Siapa yang tidak ingin bahagia? Siapa yang tidak ingin sukses? Dan siapa yang tidak ingin bebas? Kebahagian, kesuksesan, dan kebebasan adalah cita-cita semua umat manusia. Pertanyaannya, bagaimana cara memperoleh semua itu?
Apakah dengan menjadi manusia religius ala sufi dengan cara duduk di dalam ruang sepi sunyi sambil memutar balikkan tasbih atau memainkan jemari seakan sedang menghitung pahala diri? Ataukah menjadi seorang humanis religi ala agamawan kondang yang sering orasi kitab suci di atas mimbar mimbar publik?
Pertanyaan di atas dapat saja dijawab oleh setiap individu sesuai perspektif masing-masing. Yang mana jawaban yang satu tidak dapat menindas jawaban lain. Terlebih menindas jawaban lain sebagai sebuah kesalahan. Karena berangkat dari perbedaan jawabanlah yang kadang menimbulkan penjajahan atas ilmu pengetahuan.
Berbicara mengenai pengetahuan, patut kita ketahui bahwa manusia adalah makhluk yang bebas. Akan tetapi kebebasan manusia dibatasi oleh kehendak Tuhan. Jika kehendak Tuhan melampaui ruang dan waktu, maka manusia justru sebaliknya.
Kebebasan manusia selalu terikat oleh ruang dan waktu. Sehingga apapun yang dilakukannya tak lepas dari kata “relatif”, termasuk mengenai pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi, problem kebebasan manusia dalam berpengetahuan seakan terbatasi oleh pengetahuan keagamaan yang telah mapan dianut masyarakat. Wacana ini telah menjadi undang-undang yang jika dilanggar maka konsekuensinya adalah cap sesat dan kafir kepada para pelanggar pengetahuan yang telah mapan.
Mereka yang tadinya memiliki kebebasan berekspresi dalam berpengetahuan akhirnya menjadi tertindas. Sehingga menyebarkan pengetahuan yang telah mereka peroleh akan menjadi musuh bagi masyarakat. Penguasaan masyarakat terhadap pengetahuan, mengakibatkan mereka yang tadinya telah memperoleh pengetahuan merasa berat mengungkapkan segala pendapatnya ke publik.
Di sisi lain, ada juga yang secara berani memaparkan pendapatnya disertai dengan bukti bukti ilmiah. Tapi sayang, orang-orang seperti itu tak lepas dari kritikan masyarakat. Mereka yang berani itu bahkan sering dicap sebagai pribadi yang sok tahu akan pengetahuan yang disepakati masyarakat pada umumnya.
Kita bisa berangkat dari beberapa kisah tertindasnya seorang yang berpengetahuan tempo dulu. Seperti Ahmad bin Hanbal sebagai figur penegak sunnah dalam menghadapi kaum rasionalis Mu’tazilah harus mendekam di penjara dan merasakan penyiksaan yang dilakukan penguasa ketika itu. Tetapi lucunya, ketika pengetahuan Ahmad bin Hanbal menguasai masyarakat dan pengetahuan itu telah mapan dalam sebuah negeri, maka apa saja yang bertentangan dengan Ahmad bin Hanbal akan dianggap sesat dan kafir. Sungguh lelucon peradaban yang menggelikan.
Begitupun dengan Al-Hallaj sebagai tokoh sufi, hanya karena mengucapkan ana al-haq lantas menjadi martir dihadapan masyarakat. Tak ketinggalan juga Suhrawardi al-Maqtul, filsuf pencetus Iluminasionisme Islam, juga menjadi martir akibat cap sesat yang dilontarkan para fuqaha dogmatis.
Padahal jika kita telusuri ajaran-ajaran mereka, tentu pengetahuan yang mereka miliki tak bertentangan dengan ajaran Islam. Kalimat “bertentangan dengan ajaran Islam” hanya diucapakan oleh masyarakat yang meyakini satu doktrin tertentu dalam sebuah negeri. Sehungga jika hadir pengetahuan yang melenceng dari doktrin masyarakat, maka penjara, tiang gantung, tembak mati bahkan cap sesat dan kafir telah menanti dimana saja.
Persoalan mendasar bukan pada agama itu sendiri, tetapi pada masyarakat yang menguasai pengetahuan. Sejak agama ini diturunkan hingga hari kiamat kelak, maka agama ini tetap menjadi ajaran final yang harus diyakini. Akan tetapi, pengetahuan manusia dalam memahami agama tidak akan pernah final sampai hari kiamat. Mungkin inilah yang disebut sebagai pintu ijtihad akan selalu terbuka.
Rasa ingin tahu tinggi yang dimiliki sebagian individu memang harus terlebih dahulu memperoleh pendidikan dari seorang guru yang mumpuni di bidangnya. Agar pengetahuan yang diperolehnya tidak simpang siur dan tidak terjerumus dalam kesesatan. Tak ada problem dalam hal ini. Peserta didik memang harus mendapat pendidikan dari seorang guru.
Hanya saja, tidak jarang kita temukan masyarakat justru mengkritik juga mengenai tempat dan kepada siapa seseorang itu belajar. Sehingga jika guru itu juga memiliki pengetahuan yang bertentangan dengan pengetahuan masyarakat, maka hal sama pun terjadi sebagaimana yang menimpa Ahmad bin Hanbal, al-Hallaj, dan Suhrawardi al-Maqtul.
Sekali lagi, permasalahan utamanya ada pada masyarakat. Sejak dahulu hingga sekarang, wacana semacam ini sangat sering terjadi. Ketika masyarakat menguasai satu doktrin tertentu, maka doktrin yang bertentangan harus disingkirkan.
Masyarakat perlu mengetahui bahwa jangan menjadi penguasa dalam pengetahuan. Bagaimanana cara merubah paradigma berpikir masyarakat yang dogmatis ini? Tidak lain adalah dimulai dari diri kita sendiri. Hendaknya kita menghormati pengetahuan seseorang yang bertentangan dengan kita.
Ini bukan semacam arahan kepada liberalisme agama, tapi pendorong agar setiap diri berani belajar tanpa harus terikat oleh kemapanan. Patut diketahui, tak ada penindasan dalam pengetahuan. Karena pengetahuan yang menindas tak ada bedanya dengan penjajahan.
Penjajahan secara fisik mungkin telah tiada. Tapi penjajahan pengetahuan masih mendominasi dalam pikiran masyarakat. Mari merubah ini semua. Dimulai dari diri sendiri. Di sini lah kita butuh masyarakat tanpa karakter penguasa.
Sumber gambar: https://www.economist.com/opensociety