…Layang-layang, layang-layang yang kusayang
Jauh tinggi melayang, akhirnya jatuh di hutan
Benang panjang, benang panjang ikut melayang
Hancur lebur berantakan karena datangnya hujan…
(Koes Plus)
Jika kebetulan jalan-jalan ke Bantaeng, mungkin anda akan heran melihat langit penuh dengan kresek warna warni dengan pelbagai macam bentuk, serupa merpati yang baru saja turun dari taman Firdaus. Bersanding dengan langit biru mega, juga terang baskara, menambah kemolekan buana. “Merpati-merpati” itu adalah layang-layang yang dikirim orang-orang menuju langit, sebentuk hadiah atas anugerah angin dan terik mentari yang berlimpah.
Pelbagai jenis layangan dihadiahkan, mulai dari yang kecil hingga besar, bercorak hingga yang polos, dari yang memiliki ekor hingga tak memiliki ekor. Tata cara mengatakan, layang-layang yang ada ekornya tak boleh diganggu, apatah lagi diadu. Ekor tak sekadar penyeimbang, tapi juga penanda bahwa ia tak bertarung. Ia adalah layangan yang cinta damai, tak suka rusuh dengan mahasiswa layangan di sebelahnya.
Rasa-rasanya, kini permainan mengasyikkan saya kala kanak-kanak dulu itu menemukan ruangnya kembali. Di kota dan desa, tua-muda, ayah-anak, bahkan suami dan istri juga larut dalam euforia bermain layangan. Sudah beberapa purnama, sejak layangan pertama mengudara di kampung saya. Sejak itu, orang-orang kemudian serempak membuat dan menerbangkan layangannya masing-masing dengan perasaan gembira, sekaligus bangga.
Masih hangat dalam dekapan memori, bagaimana dulu layangan saya buat dari bekas kantong ikan ibu di rumah. Seringkali, karena ukurannya yang kecil, saya membutuhkan kresek lebih dari satu, hingga menjadikan warna layangan tidak karuan, abstrak dan kurang sedap dipandang. Namun, selama bisa mengudara, hal tersebut bukanlah masalah. Logikanya, layangan dibuat agar terbang, bukan sekadar jadi pajangan. Begitu kira-kira.
Kini, ketika layangan kembali, bentuknya sudah sangat variatif dan good looking macam oppa Korea. Generasi kini lebih mudah membikin layangan dalam banyak hal. Salah satunya karena akses terhadap guru. Ya, guru membuat layangan sudah jamak di YouTube. Tentu, ini sangat kontras dengan masa-masa saya. Dulu, ketika ingin membuat layangan, saya harus duduk berjam-jam, menyaksikan setiap detail pengerjaan “guru”. Jika memungkinkan, kami menerapkan konsep belajar learning by doing. Melihat sembari mengerjakan sendiri layangan kami. Mungkin, karena hal itulah, rasanya sungguh menyakitkan jika layangan putus pas lagi sayang-sayangnya.
Kini, di era revolusi industri 4.0. Semua dengan mudahnya dapat belajar membuat layangan, hanya bermodal gawai dan kuota. Juga kemauan untuk belajar. Trial and error. Dari sinilah, salah satu layangan legendaris di Bantaeng itu lahir, namanya layangan Naga. Dibuat langsung oleh beberapa anak muda di desa saya. Saya adalah salah satu orang beruntung yang hadir di penerbangan perdananya. Di awal kelahirannya itu, panjangnya masih 30 meter. Agustus kemarin, dalam rangka memperingati kemerdekaan, si Naga sudah mencapai panjang 75 meter. Untuk menerbangkannya, dibutuhkan tenaga belasan orang dewasa untuk memegang badan layangan. Tak heran, layangan ini menjelma artis yang memiliki fans tersendiri. Karena itulah, setiap kali ada festival/lomba layangan, si Naga ini selalu menjadi tamu kehormatan yang membuka acara. Kehadirannya sungguh dinanti.
Lantas, apa yang membikin permainan layangan ini muncul kembali setelah digilas oleh zaman? Sederhana saja: Covid-19. Begitu jawaban seoarang ibu penjual kantong kresek yang meraup untung di musim layangan ini. Covid-19 meliburkan—tepatnya merumahkan—kampus dan sekolah. Para penghuninya lantas pulang kampung. Berhubung lagi musim pancaroba, juga mungkin karena butuh hiburan selain menatap layar gawai saban waktu, maka lahirlah ide ini. Saya tidak tahu siapa yang memulainya pertama kali. Yang jelas, dia layak dijadikan sebagai duta Narkoba layang-layang. Setidaknya tahun ini. Minimal di kampung saya.
Secara historis, layangan di awal kemunculannya memang tak langsung menjadi media hiburan layaknya kini. Dulu, layangan sangat fungsional bagi masyarakat, misalnya digunakan untuk memancing, menjerat kalong, dan bahkan sebagai media penelitian ilmiah, seperti yang dilakukan oleh Benjamin Franklin tatkala menggunakan layang-layang yang terhubung dengan kunci guna memastikan bahwa petir membawa muatan listrik.
Kini, layangan dibuat untuk memenuhi hasrat bermain manusia sebagai homo ludens (pemain). Bermain memang sudah menjadi sifat alamiah manusia. Karenanya, sejak kanak-kanak hingga kini manusia sejatinya menyukai permainan. Meski, bagi sebagian orang, hasrat itu kemudian “dikubur” rapat-rapat dengan dalih kedewasaan. Dewasa seringkali dijadikan dalih untuk tak lagi bermain, seolah orang dewasa tak layak bahagia dan hanya boleh disakiti.
Sebangun dengan itu, kini layangan juga bisa menjadi media yang bisa mengeratkan kembali relasi orangtua dan anak. Masih segar dalam ingatan saya saat berkendara, melihat seorang ayah yang bermain layangan dengan anaknya di sebuah tanah lapang. Ayah menarik layangan, anaknya menjunjung dan bersiap melepas layangan. Mereka tertawa—bahagia.
Tak juga kalah, seorang ayah yang tanpa ragu memanjat pohon belasan meter, hanya untuk mengambilkan layangan yang tersangkut untuk anaknya yang tak tahu membuat layangan. Ada banyak kasus yang saya saksikan. Melihat layangan bekerja merekatkan semua ikatan. Ayah-anak hanyalah satu contoh.
Ayah-ayah yang hebat memang sangat jarang mengungkapkan perasaannya kepada anak. Mereka lebih senang bertindak tinimbang berkata-kata. Bukan berarti kata-kata itu nirmakna, tapi begitulah ayah-ayah di desa mengekspresikan kasih sayangnya.
Pada akhirnya, generasi kini butuh layang-layang, sebagaimana mereka butuh kasih sayang.
Sumber Gambar: Kotajogja.com
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).