Demi Waktu dan Puisi Lainnya

Gunung yang Retak itu

Lompobattang, gunung tinggi menjulang

Terpancang, tegak sebagai pasak.

Pepohonan menghijau, mengasrikan pandangku,

menyejukkan alamku.

 

Namun, semua itu, hanya cerita masa lalu.

Kini, tiada lagi dapat dinikmati.

Seperti hendak menjemput ajal,

Tak lama lagi, pasti mati.

 

Mata air yang bening, telah kering.

Tanahnya yang cokelat, telah retak.

Tinggal menunggu waktu untuk lantak.

Lalu, hilang tak bersisa, tak berjejak.

 

Ulah pengolahan lahan yang tak bijak.

Hanya karena alasan pemerataan pembangunan,

Segala rupa diratakan.

 

Magrib menjelang, kami tercengang,

Tersentak mendengar hulu  dirundung pilu,

tebing-tebing menggelinding.

Duka tak terbendung,

di hilir, getir membanjir.

Bandang menyapu.

 

 

Rindu yang Terbunuh

Pucuk-pucuk daun bambu

Jadi saksi rindu

Pada yang tersimpan di dalam kalbu

 

Angin semilir yang berhembus,

kutitip rindu yang terhunus.

Kuyakin ia mampu menembus.

 

Lalu, bayu itu menjadi lesus.

Menyapu alam seluruh,

hingga luluh.

 

Memecah belah bambu,

menjadi sembilu

yang membunuh rindu.

Sebelum bersetuju.

 

 

Kemis

Kusambut pagi dengan meminta

Kulepas siang dengan meminta

Kuawali malam dengan meminta

Kujelajahi malam dengan meminta

Biarlah begitu selamanya dan seterusnya

Karena aku papa

 

 

Terlena

Sungguh aku terlena oleh pesona,

Terpana oleh cerita nostalgia

Hingga aku lupa

Masa lalu adalah milikmu.

 

Sementara,

Kini yang kualami

dan yang akan bertandang,

Kepunyaanku.

Kejayaan yang engkau wariskan

Tiadalah bermakna

Bila tak kuteruskan

dan kuberi warna yang berwarni.

 

Jika kemegahan dan keindahan itu

Hilang dan pergi meninggalkan

Aku tersuruk dan hanyut dalam kedukaan.

Rupanya aku tuna pada hikmah.

 

 

 

Demi Waktu

Demi waktu yang hampir berganti,

Aku lalai untuk menyadari,

Bahwa sebentar lagi engkau akan pergi.

Tapi aku masih tetap saja seperti ini.

 

Demi waktu yang hampir usai,

Sesungguhnya akulah manusia yang paling merugi

Isyarat yang kau beri, tak pernah aku peduli

Barulah saat engkau benar-benar pergi, terlambat aku sesali.

 

Demi waktu yang tak pernah kembali,

Aku belum mengabdi sepenuh hati.

Sementara engkau telah terbang tinggi,

Di tempat abadi, yang tak terjangkau lagi.

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *