Desa vs Covid-19

 

Ya, pembahasan masih belum move on, masih berkutat di isu Covid-19 yang nampaknya belum ada kejelasan kapan berakhir. Sangat kontradiktif hubunganmu dengan dia yang sudah selesai. Ya, sejak virus itu turba ke Indonesia dan menginfeksi orang-orang. Situasi sungguh berubah seratus delapan puluh derajat. Jalanan berubah lengang, sekolah tutup, warung makan tutup, juga hati. Pokoknya segala hal yang bisa mengundang interaksi orang-orang dibatasi. Begitulah kira-kira gambaran beberapa bulan yang lalu, tatkala Covid-19 baru saja ‘masuk’ Indonesia. Kita sungguh takut, juga waspada.

Kini, berbulan setelahnya. Situasi nampaknya kembali seperti biasa, meski tak senormal sebelumnya. Ahh, ribet amat. Sebut saja New Normal. Di Bantaeng disebut dengan istilah yang lebih mudah “Kebaikan Baru”. Beda penamaan saja. Namun, sepertinya ini merupakan salah satu upaya psikologis Pemerintah mengedukasi warga. Memakai masker, rajin cuci tangan, dan menjaga jarak adalah kerja-kerja kebaikan, tak ada bedanya dengan kebaikan lainnya, dan bukankah semua hal baik itu selalu mendatangkan manfaat? Di sisi lain, Istilah kebaikan baru nampaknya lebih mudah diterima. Kalau New Normal terlalu kebarat-baratan, apatah lagi menyebut istilah tersebut langsung menerbangkan memori kita pada trauma kematian orang-orang akibat pandemi.

Sebagai orang yang tinggal di desa. Sebenarnya, sejak Covid-19 masuk ke Indonesia dan turba ke wilayah Indonesia. Nampaknya, masyarakat di desa adalah yang paling santuy menanggapi pandemi ini. Namun, jangan disalahpahami ke-santuy-an kami. Maksudnya, masyarakat desa tetap beraktivitas normal seperti biasa: bertani dan beternak. Sawah dan kebun tak mungkin ditutup kan? Rasa-rasanya para petani di desa adalah pekerja paling aman di tengah pandemi, bebas dari PHK, juga dari virus.

Jika pun ada yang merisaukan kami, mungkin karena harga komoditi pertanian yang tidak stabil akibat pandemi ini. Tersendatnya mobilitas barang menjadikan harga komoditas pertanian menjadi fluktuatif. Juga penutupan masjid-masjid untuk sementara waktu, juga sempat membuat warga desa bingung. Namun, mereka lekas paham dan tidak bandel setelah diberitahu. Setidaknya begitu di desa saya, meski di awal-awal sempat terjadi juga ‘penolakan’ juga oleh sebagian warga.

Apakah masyarakat desa aman dari Covid-19? Saya tidak bisa menjamin seratus persen. Yang bisa saya pastikan, bahwa kami di desa juga takut terhadap virus ini. Ketakutan itulah mungkin yang menjadikan kami lebih waspada jika keluar. Ibu-ibu di desa kalau ke pasar pasti menggunakan masker, berusaha tidak bersentuhan saat bertransaksi, juga langsung mandi setelah pulang ke rumah. Terkadang, ketakutan justru menjadi penyelamat kita dalam situasi seperti ini. Takut yang wajar, tidak dilebih-lebihkan. Apalagi dilebay-lebaykan.

Bagaimana dengan bapak-bapak? Tak jauh beda, saban pagi sehabis ngopi mereka ‘ngantor’ di kebun atau sawah, merawat tanaman juga ternak. Kalau capek, pulang ke rumah: tidur. Kadang juga bercengkrama dengan anak, istri dan tetangga dekat rumah. Bapak-bapak di kampung sangat jarang keluar desa. Mereka keluar kalau ada hal penting saja, misalnya hajatan keluarga. Apatah lagi ketika hajatan untuk sementara dilarang, semakin jaranglah mereka keluar desa.

Kalaupun ada yang berpotensi ‘merusak’ desa dengan membawa virus dari luar, ya pastilah anak-anak muda. Kenapa? Merekalah yang paling aktif bepergian, entah mengurus apa, entah ketemu siapa. Anak muda juga ini juga yang paling ‘bandel’ menanggapi Covid-19 ini. Malas pakai masker, malas cuci tangan, malas jaga jarak sama mantan, ehh. Apatah lagi, jika kepala mereka sudah dibanjiri arus informasi yang tak sanggup lagi mereka filter benar salahnya, juga baik buruknya. Banjir informasi sungguh berbahaya jika tak dilengkapi dengan saringan berpikir yang baik.

Hingga hari ini, Covid-19 masih berkeliaran di sekitar kita, dan jika Sir Mark Walport yang menjadi Penasehat Kelompok Penasihat Ilmiah Untuk Keadaan Darurat Inggris itu benar, maka virus Covid-19 ini akan hadir selamanya dalam beberapa bentuk dan lainnya. Inilah alasan mengapa kewasapadaan dan kewarasan mesti terus dijaga.

Beraktivitas seperti biasa di era ‘kebaikan baru’ memang sah-sah saja, dan bahkan dianjurkan untuk beberapa alasan. Namun, tetap saja, kewaspadaan masih harus tetap diperhatikan. Jangan sampai, kelengahan kita bisa menyebabkan lahirnya klaster-klaster baru hingga bermuara pada lahirnya gelombang kedua Covid-19. Jangan sampai.

Sebagaimana yang telah terjadi di Vietnam di awal bulan ini, setelah tiga bulan sebelumnya tidak mencatat penularan lokal, kini Vietnam sedang berjuang menangani gelombang kedua Covid-19, sebagaimana dilansir oleh Liputan6.com yang dikutip dari Channel News Asia.

Di Korea Selatan juga terjadi hal serupa, yang mencatat kenaikan harian tertinggi sejak bulan Maret. Klasternya berasal dari sebuah gereja Salang Jeil di Seoul, juga dari demonstrasi politik. Alasan utama penyebaran virus ini tentu saja akibat pengabaian protokol kesehatan yang sebelumnya telah diperingatkan oleh Pemerintah. Jika keadaan tetap tidak berubah, maka Pemerintah akan memberlakukan status keadaan darurat level 3, yang berarti sekolah harus ditutup kembali dan murid mesti belajar daring kembali dan pertemuan ruangan lebih dari 10 dilarang.

Saya rasa, masyarakat Indonesia bisa belajar dari dua kasus di atas. Covid-19 masih ada hingga kini, karenanya waspada di era ‘kebaikan baru’ adalah hal yang tak bisa dipandang remeh. Penting untuk memiliki rasa takut, bersikap berani yang tidak pada tempatnya hanyalah bentuk kearogansian semata. Karenanya, Bersikap waspada di tengah pandemi adalah sebentuk ikhtiar menjaga kedaulatan dan kemerdekaan negeri dari tirani Covid-19.

Tetap waspada, Bro.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *