak ruang kota di Paris, Perancis, mendirikan komunitas, “Sweet Potato”  di rumahnya. Pada pekarangannya, ia retret –berkebun, selain membaca, menulis, menerima tamu, dan meditasi.

***

Déjà vu, mungkin layak saya kedepankan saat ini. Lintasan-lintasan peristiwa bergonta ganti posisinya. Seringkali saya merasakan apa yang saya lakukan di kebun ini, sudah pernah saya lakukan sebelumnya. Atau, hanya sekadar pengulangan dari apa yang pernah saya lakukan di masa silam, kala menemani Abba di kebun.

Masa-masa menemani Abba, kadangkala terputar kembali. Abba yang mencintai sepenuh jiwa tanamannya. Kadang-kadang di tengah malam buta, ia menyingkap tirai jendela rumah kebun, lalu berucap lirih,”Sannanna nyawana lamung-lamung,” maksudnya,  begitu senang persaannya segenap tanaman itu. Lamat-lamat, saya dengar saat tuturnya, karena saya sudah setengah tidur.

Kiwari, saya tidak di rumah lagi. Sudah mulai ikut menggairahkan dinamika kota. Menyesuikan diri dengan masa Kenormalan Baru. Pun, saya kembali buka toko buku yang tutup hampir tiga bulan. Namun, aktivitas berkebun saya tetap jalan, saban pagi. Masa-masa ini, belumlah saya bisa panen  maksimal, karena sementara masih berebut pengaruh dengan  tikus dan hama, penuh kesabaran. Barulah kesabaran yang saya panen. Sungguh, sabar adalah mahkotanya jiwa. Jadinya, berkebun telah menjadi panggilan jiwa. Sepetak kebun pemekar jiwa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *