Berlaksa detik sudah ditelan waktu, menjadi bagian masa silam. Namun, auranya masih menghidu saya hingga detik ini. Pasalnya, putra saya, Javid Morteza, sementara duduk di kelas tiga pada salah satu SMP di Kota Makassar, mengadokan bait-bait pada saya, tepat di Hari Ayah, jatuh pada hari Kamis, 12 November 2020. Ia menabalkan tutur-tutur itu sebagai puisi. Tentulah maksudnya, tidak seperti puisi yang memenuhi kaidah perpuisian, sebagaimana kebakuan suatu puisi di mata pelajaran bahasa dan sastra. Karenanya, saya lebih suka menamainya bait-bait saja.
Sebagai seorang Ayah, mendapatkan kado sebentuk bait-bait, dari anak yang insyallah kelak bakal menjadi ayah juga, saya anggap sebagai peristiwa garib dari tindakan lantip. Maksud saya, tindakan semacam ini merupakan replikasi dari saya, yang saban waktu menghadiahkan tulisan, entah itu esai, puisi, dan maksim, pada anak-anak dan pasangan saya, tatkala ada yang berulang tahun. Sepertinya, bait-bait hadiah dari anak bungsu saya ini, melengkapi hadiah tulisan-tulisan sebelumnya dari penghuni mukim saya.
Patut saya kedepankan, putri-putri dan pasangan saya, sudah terbiasa memberikan kado karya literasi. Ada yang mempersembahkan esai, desain grafis disertai bait-bait puitis, dan puisi. Baik tatkala saya ulang tahun maupun ketika Hari Ayah. Begitupun bagi pasangan saya, selalu ada karya literasi saat ulang tahun dan Hari Ibu. Kami, sudah tiba pada tradisi saling memberi kata-kata yang menghidupkan, ketika ada momen penting dari setiap anggota keluarga.
Barangkali, akan lebih elok jika saya kutipkan bait-bait dari putra bungsu saya itu:
Kamis, 12 November 2020
Hari dimana orang yang aku kagumi itu lahir
Hari dimana orang yang kusayang itu lahir
Hari dimana orang yang paling kuat di keluargaku itu lahir
Hari dimana orang yang sangat mencintai Arsenal dan Koes Plus itu lahir
Hari dimana sang penulis buku, AirMataDarah, Tutur Jiwa, dan Pesona Sari Diri itu lahir
Dia adalah Abi, orang yang mengajarkan arti dari sebuah perjuangan dan yang mengajarkan arti dari sebuah kesuksesan.
Tak kuasa saya menahan diri untuk tidak menafsirkan bait-bait tersebut. Jelas sekali, makna kata “lahir”, bukanlah denotatif, tapi konotatif. Saya lebih dipandang sebagai ayah ideologis, tinimbang biologis. Sebab, kelahiran saya, tidak bertepatan dengan Hari Ayah.
Kata “kukagumi” dan “kusayangi”, amat jelas maksudnya. Pastilah rasa demikian bisa hadir padanya, jika saya berlaku demikian juaga adanya. Apatah lagi penegasan kata “paling kuat”, mengindikasikan persaksian, bahwa saya begitu kuat dalam mengawal keberlangsungan keluarga. Tentulah bukan saya sebagai faktor satu-satunya, melainkan ada yang lebih kuat lagi: pasangan saya. Masih ingat dengan kata-kata bijak? “Di balik lelaki kuat ada perempuan kuat.”
Nah, ketika ia mengatakan “Arsenal” dan “Koes Plus”, benar-benar saya berbinar. Bagi saya, sebaik-baiknya hiburan hidup, ada pada dua entitas itu. Satu klub sepak bola di tanah Inggris, Kota London bagian Utara, satunya lagi, kelompok musik legendaris tanah air. Pada setiap pekan, nyaris saya dan dia mempercakapkan Arsenal kala bertanding. Entah itu menang, maupun kalah. Saya menabalkan sikap padanya, baik saat menang, seri, apalagi kalah. Terutama pendirian pada kesetiaan klub. Sebagai sesama gooners.
Demikian juga dengan Koes Plus. Tidak banyak mempercakapkan ketenaran kelompok musik di masa lalu. Cukup saya definitkan sebagai group musik legendaris. Namun, lebih dari itu, bernyanyi dan bermusik bersama dengan tembang-tembang Koes Plus. Ada dua lagu favorit yang paling sering saya dan dia mainkan, saat jamming bersama, “Manis dan Sayang” dan “Jangan Berulang Lagi”. Kedua lagu ini sudah seperti santapan rutin. Maklum, ia lumayan dalam memainkan alat musik tindis, keyboard. Bahkan di Hari Ayah, malam harinya kedua lagu itu, saya nyanyikan bersama. Dan, setelah duet maut secara live di Facebook, ia membacakan bait-bait hadiah Hari Ayah. Sayangnya, ia tak ingin divideokan, cukup teksnya saja ia japrikan pada saya, sesaat usai membacanya.
Dus, tatkala ia menyebut tiga judul buku anggitan saya, AirMataDarah, Tutur Jiwa dan Pesona Sari Diri, betul-betul mengagetkan saya. Pasalnya, saya memastikan, ia barulah sebatas pada pengenalan fisik buku tersebut. Sebab, kandungan ketiga buku itu, saya tidak peruntukkan buat anak seusia dia. Masih membutuhkan tabungan usia yang lebih banyak, beserta kumpulan pengalaman hidup, baru akan mengerti maksud dari buku-buku itu. Waima di ketiga buku itu, pasti ada pikiran-pikiran yang lahir karena dia.
Pada pucuk baitnya, dengan polos ia berkata, “Abi” sebagai penegasan. Sesarinya memang, sekotah anak saya memanggil dengan panggilan “Abi”. Lalu dimungkasi dengan kata “perjuangan” dan “kesuksesan”. Jelas sekali, makna perjuangan amat abstrak untuk dikonkretkan, selain daripada lebih mudah dirasakan. Ia melihat saya sebagai seorang pejuang. Entah apa makna perjuangan baginya. Jelasnya, ketika memaknai kesuksesan, jelas alamatnya, tidak berkonotasi materiil. Sebab, kehidupan materiil keluarga kami, amat terbatas adanya.
Merujuk pada penabalan sebelumnya, di keluarga kami, sudah terbiasa saling memberikan kado ulang tahun berupa sehimpunan kata, karya literasi. Bak gayung bersambut, selang tiga hari kemudian, Ahad, 15 November 2020, putri kedua saya, Nabila Az-Zahra, berulang tahun. Sekotah anggota keluarga sudah memberikan persembahannya. Pasangan saya sudah berjanji akan membuatkan satu tulisan buat sang putri.
Dari luar kota, lebih seratus dua puluh kilometer dari mukim, saya mengucapkan doa dan harapan buat sang putri kedua. Dan, saya sebarkan ucapan itu lewat akun facebook. Sembari mengunggah fotonya, saya pun sertakan bait-bait untuknya, yang saya sepadankan serupa puisi, berjudul, “Putriku”.
Tak mengapalah saya dedahkan bait-baitnya di pucuk esai saya ini.
Kiwari, dikau makin matang dalam pertumbuhan jiwamu. Meski kuingatkan, ragamu makin berkurang jatah melatanya.
Dari kelahiranmu hingga masa sekolahmu tuntas, aku memberlakukan sentralisasi penguasaan atas jiwa-ragamu.
Tatkala masa perkuliahanmu terjalani hingga tunai, aku menerapkan sikap desentralisasi. Definitnya, otonomi penguasaan.
Ketika masa kemandirian di tanganmu, aku pun memberi mandat otonomi khusus bagimu. Sila mengurus sekotah keinginan jiwa-ragamu.
Dan, jika masa berkeluarga tiba sebagai takdirmu, dikau pun pasti akan masuk daftar referendum bagiku. Dikau akan menjadi manusia merdeka bersama dunia barumu.
Putriku, itulah tahapan hidupmu bersamaku. Kini, sepertinya masa referendum nyaris sudah di depan gerbang kehidupanmu.
Tak elok saya menafsirkan bait-bait tersebut. Biarlah si pemilik ulang tahun saja yang memaknainya. Pun, jika ada pembaca yang berkenan, boleh saja memberikan makna. Tidak mengapa. Definitnya, sebagai Ayah yang masih dihidu oleh aura Hari Ayah, itulah bait-bait untuk dan dari seorang Ayah.