“Kita telah melawan Nak, Nyo. Sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia)
Beberapa hari lalu, publik kembali resah. Ihwal pembahasan Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) ditengah kegelisahan menghadapi Pandemi. Mencongol reaksi banyak pihak jadi tidak terhindarkan.
Mulai dari analisis jitu para pakar hingga aksi massa melengkapi respon tadi. Tidak ketinggalan, warga daring (dalam jejaring) juga mengambil peran. Untuk soal bentuk, tentu saja banyak ragamnya. Seminar daring hingga menggalang orang-orang ke salah satu titik tertentu (demonstrasi) salah satu dan salah duanya. Satu tujuan, menggagalkan RUU HIP disahkan.
Konon, rancangan undang-undang tersebut jika disahkan bisa berdampak buruk pada dasar negara kita. Pancasila. Tidak tanggung-tanggung, ideologi dedemit palu-arit ikut dikaitkan. Bahkan, wacana pemakzulan Presiden kembali mendapat ruang. Seolah hantu masa lalu dan sosok Presiden (Jokowi) jadi penghalang terwujudnya Indonesia Gemah Ripah Loh Jenawi. Terkait dua hal tadi bisa jadi penanda kelompok mana yang memainkannya, bukan?
Ferguso dan kawan-kawannya.
Perlu diakui, kesungguhan kelompok ini dalam memainkan isu hantu palu-arit dan pemakzulan cukup efektif untuk memancing rasa ingin tahu khalayak akan masa lalu. Pertanyaan, siapa sosok hantu tersebut? Bagaimana hantu tersebut bisa ada dahulu? Dan apa hubungannya dengan sejarah Indonesia?
Saya kemudian tertarik membuka kembali salah satu buku keluaran I:Boekoe, tahun 2009. Berjudul Pemberontak Tak (Selalu) Salah: Seratus Pemberontakan di Nusantara, buah tangan Petrik Matanasi (PM). Setidaknya, kitab ini bisa kita jadikan kunci membuka pintu mesin waktu sejarah Republik.
Buku setebal 539 halaman dengan ukuran 24 cm ini bercerita tentang banyak kejadian sejarah yang luput dari radar teks kementrian pengampu pendidikan di Indonesia. Salah satu sebab, menurut PM adalah pelabelan pahlawan itu sendiri. Yang jika kita telurusuri lebih jauh, gelar mentereng ini hanya milik kaum bangsawan dan kelas menengah. Termasuk juga bentuk campur tangan pucuk dalam membikin persepsi khalayak tentang perjalanan bangsa ini.
Maka dari itu, pria kelahiran Balikpapan 1983 ini menawarkan sejarah lewat bentuk narasi populer. Tujuannya, sebagai kepingan sejarah kita. Untuk mewujudkan hal itu, buku yang terbit sebelas tahun silam ini tidak dibuka dengan pengantar ahli atau pesohor bidang kesejarahan. Bayangkan saja, penulis membuka seratur cerita pemberontakan ini dengan pengantar yang bukan main panjangnya. Alhasil, dari halaman lima hingga halaman delapan puluh, pembaca “dituntun” oleh penulis sendiri dalam memaknai setiap cerita sejarah yang menjadi inti dari buku ini. Di sinilah salah satu keberhasilan penulis yang memang jarang diikuti oleh banyak sejarawan lain.
Selain itu saya anggap berhasil, upaya mandiri penulis mengantar pembaca juga bisa dimaknai optimisme. Bahwa, saat pertama pembaca memutuskan untuk memiliki buku bersampul hitam potongan gambar “orang yang sedang digantung ini”, adalah mereka yang tidak terjebak dengan kepopuleran pakar sejarah. Hal ini dipertegas dengan cap “Edisi Terbatas” dari penerbit. Singkatnya, buku ini sangat beda dan menarik.
Kita lanjut pada isi dari buku ini. Setelah suguhan panjang kali lebar penulis tadi, pembaca kemudian disuguhkan seratus daftar menu esai sejarah (hal 83-89). Secara garis besar, banyak cerita di sini berdiri sendiri. Meskipun ada juga yang masih berhubungan. Misalnya rangkaian pemberontakan pada cerita “Suksesi Demak” (hal 98), “Intrik Mataram” (hal 102), “Politik Mataram”(hal 106). Ada juga disinggung perjalanan panjang Partai berlogo palu-arit yang kemunahannya ditandai dengan Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 Tahun 1966.
