Secara leksikal, rejuvenasi berarti peremajaan kembali. Kata rejuvenasi, pertama kali saya dapatkan pada sebuah judul tulisan Prof. Azyumardi Azra dalam buku anggitannya. Rejuvenasi Pancasila, demikian judul tulisannya. Terangkum dalam semesta di balik punggung buku berjudul Relevansi Islam Wasathiyah. Rejuvenasi kaderisasi lembaga kemahasiwaan berarti meremajakan kembali kaderisasi lembaga kemahasiswaan. Hal ini sangat penting untuk dilakoni. Alasannya ada dua. Pertama, model perkaderan yang ada pada lembaga kemahasiswaan tampak kian “usang” dan tidak sesuai dengan semangat zaman yang ada: Era Digital. Kedua, kaderisasi lembaga kemahasiswaan hanya terkesan untuk “gagah-gagahan” dan tidak menyentuh nilai ideal identitas seorang mahasiswa.
Beberapa waktu lalu, beredar sebuah video di media sosial. Video tersebut menampilkan prosesi P2MB (Proses Penerimaan Mahasiswa Baru) salah satu kampus yang dilaksanakan secara daring. Pada video itu, kita dipertontonkan laku sosok senior yang membentak seorang junior atau maba (mahasiswa baru). Si senior menanyakan ini-itu kepada sang junior. Dengan takut dan sedikit gugup, si junior menjawab cecaran pertanyaan dengan suara terbata-bata dan kepala menunduk. Ironinya, pahit untuk diakui, pada video lain mempertontonkan seorang maba yang sedang mencoret mukanya dengan spidol atas perintah si senior. Puh! betapa mirisnya!
Bagi sebagian orang, laku tersebut berfungsi sebagai ajang untuk membentuk mentalitas mahasiswa baru. Akan tetapi, bagi sebagian orang lain, laku tersebut tergolong purba dan ketinggalan zaman untuk dilakukan di era kiwari.
Kaderisasi, umumnya salah satu program wajib lembaga kemahasiswaan. Dengan mencetak generasi baru, umur lembaga menjadi jauh lebih panjang. Disebabkan perbedaan orientasi, membuat proses kaderisasi setiap lembaga kemahasiswan menjadi pusparagam. Tergantung niat dan tujuan lembaga tersebut.
Akan tetapi, setiap lembaga kemahasiswaan memiliki tujuan umum yang hendak dicapai. Sebut saja contohnya, lembaga kemahasiswaan diharapkan dapat menjadi agent of change, agent of value, iron stock dan masih banyak lainnya. Intinya, lembaga kemahasiswaan dicita-citakan memiliki keluaran yang berguna bagi bangsa dan negara.
Jika ditelisik secara lebih lanjut, lembaga kemahasiswaan menempati posisi mezzo dalam struktur kehidupan sosio-masyarakat. Hal ini menandakan lembaga kemahasiswaan berada pada tingkatan tengah antara posisi mikro dan makro dalam sosio-masyarakat. Olehnya, mahasiswa mendapat amanah yang “mulia” sebagai “penyambung lidah” antara mikro dan makro dalam struktur sosio-masyarakat tersebut.
Ubedillah Badrun (2018) dalam bukunya Menjadi Aktivis Kampus Zaman Now membeberkan tiga kiat untuk membuat lembaga kemahasiswaan menjadi lebih adaptif terhadap era digital. Pertama, bersinergi dan berjejaring. Sudah saatnya lembaga kemahasiswaan meminimalisir egoisme kelompoknya. Untuk menghasilkan gerakan dan perubahan diperlukan kekuatan kolektif. Bersinergi dan berjejaring bisa dilakukan dengan lintas program studi, lintas bidang ilmu, lintas fakultas, lintas universitas, lintas kelompok aktivis, bahkan lintas negara.
Kedua, beradaptasi. Selain bersinergi dan berjejaring, lembaga kemahasiswaan perlu memiliki kemampuan beradaptasi. Bukan hanya beradaptasi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang terus mengalami perubahan, namun juga beradaptasi dengan berbagai perubahan sistem. Termasuk perubahan sistem politik.
