Memasyarakatkan Buku

Penyebaran virus Corona membawa perubahan yang cukup besar dalam pola kehidupan masyarakat saat ini. Setidaknya, imbauan dari pemerintah agar masyarakat melakukan pembatasan fisik (physical distancing) dan mengurangi aktivitas di luar rumah telah membentuk rutinitas baru. Hal tersebut juga memberi pengaruh pada ruang gerak fisik masyakarat. Kondisi ini menuntut masyarakat untuk berinovasi dalam mengupayakan dan mengakses aktivitas edukatif dengan tetap menjaga jarak aman, termasuk dalam aktivitas berliterasi. Lalu, bagaimana cara menjaga keberlangsungan aktivitas berliterasi saat isolasi? Peralihan dengan penyesuaian perlu mulai digagas ulang kini.

Seperti halnya, momen peringatan Hari Buku Nasional beberapa waktu lalu yang dirayakan secara berbeda tahun ini. Perayaan dominan diselenggarakan secara daring (online) oleh banyak komunitas dan pegiat literasi, serta pelaku industri perbukuan. Berbagai sajian virtual dihidangkan dengan ramuan yang beragam. Diantaranya, kelas-kelas penulisan, bedah buku, diskusi dunia penerbitan, pembacaan karya, hingga program-program pengadaan buku untuk tujuan sosial.

Salah satu isu paling krusial yang dimunculkan ialah upaya memasyarakatkan buku (Budianta, 2020). Ini tantangan yang tidak ringan, terlebih di tengah penyesuaian terhadap kondisi kini. Sebenarnya, isu tersebut bukan hal baru. Jauh sebelum masa pandemi, sorotan terhadap hubungan masyarakat yang belum lekat dengan buku sudah sering dilontarkan. Lantas, mengapa hal tersebut kian menantang?

Momentum Transformasi

Saat ini masyarakat kian mesra dengan teknologi digital. Apalagi, dalam masa pandemi masyarakat kian adiktif terhadap notifikasi (addicted to notifications). Durasi bersama gawai (gadget) jauh lebih lama, selain memang untuk penyelesaian keperluan bekerja atau belajar dari rumah.

Perubahan orientasi masyarakat dari tatap muka ke tatap layar menjadikan komunikasi dengan sistem daring menjadi hal yang tidak asing lagi. Senyampang dengan hal tersebut, mestinya ini menjadi momentum bagi komunitas dan pegiat literasi, serta pelaku industri perbukuan untuk mendekatkan masyarakat dengan bahan literasi yang berbasis digital.

Digitalisasi buku bukan hal baru. Namun, sejauh ini proses pengadaan dan pemanfaatannya masih belum maksimal. Dalam masa rangkak yang sama, digitalisasi buku jauh tertinggal dengan digitalisasi di bidang musik (Lestari, 2020). Bentuk buku elektronik (e-book) atau buku audio (audiobook) sudah saatnya menjadi ranah yang harus dieksploitasi secara total. Selain, memang ditujukan untuk kebutuhan variasi dalam berliterasi.

Medium perantara menjadi penekanan penting kini. Namun demikian, penekanan paling krusial tetap kembali kepada permasalahan awal yaitu revolusi membaca. Kita mulai perlu membedakan antara peristiwa literasi dan praktik literasi. Peristiwa literasi menyasar pada agenda-agenda yang berkenaan dengan dunia literasi. Di dalamnya masyarakat mengamati nilai, norma, identitas, perasaan, atau pengalaman. Adapun, praktik literasi menitikberatkan pada keterlibatan masyarakat untuk menjadi pelaku, bukan sekadar sebagai pengamat. Peran aktif  masyarakat dalam revolusi membaca diharapkan sampai pada level keasyikan bercengkerama dengan ilmu dan terbentuknya budaya baca.

Secara kuantitas, terbitan sebagai sumber bacaan tidak perlu dikhawatirkan lagi. Tidak sedikit komunitas (bahkan multikomunitas) yang bergerak untuk mewujudkan sebuah terbitan, baik dalam versi cetak maupun mulai dalam medium digital. Siapa saja bisa dengan sangat bebas menghasilkan tulisan. Nah, praktik baik literasi mestinya tidak cukup sampai di sini. Perlu kiranya, merayakan esensi membaca dengan mengkonsumsinya.

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221