Dari segi rentang masa, daftar menu esai sejarah penulis berada antara tarikh 1222 (Konflik Singasari, hal 90) hingga 2007 (Neo RMS, hal 506). Untuk sebaran wilayah konteks sejarah, PM membahas cerita secara merata. Baik dari Sumatra, Jawa, Sulawesi, Kalimantan, Maluku, NTT, dan Papua. Meskipun hampir semua esai sejarah dalam buku ini berkisah perlawanan akan ketidakadilan, akesntuasi tetap pada rakyat kebanyakan. Seolah penulis ingin berkata, gelar pahlawan itu sebenarnya bukan monopoli kelas menengah dan kaum bangsawan saja.
Jika rentang waktu menyentuh angka 7 abad, dan sebaran wilayah mencakup seluruh pulau besar NKRI, bagaimana dengan tendensi penulis? Jangan khawatir. Alasan penulis membuka dengan kisah perlawanan Ken Arok pada Tunggul Ametung (Konflik Singasari), semata karena titik berangkat waktu saja (Tahun 1222). Begitupun esai sejarah keseratus yang berkisah seputar pengibaran Bendera RMS di depan SBY juga karena titik akhir kisah berdasarkan tahun. Sekaligus memberi bukti bahwa penulis coba meletakkan sejarah sebagai subyek.
Terkait hantu palu-arit yang sering disebut-sebut oleh golongan Ferguso, PM juga cerita banyak. Terutama pada kejadian antara rentang tahun 1926-1927 (hal. 252-271 dan hal. 276-279). Juga kejadian tahun 1948 (Madiun Affair Melawan Pemerintah, hal 364), dan kejadian tahun 1965 (Kudeta Sial Letkol Untung, hal. 468 dan Pemberontakan dari Ruba, hal. 486).
Dari segi sudut pandang, delapan esai sejarah partai berlogo palu-arit ini cenderung tidak jauh berbeda. Adalah kekecewaan pada kondisi yang berlaku pada saat itu. Terutama sepak terjang kolonialisme kepada kaum terprentah (Istilah Tirto Adhi Soerjo), Adapun aktor penggerak dari masing-masing tahun juga berbeda. Dalam rentang tahun 1926-1927 dan 1948, generasi Musso dan kawan-kawannya adalah motor. Sedangkan era 1965 adalah dari kelompok tentara.
Yang tidak kalah menariknya, meskipun diksi “berontak” mengalami makna peyoratif saat ini, ternyata hampir semua kalangan pernah melakukan. Termasuk juga dunia ketentaraan. Pemberontakan prajurit PETA terhadap “ibu kandung”(tentara Jepang) dalam judul “Gara-gara Iba Tentara Jepang”(hal. 332) adalah salah satunya. Salah duanya, pemberontakan dalam tubuh KNIL. Cerita tentang Thomas Mattulessy bisa kita ambil contoh.
Dari dua kondisi tersebut di atas, sebenarnya kita bisa ambil pelajaran. Meskipun pengelola negara berupaya sekuat tenaga untuk melemahkan makna dari berontak turut serta pelakunya mengalami diskriminasi kesan, fakta sejarah atau kebenaran tetap menemukan ruang untuk menyeruak.
Ditambah lagi upaya kelompok Ferguso yang mencoba menghidupkan hantu PKI tapi tuna-tahu sejarah perjalanan bangsa dan riwayat (semua) pemberontakan, bagi saya bukan saja aneh melainkan juga ceroboh. Sedikit saran dari saya, sebaiknya lebih dulu mendaras sebelum berteriak keras.
Akhir kata, sebagai orang yang pernah mencecap ilmu sejarah di Universitas Negeri Yogyakarta (2002-2009), gaya penulisan Patrick Matanasi bagi saya tergolong segar. Bahkan, tidak berlebihan kiranya 100 esai sejarah ini adalah bukti dia pantas disandingkan dengan sejarahwan tersohor seperti Anhar Gonggong, Kuntowijoyo, bahkan Ong Gol Ham.
Judul Buku. : Pemberontak Tak (Selalu) Salah – Seratus Pemberontakan di Nusantara
Penulis. : Petrik Matanasi
Penerbit. : I:Boekoe, 2009
Halaman : 539; 24 cm
ISBN. : 978-979-1436-14-7
Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.