Ketiga, berusaha membangun sistem big data. Salah satu kelemahan lembaga kemahasiswaan adalah pada penguasaan data, akurasi data, dan kecepatan menganalisis data yang benar. Apatah lagi data berbasis digital. Kemampuan ini sangat dibutuhkan untuk menunjang argumentasi atas kritik konstruktif yang dilayangkan oleh lembaga kemahasiswaan terhadap kebijakan pemerintah.
Ketiga poin di atas dapat dijadikan sebagai variabel baru dalam konten kaderisasi pada lembaga kemahasiswaan. Tidak hanya membangun mentalitas, tapi juga memantik kesadaran bersinergi dan berjejaring, cakap dalam beradaptasi terhadap segala hal dan mahir dalam membangun sistem big data.
Tentunya, apa yang disampaikan oleh Ubedillah Badrun sangat bertolak belakang dengan apa yang kita saksikan pada video viral di media sosial tersebut. Konten kaderisasi yang digunakan masih versi “jadul”. Hanya saja menggunakan medium yang lebih kekinian: video konferens. Hal tersebut juga merupakan swabukti atas mentalitas lembaga kemahasiswaan yang cendrung senang tampil “gagah-gagahan” tapi tidak memiliki dampak konstruktif.
Senada dengan hal di atas, suatu waktu dalam sebuah forum, Bahrul Amsal, seorang esais, berkelakar “mahasiswa sekarang lebih banyak noise ketimbang voice”. Secara leksikon, noise berarti bising. Sedangkan voice artinya suara. Antara noise dan voice memiliki perbedaan yang sangat signifikan. Bising memiliki bunyi yang tidak beraturan. Sementara suara memiliki bunyi yang tersusun apik. Mahasiwa senang berceloteh dan tak sungkan mengungkapkan gerundelannya tanpa data dan analisis yang efektif. Walhasil, tampilan yang nampak hanya bersifat asumtif belaka. Akhirnya, peristiwa tersebut bertiwikrama menjadi kebisingan yang memekakkan telinga.
Kini, lembaga kemahasiswaan digempur oleh era yang serba tidak menentu: era disrupsi. Arus modernisasi yang begitu cepat menjadi rahim bagi lahirnya era disrupsi tersebut. Analoginya, disrupsi digambarkan sebagai rumah yang sedang dihantam getaran yang maha dahsyat. Membuat bangunan dan fondasi rumah ikut bergoyang. Pada titik kulminasinya, merontokkan seluruh bangunan rumah. Era disrupsi serupa goncangan hebat yang meruntuhkan seluruh sistem kehidupan yang sudah ada, tak terkecuali lembaga kemahasiswaan.
Era disrupsi juga sering dipadankan dengan era Revolusi Industri 4.0. atau sering juga disebut sebagai era digital. Klaus Scwhab (2017), dalam bukunya The Fourth Industrial Revolution membeberkan tiga tema besar yang dilahirkan era kekinian: a). desentralisasi sistem kehidupan, b). digitalisasi secara massal dan c). otomatisasi di banyak bidang pekerjaan.
Rejuvenasi kaderisasi lembaga kemahasiswaan sangat perlu untuk dilakukan. Sudah saatnya proses kaderisasi dipugar sedemikian rupa agar lebih segar. Bukan hanya itu, fakta yang dipaparkan oleh Ubedillah Badrun dan Klaus Scwhab di atas perlu untuk dielaborasi lebih lanjut. Konten kaderisasi zaman now sebisa mungkin dibuat dan dirancang sesuai dengan zaman yang ada: zaman digital. Tak sampai di situ, inovasi, kreativitas, serta kemampuan lainnya sangat dibutuhkan. Tentunya, tujuan lembaga kemahasiswan sebagai Agent Of Change, Agent Of Value, Iron Stock dapat terealisasi secara baik dengan modalitas di atas. Hidup Mahasiswa.
Sumber gambar: Google
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute