Apa yang anda lakukan saat lowong? Tentu saja banyak jawaban yang bisa diberikan. Dahulu, waktu luang diisi dengan menyalurkan hobi atau bakat, sekarang juga demikian. Perbedaannya pada bentuk dari keduanya. Bisa jadi, saat lalu, penyaluran hobi atau bakat jadi pilihan untuk sekedar berpuas diri. Saat bisa menambah penghasilan, dianggap sebagai bonus dan bukan tujuan.
Berbeda dengan sekarang. Salah satu bentuk paling populer dalam mengisi waktu luang saat ini, adalah “bercengkerama” dengan ponsel pintar. Sebabnya, benda kecil berukuran antara empat hingga lima inci ini telah dimiliki hampir setiap orang. Bahkan, tidak memandang umur dan latar belakang ekonomi sekalipun. Makanya, alat komunikasi jenis ini lebih cepat mengalami evolusi dibanding (ibunya) “temuan” Alexander Graham Bell.
Perlu diakui, sejak benda ini hadir pertama kali–28 tahun silam–telah berpindah tempat dari (kebutuhan) tersier ke primer. Apalagi, tiga dasawarsa sebelum embrio ponsel pintar besutan IBM lahir, menusia menciptakan mekanisme penomoran terintegrasi dan perhitungan (dalam bahasa asli disingkat ENIAC). Metamorfosa ENIAC ini kemudian menjadi komputer yang kita kenal sekarang.
ENIAC inilah yang jadi penyebab utama pendeknya waktu evolusi alat komunikasi jenis ini. Sekarang kita menyebutnya telepon seluler pintar (ponsel pintar). Di saat bersamaan kehadiran ponsel pintar di tengah-kita ternyata jadi pelumas untuk lahirnya varian baru dari tempat interaksi antar manusia. Jika dulu manusia hanya mengenal dunia materi dan non-materi (ghaib, bagi yang percaya), sekarang bertambah. Dunia maya, sebutannya hari ini.
Sejurus dengan itu, aktivitas manusia dalam mengisi waktu luang mau tidak mau turut serta beradaptasi. Berselancar lewat ponsel pintar jadi pilihan baru. Akibat dari “adaptasi” tersebut dan ditambah fakta bahwa ponsel pintar menyuguhkan (jenis)”candu” baru bagi manusia, kebiasaan bercengkrama kemudian lahir.
Ada sebuah fakta menarik terkait hal di atas. Perkawinan alat komunikasi dan komputer ternyata berpengaruh ke semua bidang. Salah satunya pekerjaan manusia. Sekarang ini lahir model baru pekerjaan bernama: Pemengaruh (Influencer). Jika merujuk pada definisi bahasa aslinya, pemengaruh adalah orang yang menginspirasi atau mengarahkan untuk melakukan sesuatu. Sebutan ini terkenal di jagat dalam jejaring (daring). Tidak tanggung-tanggung, jenis pekerjaan ini bagi generasi yang lahir di awal abad ke-21 dianggap paling menjanjikan. Jika tidak percaya, coba tanyakan pada mereka yang lahir di penghujung tahun 90-an. Jangan harap profesi dokter, polisi atau tentara, bahkan pilot masih menempati urutan teratas cita-cita mereka.
Profesi pemengaruh telah menyebar rata di seluruh dunia (nyata). Termasuk juga di Indonesia. Terutama sejak 2018, ada banyak sosok pemengaruh yang dikenal hingga sekarang. Bahkan kemasyhuran mereka mampu menggeser penyandang gelar artis yang sesak memenuhi televisi dan panggung-hiburan belakangan ini. Meskipun dari segi umur, mereka masih sangat muda. Belasan tahun hingga dua puluhan tahun.
Berbicara soal profesi tersebut di Indonesia; tahukah anda pemengaruh pertama di Republik ini? Jika pembaca yang budiman menyebut nama-nama artis daring saat ini, jawaban anda sekalian: salah.
Sebelum saya lanjut menjelaskan, ada baiknya kita urai lebih dulu sejarah pemengaruh secara global. Adalah paruh akhir abad ke-18 menjadi penanda pekerjaan ini pertama kali dilakoni oleh manusia. Namanya Josiah Wedgwood (JW). Anak bungsu dari pasangan Thomas Wedgwood dan Mary Wedgwood ini lahir pada 12 July 1730 di Burslem, Staffordshire, Inggris. Sebenarnya dia bukan pemengaruh murni.
Hal yang mendorongnya hingga menjadi seorang pemengaruh adalah kondisi dunia saat itu. Ketika gelombang revolusi industri 1.0 (1760-1820) sudah tidak terbendung dan menyebar hingga ke pelosok Eropa termasuk Inggris, pilihan untuk jadi pemengaruh tidak terhindarkan. Meskipun profesi ini dilakoninya secara tidak sadar, ternyata perusahaan penghasil tembikar miliknya mampu menumbangkan pemain besar perkakas rumah tangga dari China (porselin).
Hanya butuh waktu beberapa bulan untuk membalikkan anggapan porselin dengan cap Negeri Tirai Bambu adalah yang terbaik. Berbekal pendalaman ilmu pemasarannya dan rekan bisnis (Thomas Bentley), konsumen tembikar di Eropa dan Inggris pada khususnya beralih pada penjenamaan milik mereka. Sekaligus, kakek dari Charles Darwin (penemu teori Evolusi) ini adalah penerap pertama kali istilah-istilah dalam pemasaran yang kita kenal hingga saat ini. Di antaranya: “garansi uang kembali”, “gratis ongkos kirim”, “beli satu dapat satu (gratis)”, dan “rancangan produk dalam gambar (brosur)”.
Inilah jadi peneguh di kemudian hari, dirinya mendapat gelar “pemengaruh pertama di dunia”.
Bagaimana dengan di Indonesia?
Sebenarnya, profesi pemengaruh tidak muncul pada awal abad ke-21. Pekerjaan ini sudah ada sejak seabad silam. Pelakonnya pun bukan orang sembarangan. Sosok yang pertama kali mempromosikan oleh Pramoedya Ananta Toer. Bahkan, cerita tentang pemengaruh pertama ini telah berbentuk film.
Iya, betul. Pemengaruh pertama Republik ini adalah Tirto Adhi Soerjo (TAS).
Jika hari ini, indikator seseorang dikatakan layak disebut pemengaruh sebatas jumlah pengikut pada akun sosial media daring miliknya, berbeda dengan TAS. Dengan bermodalkan pengetahuan yang mumpuni dan kemampuan menulis paripurna, tidak hanya seribu sampai puluhan ribu, angka ratusan hingga jutaan orang bisa dikatakan sebagai pengikut setia lelaki kelahiran Blora (1880). Mereka tergabung dalam banyak bentuk. Mulai dari pelanggan koran Medan Priaji sampai anggota dari Serikat Dagang Islam (SDI).
Terlebih lagi, para pengikutnya adalah tokoh sentral era pergerakan Indonesia kala itu. Sebut saja: Hadji Soemanhudi. Siapa yang tidak kenal dengan pemuka agama ini? Kebesaran nama TAS membikin dia dan Rekso Remikso (organisasi bentukannya) bergabung ke SDI. Kelak, Hadji kelahiran Surakarta ini ditunjuk oleh TAS untuk menahkodai SDI hingga tahun 1914.
Kiprah pemengaruh dari TAS dimulai sejak kepulangannya dari vakansi di kepulauan Maluku. Bersama putri Raja Ternate kala itu dan dilatari kegelisahan pada nasib bangsanya, anak Bupati Bojonegoro ini terdorong untuk berbuat sesuatu. Langkah pertema yang dia lakukan menjadi wartawan dan penulis lepas pada koran terbitan asing di Indonesia. Kemampuan menulisnya memang telah diasah sejak masih terdaftar di STOVIA. Selain itu, kebiasaannya mencatat semua kejadian dalam buku kecil miliknya, membuat bahan tulisannya tidak pernah habis. Dia juga pelumat buku yang rakus.
Tidak puas dengan apa yang dilakukan, membikin dia semakin gelisah. Untuk itu, dia kemudian menggagas sebuah organisasi pergerakan kebangsaan murni pribumi. Dipilihnya nama ”Sarejkat Priatji”. Organisasi yang resmi terbentuk 1906 ini dimotori oleh beberapa orang penting kala itu. TAS sadar betul, menyebarluaskan gagasan tanpa diikuti dengan menggerakkan kaum pribumi, tentu akan jadi sia-sia.
Jika para pemengaruh hari ini memulai dengan menentukan konten dan kelompok sasaran, TAS beserta lima orang pendiri Sarejkat Prijaji juga melakukan hal yang sama. Lewat visi dan misi organisasi, ternyata mampu menarik tujuh ratus anggota dalam waktu singkat. Bayangkan saja, saat di Indonesia angka melek huruf masih sangat terbatas dan itu pun hanya kaum bangsawan saja, Sarejkat Prijatji mampu menarik dengan cepat perhatian tujuh ratus orang. Iya, tujuh ratus orang.
Bahkan, tidak puas dengan popularitas dari organisasi besutannya dan atas dorongan para pendiri “Sarejkat Prijaji” keputusan menerbitkan koran juga ditetapkan. Itu pun, sebagai pembeda dengan media cetak kebanyakan pada masa itu, kata kunci dari koran ini adalah “100% Pribumi dan permasalahannya”. Mulai dari penerbit, isi berita, hingga pelaksana harian. Nama koran pribumi pertama ini adalah “Medan Prijaji”. Sekadar informasi, pada waktu itu, media pemberita hanya milik warga asing. Pribumi hanya jadi pekerja. Kehadiran Medan Prijaji menjadi bahan bakar baru pada gerbong panjang menuju stasiun kemerdekaan Republik Indonesia.
Bukti terakhir bahwa TAS merupakan seorang pemengaruh sejati adalah ungkapan khas. Sejak mengepalai koran pertama yang “dimainkan” oleh pribumi, TAS memperkenakan sebutan baru lewat jargon koran miliknya. “Membela Kaoem Terprentah”, demikian tertulis disetiap edisi halaman depan Medan Prijaji. Saking seriusnya dengan istilah kaum terprentah tersebut, TAS membuka cakupannya untuk setiap orang yang pada masa itu sedang dalam kondisi susah karena penjajahan adalah “kaoem terprentah”. Jika TAS hidup saat ini, istilah “kaoem terprentah” bisa dikatakan bentuk penjenamaan diri (personal branding) beliau.
Setelah Medan Prijaji berjalan dan diterima oleh khalayak, sebenarnya masih banyak lagi upaya yang dilakukan oleh TAS dalam menyebarluaskan gagasannya. Bahkan dibentuk pula koran yang khusus untuk kaum perempuan pada waktu itu. Sekaligus ini menjadi koran pertama (untuk dan dari) perempuan yang diisi oleh pribumi murni semuanya.
Seperti halnya JW, menjadi pemengaruh ternyata tidak disadari oleh TAS. Persamaan keduanya terletak pada latar belakang hingga jadi pemengaruh. Mereka menyebarkan virus perlawanan pada dominasi. Bedanya, JW “melawan” dominasi porselin China di Eropa, sedangkan TAS menjadi pelopor bangsa ini keluar dari penjajahan.
Coba bandingkan dengan generasi pemengaruh hari ini.
Sumber gambar: Suara.com
Lebih akrab disapa Nano. Konsultan kesehatan. Bertugas dan berdomisili di Bantaeng.