Dari Pandemi Literasi ke Literasi Pandemi

 

Paling tidak, lima tahun belakangan ini, gairah anak-anak negeri untuk menggerakkan literasi, sedang moncer. Bak musim semi. Ibarat cendawan tumbuh di musim hujan. Sekotah elemen masyarakat, baik pemerintah maupun warga, melirik gerakan literasi, sebagai aktivitas baru. Satu keyakinan bersama, bahwa literasi suatu negeri, menentukan masa depan negaranya. Kala gairah lagi moncer-moncernya, tetiba pandemi Covid-19, datang mengoyak-ngoyak tatanan hidup dan kehidupan. Tak terkecuali, jagat literasi ikut tiarap.

Lalu muncul sejumput tanya, bagaimana rupa gerakan literasi di kekinian dan kedisinian, di tengah terungku pandemi Covid-19? Sebelum memetakan respon atas tanya itu, sebaiknya, terlebih dahulu saya ajukan semacam lapik penjelas, tentang literasi yang diterjemahkan dalam bentuk gerakan, bekerja untuk melahirkan kompetensi di masa kiwari, lalu membentuk karakter anak-anak negeri di era futur.

Saya ingin meminjam kerangka penjelas, bikinan seorang scholar, Alwy Rachman.  Dalam satu perbalahan terkait literasi dan generasi  millenial, fokus pada kompetensi apa yang mesti dimiliki, guna menyongsong masa datang, patokannya tahun 2050. Alas pertimbangannya, bertumpu pada 21st Century Skills, keahlian pada abad ke-21.

Didedahkan oleh Alwy, bangsa ini harus menyelesaikan terlebih dahulu perkara literasi dasar. Ada enam literasi dasar yang mesti diseriusi. Komponen literasi itu: baca-tulis, numerik-angka-berhitung, sains-ilmu pengetahuan, teknologi informasi-digital, keuangan, dan budaya-kewargaan. Jika bangsa ini sudah berhasil memerdekakan literasi dasarnya dari tawanan sangkar ketertinggalan, maka anak-anak negeri akan menuai beberapa kompetensi, sebagai pelabur melatai cita-cita bangsa.

Apa kompetensinya? Setidaknya, ada empat kompetensi: Berpikir kiritis (critical thinking), kreativitas (creativity), komunikasi (communication), dan kolaborasi (collaboration). Bolehlah saya tabalkan, bahwa keempat kompetensi ini, wajib dimiliki oleh anak-anak negeri, agar bisa membawa negeri ini berjaya. Berpikir kritis berarti akan tiba pada kemampuan menyelesaikan masalah, dan itu bermakna lahirnya kreativitas. Buah kreativitas inilah yang dikomunikasikan, lalu dikolaborasikan. Sehingga, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama, mutlak dikedepankan.

Kasadnya, keempat kompetensi ini akan mengantarkan pada sunyatanya karakter anak bangsa. Paling minim enam poin, semisal: munculnya rasa ingin tahu (curiosty), penuh inisiatif (iniative), ada kegigihan (persistence), mampu beradaptasi (adaptability), memilki jiwa kepemimpinan (leadership), dan punya kesadaran budaya dan sosial (social and cultural awareness). Mari berimajinasi, tentang tatanan sosial negeri ini, manakala manusianya memiliki enam karakter ini. Dinamis bukan?

Nah, lapik pikir di atas, penuntasan enam literasi dasar, penuaian empat kompetensi, dan pengharapan pada nyatanya enam karakter, sungguh merupakan cita rekayasa sosial, yang secara praktis menjadi acuan dasar dalam gerakan literasi. Jadi, literasi yang dikonkritkan dalam gerakan di berbagai elemen masyarakat, bukanlah soal receh. Vitalitasnya bagi suatu bangsa, seperti Indonesia atau negeri semisal tempat kita berpijak, adalah perkara akbar . Pasal-pasalnya amat jelas, terang-benderang.

Sekarang mari lihat realitas kekinian dan kedisinian. Hadirnya pandemi Covid-19. Kacau balaunya respon terhadap virus ini, sudah cukup memadai untuk mengukur kapasitas literasi negeri ini. Ukurannya sederhana saja. Merajalelanya berita bohong (hoax), leluasanya urita palsu (fake news), dan bebasnya mengumbar kebencian (hate speech). Paling tidak, ada tiga komponen literasi dasar yang tidak tuntas. Literasi sains, informasi, dan budaya.

Demikian pula dengan adanya yang memperhadapkan antara penjelasan protokol kesehatan dan sikap keberagamaan sebagian umat beragama.  Temuan sains-ilmu pengetahuan dikontardiksikan dengan pemahaman agama, ditambah lagi dengan desas-desus kepentingan politik dan percaturan kekuatan-kekuatan global. Padahal, jikalau saja literasi bangsa ini, secara umum, literasi dasarnya tuntas, maka dapat diasumsikan, menghadapi serbuan pandemi Covid-19 akan lebih terkendali.

Berlapik pada cara berpikir demikian, saya asumsikan saja, suatu bangsa menjadi kuat dan berjaya menghadapi tantangan, tatkala kapasitas literasinya memadai, seminimnya, enam literasi dasar itu menjadi alas hidup di negeri ini. Dan, sebenarnya, sebelum pandemi menyerang, gerakan literasi yang moncer itu, dapat saya anggap semacam pandemi juga. Ya, pandemi literasi. Bayangkan saja, para pegiat literasi, dengan berbagai jejaringnya, membawa virus-virus literasi ke seantero wilayah, pada berbagai penjuru mata angin negeri.

Namun, harus diakui, pandemi literasi ini, untuk sementara diredam oleh pandemi Covid-19. Para pegiat literasi jeda sejenak, merumuskan siasat, agar bisa bebas dari bui Covid-19. Bentuk-bentuk gerakan konvensional perlu ditinjau ulang. Sebab, tatanan interaksi sosial ke depan mulai berubah, untuk jangka waktu yang belum pasti. Kelihatannya, geliat gerakan literasi mulai moncer lagi. Sudah siuman, setelah dibui kurang lebih tiga bulan. Model-model gerakan baru mulai terumuskan. Setiap pegiat akan ambil ancang-ancang bergerak.

Stidaknya, para pegiat literasi dan sekotah elemen anak negeri, mulai melakukan upaya-upaya serius untuk memahami lebih jauh pandemi Covid-19. Ada sebentuk usaha memaknainya secara lebih komprehensif dan holistik. Keberadaan virus ini, tidak lagi dilihat dalam sudut pandang kesehatan-sains semata. Sederet pendekatan lain mulai mengemuka. Pandangan menghadapi virus ini secara holistik menjadi wacana baru.

Ini berarti, selangkah lebih maju. Langkah maju itu, saya defenitkan  sebagai literasi pandemi. Pengetahuan terhadap virus makin benderang, itu karena literasi bekerja dengan intens, waima tidak terasa. Lihatlah pergeseran cara pandang, ketika pertama kali pandemi dilantangkan dengan keadaan sekarang. Anak-anak negeri sudah mulai lebih siap “bergaul” dengan virus.

Kuncinya sederhana saja. Moncerkan kembali pandemi literasi, agar literasi pandemi makin matang. Kiwari, mari melata dari pandemi literasi ke literasi pandemi. Apa pun medan laganya. Termasuk pasca pandemi Covid-19. New normal, kenormalan baru itu.

 

  • Entah pendengarannya seorang kisanak kurang jelas, atau kata-kata saya tak tangkas, sehingga ajakan saya ke satu hajatan disalah-pahami. Betapa tidak, Gusdurian menghelat haul Gus Dur, dia tangkap sebagai acara makan durian, terlebih lagi bakal minum jus durian. Mungkin kata Gusdurian menjadi biangnya. Apalagi sudah masuk musim durian. Sesarinya, hajatan haul Gus Dur (K.H. Abdurrahman Wahid,…

  • (Suatu Tinjauan Sosiologi Kekerasan) Kawasan Timur Tengah kembali memanas pasca kelompok Hamas Palestina menggencarkan serangan mendadak ke Israel tidak jauh di perbatasan Gaza, Sabtu (7/10/23) dini hari waktu setempat. Akhir pekan yang berubah mencekam, karena serangan ribuan nuklir itu tepat ditujukan ke Tel Aviv dan Yerusalem, menembus sistem pertahanan Iron Dome menghancurkan banyak bangunan. Frank…

  • Aktivitas manusia di era sosial media adalah produksi dan distribusi konten. Konten quote-quote adalah konten yang paling banyak berseliweran. Quotation adalah sebuah kalimat atau syair pendek yang disampaikan dalam rangka memberi makna ataupun mengobati perasaan derita dalam hidup. Penderitaan divisualisasikan dan didistribusikan melalui quote pada jejaring sosial media dalam upaya agar setiap orang diharapkan dapat…

  • “Saya tidak memikirkan representasi kecantikan yang lebih baik daripada seseorang yang tidak takut menjadi dirinya sendiri.” Pernyataan Emma Stone ini memberi sugesti pada saya betapa cantiknya seorang perempuan yang dikisahkan oleh dosen-dosen filsafat, dan yang digambarkan dalam film Agora yang pernah saya tonton. Sekitar 8 Maret 415 Masehi, kota Alexandria (Mesir) telah menjadi saksi bisu…

  • “Cita-cita kamu apa?” Ini adalah sepenggal pertanyaan yang begitu membosankan bagiku. Aku masih, dan selalu ingat. Betapa orang-orang sering mengajukannya kala aku masih di Taman Kanak-Kanak. Mulai bapak dan ibu. Tante dan om. Nenek dan kakek. Juga sepupu yang usianya terlampau jauh di atasku. Di sekolah pun demikian. Para guru kerap melontarkan deretan kalimat ini.…


Kala Literasi

Jl. Pa’ Bentengang No.6, RT.01/RW.08, Mangasa Kec. Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan 90221