Dahulu, sejak berada di pesantren, perasaan untuk sesegera mungkin menjadi alumni dan kemudian melanjutkan pendidikan tinggi bahkan sampai di luar negeri hampir menjadi idaman para setiap santri. Model kehidupan mahasiswa sangat diidam-idamkan. Berambut gondrong, nongkrong di warkop, berpakaian necis ke kampus hingga model kendaraan idaman menjadi topik pembicaraan penulis dan beberapa teman seperjuangan. Akan tetapi, benar yang dikatakan oleh para tetua, terkadang ekspektasi bisa sangat bertolak belakang dengan realita.
Kiwari, sejak menjadi mahasiswa, memang sedikit banyak model kehidupan mahasiswa yang sejak dahulu diidam-idamkan sudah terlaksana, tapi model kebiasaan tersebut tidak terjadi secara konstan terus-menerus dan justru menyelubungi tema besar dari kehidupan mahasiswa: tradisi literasi. Ya benar, model kehidupan mahasiswa yang bersifat primer atau fundamen adalah tradisi literasi. Sedangkan, berambut gondrong, berpakaian necis ke kampus, nongkrong di warkop hanya menjadi model kehidupan atau kebutuhan mahasiswa yang kesekian.
Secara umum, tradisi literasi dapat digambarkan dalam bentuk membaca, menulis dan berhitung, atau dengan terminologi lain disebut “calistung”. Kegiatan membaca boleh dituangkan melalui objek apa saja. Salah satu media umum untuk kegiatan membaca adalah buku. Suatu waktu, Tan Malaka pernah berkelakar, “Kalau perlu dan memang perlu, pakaian dikurangi, buku yang diperbanyak”. Begitu juga dengan menulis, boleh dituangkan dalam bentuk apapun: puisi, cerpen, esai, artikel, puisi bahkan kalimat-kalimat pendek yang dijadikan caption saat mengunggah foto di media sosial.
Lantas apa hubungan antara mahasiswa dan tradisi literasi? Mengapa tradisi literasi dicatut sebagai focus concern dari mahasiswa?. Mahasiswa juga dikenal sebagai akademisi. Secara otomatis, sebagai akademisi atau civitas akademik seorang mahasiswa mau tak mau harus bersinggungan dengan tradisi literasi. Membaca dan menulis. Mengerjakan tugas, membuat laporan, mengerjakan skripsi dan sebagainya menunjukkan bahwa membaca dan menulis adalah sebuah keharusan bagi mahasiswa dan secara tidak langsung menggambarkan “kedekatan” mahasiswa dengan buku dan alat tulis.
Lebih lanjut, ada beberapa anggapan yang disematkan kepada para mahasiswa oleh masyarakat umum khususnya di Indonesia: agen of change, agen of value, social control, iron stock dan masih banyak anggapan serta julukan yang lain. Yang pada titik kulminasinya, anggapan dan julukan yang bejibun jumlahnya hanya menjadi sekadar mitos belaka ketika tidak disertai dengan kemampuan atau kualitas mahasiswa itu sendiri. Kalau begitu, kemampuan dan kualitas mahasiswa untuk menjadi agen perubahan dkk. dapat ditinjau dari segi apa? jawabannya mudah, dari tradisi literasi.
Hal diatas diperkuat oleh Ubedillah Badrun, seorang dosen politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Baginya, salah satu budaya yang dapat dijadikan sebagai parameter kemapanan kualitas dari seorang mahasiswa adalah budaya literasi di samping dengan mendayagunakan secara optimal budaya-budaya khas mahasiswa yang lain: budaya berdiskusi dan budaya riset. Sekali lagi, tanpa disertai dengan tradisi literasi, budaya berdiskusi dan budaya riset, anggapan terhadap mahasiswa yang telah disebutkan di atas menjadi isapan jempol atau mitos belaka.
Tentunya, ketakutan tersebut juga hanya menjadi ketakutan belaka ketika mahasiswa sadar akan peran dan tugasnya dalam mengemban anggapan yang menjadi amanah yang disematkan kepadanya oleh masyarakat. Berangkat dari hal tersebut seyogianya mahasiswa zaman sekarang atau yang lebih sering disebut mahasiswa zaman now tidak mengalami degradasi serta dekadensi dalam tradisi literasi. Dengan berbekal kemudahan yang diberikan oleh zaman sekarang, zaman digital, seharusnya tidak membuat mahasiswa ikut larut menjadi intelektual instan. Tradisi literasi harus tetap dibudidayakan dan terus ditumbuhkan.
Perkembangan situasi global era digital zaman now ini kemudian menciptakan era yang dikenal sebagai Disruptive Era. Sebuah era yang ditandai dengan ketidakpastian, penuh gangguan, hadirnya banyak perubahan, dan bahkan terus-menerus berubah tanpa batas. Menurut Hermawan Kartaya (2018) dalam bukunya Citizen 4.0 memaparkan bahwa ada tiga grand design atau big theme dari era digital atau era disrupsi atau era Revolusi Industri 4.0: desentralisasi, horizontalisasi dan inklusifitas.
Disadari atau tidak, ketiga tema itu juga merombak tatanan kehidupan mahasiswa di era sekarang. Desentralisasi memudahkan mahasiswa untuk mengakses bahan materi kuliah dengan satu gerakan tangan pada layar gawai, tidak lagi merasa repot mengungjungi perpustakaan yang kadang jaraknya juga lumayan jauh. Horizontalisasi menggambarkan stuktur kemapamanan yang sudah-sudah kini tak lagi seperti itu. Misalnya dengan diberlakukannya Student Centre Learning. Pun begitu juga dengan sikap inklusifitas. Sikap ini lahir karena adanya dua sebab yang mendahuluinya—desentralisasi dan horizontalisasi—membuat kesan eksklusif tidak lagi terasa di ruang kelas. Contohnya, dengan diberlakukannya SCL (Student Centre Learning) membuat proses berdiskusi antara dosen dan mahasiswa semakin progresif tanpa ada kesan yang membuat sekat antara dosen dan mahasiswa.
Salah satu anggapan yang sering dielu-elukan oleh masyarakat dan bahkan mahasiswa itu sendiri adalah mahasiswa dicatut sebagai agen pembawa perubahan. Apabila diperhadapkan dengan era disrupsi sekarang ini, tentu mahasiswa memiliki peran untuk andil dalam mengawal perubahan seperti yang disangkakan kepadanya. Dengan terma desentralisasi, horizontalisasi dan inklusifitas di era disrupsi, tidak hanya melahirkan kemudahan-kemudahan, tapi juga melahirkan beberapa tantangan karena banyak hal baru yang ada sekarang ini dan tidak terdapat di era sebelumnya. Penggunaan sosial media dalam kehidupan sehari-hari bisa menjadi contoh umum bagi hal ini. Menonton drama korea, streaming YouTube, main TikTok, live Instagram, buat status di Whatsapp, push rank atau “mabar” (main game bareng) adalah beragam aktivitas sosial media, yang jika dicermati secara signifikan hanya membuang waktu apabila akitifitas dunia maya tersebut tidak bersifat produktif bagi perkembangan diri.
Aktivitas-aktivitas dunia maya tersebut pun mempunyai dampak bagi budaya literasi. Pada awalnya, waktu berjam-jam dihabiskan berada di depan buku atau alat tulis, kini waktu berjam-jam tersebut dialih-fungsikan dengan aktivitas dunia maya tersebut. Seharusnya, dengan serba-serbi kemudahan yang ditawarkan oleh era digital tidak membuat para mahasiswa terbawa arus, tidak berubah menjadi terombang-ambing di era yang serba tidak menentu ini. Sebagai agen perubahan, mahasiswa perlu untuk sigap dan cermat dalam menjawab tantangan zaman, perlu beradaptasi sedemikian rupa agar tetap dapat mensinergikan langkah dengan kehidupan zaman serta menangkap peluang positif yang disediakan oleh lahirnya era disrupsi kiwari. Berikut kiat yang ditawarkan oleh Ubedillah Badrun untuk menjadi mahasiswa atau aktivis Zaman Now: a). menumbuhkan budaya literasi, budaya diskusi dan budaya riset, b). mengikuti perkembangan teknologi terbaru dan melakukan inovasi, c). menghargai perbedaan dan d). mengutamakan kepentingan orang banyak (national interes)
Setelah memperhatikan kondisi realitas dan kompleksitas dunia kemahasiswaan di atas, rasanya penulis hendak mendiskusikan, menafsir ulang bahkan merekonstruksi anggapan dunia kemahasiswaan dengan teman seperjuangan saat santri dahulu. Sejauh mana kemampuan metakognisi mengukur beragam realitas dan kompleksitas diatas sudah tercapai pada setiap diri dan seberapa dalamkah budaya literasi itu melekat. Ya, cepat atau lambat pertemuan di meja warung kopi mesti menjadi mediator diskusi tersebut.
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute