Untuk Apa Menulis?

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dari masyarakat dan di dalam sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian (Pramoedya Ananta Toer).

Awal membaca quote di atas, fikiran saya langsung melayang jauh, laiknya layangan putus. Kala itu saya masih mahasiswa semester awal, yang rajin pakai helm masuk kelas karena botak. Pikiran saya yang cetek saat itu, belum bisa mencerna lebih jauh maksud Pram. Sedahsyat itukah kekuatan tulisan? Bukankah ada cara lain untuk mengabadikan diri? Misalnya, membuat patung diri, atawa mungkin membangun masjid atas nama pribadi. Hmm, tapi rasa-rasanya untuk orang macam saya, dua pilihan terakhir itu serba sulit. Saya bukan hokage yang punya jasa untuk dibuatkan patung. Juga tak punya cukup kapital untuk membangun masjid atas nama pribadi. Karenanya, saya mengamini perkataan Pram saja.

Dua pekan lalu, saya ikut lembur di hari libur, menyata dalam kegiatan Sekolah Menulis yang diselenggarakan oleh teman-teman pegiat literasi di Rumah Baca Panrita Nurung Bantaeng. Amatlah berbahagia sahaya, bisa hadir dalam forum yang amat garib ini, mungkin satu-satunya di Kabupaten Bantaeng. Selain kehadiranmu, kelas menulis adalah salah satu kegiatan yang amat saya rindukan. Kala mahasiswa, saya baru bersentuhan dengan kelas macam begini di usia senja kemahasiswaan. Tak banyak yang bisa saya peroleh kala itu. Kelas menulis seolah berlomba dengan target penyelesaian kuliah saya. Biaya kuliah sungguh mahal, saya tak ingin jadi beban lebih lama. Juga sudah muak makan indomie telur saban hari. Sarjanalah saya, tanpa menyelesaikan satu pun tulisan.

Jika ditilik lebih dalam, motivasi saya ingin belajar menulis saat itu amat heroik. Saya adalah orang yang cukup sering membaca tulisan orang lain, baik di media daring ataupun langsung dari buku. Kala membaca dan memperoleh inspirasi dari tulisan-tulisan ini itu, saya sering membatin, “Kapan ya saya bisa menulis, berbagi cerita dan cinta pada orang lain?” Alasannya lucu memang dan agak hiperbolis. Namun, begitulah pikiran-pikiran itu berawal dan berkembang.

Berangkat dari hal-hal kecil seperti itulah, saya kemudian memulai perjalanan intelektual kepenulisan saya. Mengasah akal dan jiwa agar lebih peka dalam menangkap makna dari buku atau pun kejadian di sekitar. Menulis memang bukanlah perkara rumit. Semua yang dikaruniai oleh Tuhan akal sehat, tentu punya pikiran. Sedang pikiran adalah prasyarat utama untuk menulis. Pikiran itulah membedakannya dengan orang lain. Hal ini dipengaruhi oleh pengalaman, juga kadar pengetahuan seseorang. Saya bahkan berani mengatakan, bahwa kita semua ini adalah penulis. Setidaknya di akun facebook kita masing-masing.

Kini, di usia saya, yang bagi sebagian orang sudah layak untuk menikah ini. Motivasi menulis tak lagi seheroik dulu. Kini alasan menulis itu sisa satu; kamu bahagia. Saya melihat menulis sebagai bagian dari ekspresi terdalam dari perasaan. Mirip dengan yang dilakukan B.J. Habibie, presiden ke-3 RI, sepeninggal istrinya, Hasri Ainun. Jadi saya cerita sedikit, konon kabarnya, pasca ditinggal istrinya, pada suatu hari, sekira pukul 02.30 dini hari. Habibie yang masih menggunakan pakaian tidurnya berjalan-jalan keliling rumah sambil menangis tersedu-sedu, laiknya anak yang kehilangan ibunya. Menurut dokter keluarga, Habibie didiagnosa mengalami psycomatic malignant, suatu istilah yang digunakan untuk orang-orang yang terlalu tenggelam dalam kesedihannya. Jika tak segera diatasi, besar kemungkinan Habibie akan segera menyusul Ainun.

Lalu, perawatan macam apa yang diterima Habibie saat itu? Menurut cerita beliau, tim dokter hanya memberikan empat opsi. Pertama, dirawat di rumah sakit jiwa. Kedua, tinggal di rumah dengan tim dokter dari Indonesia dan Jerman untuk merawatnya. Ketiga, curhat kepada orang-orang terdekat yang mengenal dirinya dan Ainun. Keempat, menulis.

Kita tahu bersama, pilihan terakhirlah yang dipilih Habibie. Arkian, lahirlah buku Habibie dan Ainun yang legendaris itu. Yang berasal dari pertemuan benih cinta dan air mata kesedihan Habibie. Kita bisa berandai-andai, jika saja Habibie tak menuliskan kisah cintanya, beliau mungkin saja menyusul Ainun lebih cepat.

Kasus Habibie di atas semakin menegaskan urgensi menulis dalam kehidupan. Menulis sebagai terapi jiwa. Bagi orang macam saya, yang kurang cakap curhat pada orang lain, menulis bisa menjadi opsi tepat, yang dapat menyelamatkan saya dari silang sengkarut pikiran masa muda. Beberapa tahun belakang, ada banyak kejadian berat: kematian, kegagalan, jatuh cinta, patah hati, dsb. Kesemuanya memberikan warna dalam pikiran. Juga menjadi bumbu-bumbu yang dapat menambah cita rasa tulisan saya. Setidaknya, itulah yang sara rasakan hingga kini.

“Para penulis besar, seingat saya, datang dalam situasi yang sulit. Namun, sekarang ini kita sering mendengar beberapa orang mengeluh tidak bisa menulis karena tidak punya uang. Padahal sebagian karya tulis hebat datang dari situasi batin yang tertekan, kehidupan yang guncang, kondisi sosial yang runyam , keadaan ekonomi yang buruk, kebebasan yang terganggu.” Tutur Puthut EA dalam bukunya Menjadi Penulis halaman 4.

Saya pribadi melihat ini sebagai sebuah peluang. Setidaknya ada dua hal yang diperoleh dari aktivitas menulis di masa-masa tertentu. Pertama sebagai terapi jiwa. Kedua, besar kemungkinan tulisan yang dihasilkan menjadi lebih hidup, berisi dan gurih. Namun, jangan dilupakan pula syarat agar menulis sebagai terapi juga bisa menggapai klimaksnya.

Nah, berikut hasil penelitian Dr. James W. Pennebaker yang disadur dari buku Syahril Syam Change Limitting Beliefs. Pertama, jangan menulis dengan tujuan menggantikan tindakan nyata. Saat Anda menghadapi sebuah masalah dan ternyata ada solusi yang Anda bisa temukan dan lakukan, maka menuliskan masalah itu justru tak bermanfaat bagi diri Anda. Jadi, kalau lapar, ya makan, bukan malah nulis status di medsos. Begitu kira-kira.

Kedua, hindari menulis seolah-olah anda akan membuat sebuah karya intelektual. Ini juga penyakit saya, seringkali menganggap tulisan sendiri tidak berfaedah dan tidak berguna. Padahal, poin kedua ini memang menjadikan proses menulis sebagai sebuah refleksi akan diri sendiri, pengungkapan emosi yang terdalam. Jadi, selama Anda merasa lega dan baik-baik saja selama menulis. Anda berarti sudah melakukan terapi, meskipun sesekali masih diselingi air mata. Itu normal, keluarkan saja.

Ketiga, menulis sebagai terapi bukan hanya sekadar melepaskan emosi semata, karena mengungkapkannya tanpa arah akan membuat emosi tersebut semakin liar. Nah, kasus-kasus ini jamak saya jumpai di facebook. Sumpah serapah, ujaran kebencian, hoaks adalah beberapa bentuk pelepasan emosi secara membabi buta. Saya bahkan pernah menjadi pelaku beberapa tahun yang lalu. Sekarang sudah hijrah, tapi tak mengharamkan maulid kok.

Dalam konteks ini, menulis tak harus menjadikan anda sebagai penulis. Seperti bisa memasak tak harus menjadikan anda juru masak. Semua ada porsinya masing-masing. Namun, bukanlah baik, jika memiliki keterampilan itu. Dalam Bahasa Puthut EA, “Disiplin, proses, metode dalam penulisan, menurut saya bagus untuk dimiliki oleh setiap orang, tanpa harus menjadi penulis.”

Lalu, bagaimana agar bisa menulis? Jawabannya sederhana, berhenti bertanya dan mulailah menulis. Sebab menulis itu kata kerja. Menulis dan menulis.

 

Gambar: Liputan6.com

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *