Sumpah Kita Bukan Sumpah Wakil Rakyat

Saya kadang berpikir, apa perlunya kita mengenang Orde Baru? Saat di mana semua-muanya dibungkam, dipaksa tunduk mencium ketiak penguasa. Di kepala saya, pikiran liar begini lari bolak balik laiknya pendemo dikejar-kejar “pentungan berjalan”. Berteriak keras bahwa itu masa lalu yang remang-remang, tak ada guna dikenang.

Orde Baru adalah era yang kelam, diwarnai prostitusi di lingkar penguasa dan penuh rekayasa. Rakyat pun dikekang. Tak boleh ada kritik, apalagi hendak melawan. Katanya di langit malam negeri kita kala itu, yang tersisa hanya sumpah serapah terhadap hening. Jendela-jendela yang pecah. Pintu-pintu didobrak. Doa-doa dari mulut ibu yang merelakan anaknya ke jalan. Gema teriakan-teriakan, “turunkan bapak yang di atas!” Dan sumpah mahasiswa yang menggelegar. Lalu disusul jerit kesakitan demonstran di mana-mana. Tapi zaman itu telah usai sayang. Seperti kita, hanya tinggal cerita.

Waima demikian, di ruang-ruang diskusi sejarahnya diulang-ulang. Mereka yang bertarung atau sekadar tahu kisahnya dari buku-buku, menceritakan dengan bangga seperti membaca Kahlil Gibran. Indah memang!

Kita cukup mengingat – meski hanya diceritakan dan lihat di telivisi – kenangan manis 98, ketika “bapak yang di atas” membacakan surat pengunduran dirinya di hadapan publik. Sorak-sorai bahagia buruh, petani, pemuda, mahasiswa, dan rakyat tertindas memenuhi langit Indonesia. Tanpa gas air mata, air mata jatuh seperti hujan membasuh darah kering yang melekat di badan. Kita mulai menerka-nerka, masa depan cerah menanti Indonesia.

Sayang seribu sayang, sejak peristiwa 98 kita jumawa dan merasa memenangkan pertarungan. Kita merasa senang penguasa korup dilengserkan dari kursi-kursinya. Rasa-rasanya reformasi berhasil kita tegakkan. Indonesia seolah kita selamatkan dari para elite berengsek. Kita selalu merasa seperti itu. Sampai sekarang, merasa Indonesia baik-baik saja.

Namun, hidup tak semulus jalan tol, perjalanan bangsa kita pun tak seindah tiga ketukan palu sidang lima Oktober. Cita-cita reformasi yang mulia, tak kunjung tampak batang hidungnya. Nahasnya, kursi-kursi kosong yang ditinggalkan tahun 98 justru jadi rebutan. Dalam silang sengkarut sengketa kekuasaan, satu persatu topeng idealisme jatuh. Terlihatlah wajah-wajah bopeng dan culas.

Serangkaian peristiwa yang terjadi baru-baru ini, hanya bagian kecil buntut karapuhan cita-cita reformasi. Tragedi pengesahan RUU Cipta kerja bak FTV yang dramatis dan akh.. sudahlah! Terlalu konyol untuk disebutkan. Lalu berselang beberapa hari, Najwa Shibab turut dilaporkan karena mewawancarai kursi kosong di acaranya. Padahal Mbak Nana hanya ingin menerawang soal pandemi, yang konon tak kunjung kelihatan buntutnya. Supaya masyarakat mendapat penjelasan dan jawaban dari pertanyaan yang mengawan di mana-mana.

Lalu jauh hari sebelumnya, ada satu kasus yang tenggelam dimakan Corona. Ya.. putusan sidang Novel Baswedan yang terbilang ngawur itu. Padahal episode penyelidikannya sepanjang film Tersanjung. Nyatanya, berakhir dengan skor telak 8 – 2. Ironis! Masih banyak kasus-kasus hukum serupa yang di mata penguasa dan kaum borjuis, itulah keadilan sosial bagi rakyat Indonesia. Di negeri kita yang katanya demokratis, sesuatu memang kerap diputuskan berdasarkan kemampuan ekonomi, jabatan, status sosial, dan kekerabatan. Jadi cita-cita paling menjanjikan di masa mendatang, menjadi orang dalam.

Semua kemelut bangsa yang terjadi kiwari ini, mengindikasikan pudarnya demokrasi dan kebebasan menyampaikan aspirasi. Sama sekali tak mencerminkan amanat Pancasila dan cita-cita reformasi. Tak ayal kita menuduh reformasi telah gugur, yang lahir justru sistem oligarki kapital yang busuk.

Nasib bangsa kita memang tak mujur. Padi kita tanam, yang tumbuh ilalang berduri. Racun pula. Salah sedikit masa lalu yang remang-remang terlahir kembali, meski sejarah tak mungkin berulang sama persis untuk kedua kali. Seperti kata Marx bahwa, “Sejarah berulang, pertama sebagai sebuah tragedi dan yang kedua kali sebagai sebuah peristiwa yang absurd.”

Kita tentu berharap, mimpi buruk tak perlu berulang. Olehnya, mulailah gerak perubahan. Bukan sekadar teriakan-teriakan di jalan atawa slogan kampanye. Perubahan adalah mantra dan sikap yang dimulai dari diri kita masing-masing.

Masyarakat, pemerintah, politisi, dan para cendekia, mari bersatu padu mendidik anak-anak muda dengan baik. Firdaus, seorang pegiat literasi Rumah Baca Panrita Nurung pernah bilang begini, “Sehebat  apa pun kaum tua, masa depan bangsa kita ada di tangan para pemudanya.” Maka jadilah teladan bagi pemuda, bukan malah mempertontonkan kebinalan dan kecurangan yang serba telanjang.

Bapak-bapak pemerintah dari desa sampai ke pucuk, berikan pemuda ruang seluas-luasnya untuk berkarya. Berikan lapangan futsal yang dijanjikan. Eh.. maksud saya panggung berkreasi lengkap dengan sarananya, agar kreativitas pemuda desa terasah. Mereka jadi terbiasa berinovasi. Bukan dukungan semata yang seolah harus disampaikan di hadapan publik. Bukan pula dipersulit segala iktikad baiknya, semua serba dicurigai. Berkumpul sedikit disangka berontak. Bergerak selangkah dituduh gerakan politik.

Rhenald Kasali dalam bukun Self Driving mengingatkan, “Jika anak muda dibuat menjadi pasif, hanya bekerja berdasarkan arahan atasan, dan inisiatifnya dimatikan, maka mereka akan menjadi sama dengan generasi tua yang terbiasa bergerak dalam lingkungan yang pasti-pasti, statik, dan lamban. Padahal dunia ini telah berubah menjadi amat kompetitif, dinamis, cepat berubah, dan serbagerak cepat.”

Kita mulai perubahan dari sekarang, dari dalam diri kita masing-masing. Organisasi harus tetap jadi wadah melestarikan pengetahuan dan memperluas wawasan, meningkatkan keterampilan, menajamkan pisau-pisau analisis, dan merawat pikiran kritis. Bukannya menggiring organisasi menjadi sekadar batu loncatan menuju panggung politik. Apalagi kartu truf memuluskan akal bulus kita yang terselubung. Perseteruan politik lantas diturunkan kepada adik-adik di lembaga. Imbasnya para junior yang penurut terpecah belah. Organisasi menjelma karavan sirkus yang bisa dibawa sesuai kepentingan dan warna partai politik.

Pengkhianatan-pengkhianatan terhadap cita-cita bangsa, kita cukupkan kawan-kawan. Bukankah Oktober 1928 kita pernah bersumpah, di hadapan rakyat dan atas nama rakyat? Sumpah pemuda bukanlah sumpah wakil rakyat. Sumpah yang hanya di mulut saja. Sedang tangannya bergentayangan menggerayangi hak-hak rakyat.

Sumpah pemuda itu bukan sekadar peristiwa sejarah, apalagi sumpah serapah. Ia adalah api abadi yang senantiasa membakar semangat pemuda disetiap generasi. Bagaimanapun buruknya pemerintahan di bangsa kita, yakinlah, nyala api ini takkan redup di dalam dada pemuda dan mahasiswa Indonesia.

Mari kita mulai perubahan. Manifestasikan mantra itu jadi sikap. Kita tak perlu mengikuti perilaku orang-orang terdahulu yang bebal. Korupsi jangan dijadikan warisan dari generasi ke generasi. Cerabutlah mentalitas inlander yang tertanam dalam dada. Lawan! Mari berubah! Dan dengarlah seruan Naga Bonar:

“Hai pemuda Indonesia..

Bangkitlah! Bangkitlah kalian semua..

Indonesia sudah merdeka..

Dengarlah panggilan ibu pertiwi..”

 

Sumber gambar: Tirto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *