Suffering comes from desire (Budhadharma)
Tertegun, lalu saya membatin, tatkala mengingat satu nama, Cukup bin Limpah, seorang karib seperjalanan lahir-batin, dalam berbagai perkara kehayatan. Namanya amat unik. Bahkan, saya bisa pastikan, tak satu pun insan di dunia ini, pernah menyandang nama itu. Entah di masa datang, mungkin saja akan ada yang berminat menyandang nama ini. Lakunya pun tergolong garib, khususnya bagi lingkungan sosialnya.
Apa yang unik dan langka dari Cukup bin Limpah? Cara hidup dan kehidupannya! Sebagai misal saja, soal pakaiannya. Hanya tiga seluar jeans dan satu kain. Bajunya, cuman empat, plus tiga lembar t-shirt, dan empat pasang pakaian dalam. Harga dan kualitas pakaiannya, sangat terjangkau bagi orang kebanyakan. Maksudnya, sangat mudah dijumpai di lapak pakaian. Apatah lagi t-shirtnya, ia peroleh dari berbagai hajatan yang menyiapkan tanda acara.
Keunikan lainnya, ia tidak pilih-pilih jenis kendaraan tumpangannya, ketika pergi kemana-mana. Ia bisa tidur di mana saja, kecuali ruangan itu berpendingin atau berkipas angin. Makanannya, lebih tidak peduli lagi. Apa saja asal halal dan tayyib. Rumahnya sederhana saja, selain sudah tua bangunannya, beberapa lubang di atapnya, pun perabot pelengkap, ala kadarnya. Singkatnya, sosok hidup dan kehidupannya, tak bisa dikatagorikan sebagai warga miskin, seperti ukuran pemerintah, tapi tak jua dinyatakan orang kaya.
Sekali waktu, saya safar bersama Cukup bin Limpah. Saya tanyakan isi ranselnya. Ia hanya menyatakan, seperangkat laptop, dan dua seluar, satu baju, dua t-shirt, dan tiga pasang pakain dalam. Baginya, pakaian dalam lebih penting dari sekotah jenis pakaiannya. Padahal, hanya sebentuk kolor putih dan kaos oblong murahan. Alasannya, simpel saja, pakaian dalam bersentuhan langsung dengan tubuh, sehingga harus senyaman mungkin. Dan, kolor putih berpasangan kaos oblong, paling oke.
Berlapik gaya berpakaian demikian, ia merasa tak punya beban. Contohnya, bila mau pigi-pigi, ia tidak terlalu repot pilih-pilih pakaian. Langsung main sambar saja. Toh, yang mau dikenakan itu-itu saja. Begitupun kalau mau ke pesta, tidak pusing menyeleksi seluar dan baju. Cukup ambil seluar kain, kadang jeans, lalu memilih salah satu baju dari dua pakaian pestanya, klop sudah. Makanya, saya sering melihat foto-foto aktivitas di medsosnya, nyaris pakaian yang dipakai, itu-itu lagi.
Pengalaman bersamanya dalam banyak soal, sungguh mengundang kegariban bagi publik. Pasalnya, kebanyakan orang, gaya hidupnya dipusingi oleh selemari pakaian, semeja makanan, dan sederet kendaraan. Tidak sedikit insan, hidup dan kehidupannya hanya berputar-putar pada pakaian dengan segala aksesorinya, makanan bersama tawaran seleranya, dan kendaraan beriring mewahnya.
Gara-gara laku hidup dan kehidupan Cukup bin Limpah ini, ingatan saya tertumbuk pada pada satu judul buku, Seni Hidup Minimalis, anggitan Francine Jay. Lewat bukunya, Jay mengemukakan, “Bagaimana kalau saya menyatakan bahwa memilki sedikit barang justru akan membuat Anda lebih bahagia? Terdengar aneh? Ya—karena setiap hari, di mana pun kita berada, kita menerima pesan sebaliknya. Kita didorong untuk membeli berbagai barang agar tampil lebih menarik dan lebih sukses, bahkan untuk meraih kebahagiaan tanpa batas.”
Lebih khusyuk Jay menambahkan, “Nah, setelah membeli semua itu seharusnya kadar kebahagiaan kita berkali-kali lipat, kan? Namun, jawaban sebagaian besar dari kita justru ‘tidak’. Sebenarnya, yang sering terjadi adalah sebaliknya, yaitu sebagaian besar barang itu—dan janji kosong yang menyertainya—telah menyedot uang, kualitas hubungan dengan orang lain, dan kebahagiaan hidup kita. Pernahkah Anda menatap semua barang yang pernah Anda beli, warisi, atau terima, dan merasa pengap, alih-alih senang?”
Penggalan tanya dan jawab Jay tersebut, sepertinya makin menguatkan jalan hidup dan kehidupan Cukup bin Limpah. Karenanya, saya pun mengonfirmasi tutur-tutur Jay padanya. Dan, saya pun takjub dibuatnya, setelah ungkapannya mengalir jernih, bagai air bening meliuk-liuk mengikuti alur sungai, dari kaki gunung menuju muara, lalu ke laut lepas.
Didedahkannya air (kata) bening itu, “Hidup dengan prinsip merasa cukup, menjadi alas untuk kehidupan dalam keberlimpahan. Hanya orang yang merasa cukup dalam hidupnya, layak meraih keberlimpahan dalam kehidupan. Rasa berkecukupan sebagai syarat hadirnya keberlimpahan. Definitnya, dalam kecukupan nyata kelimpahan. Itulah yang dimaksud in abundance.”
Seorang guru spiritual, Guruji Gede Prama, memaksudkan in abundance sebagai, merasa berkecukupan merupakan sosok yang selalu berterima kasih dan bersyukur. Dan, kitab suci pun sudah menandaskan, jika seorang hamba bersyukur akan nikmat, maka akan ditambah nikmat itu oleh Yang Mahanikmat.
Pijakan tutur dari Cukup bin Limpah, sungguh mengantarkan pada satu alas hidup berdasarkan pada kebutuhan, tidak bertolakkan keinginan. Kebutuhan mesti dipenuhi, sedangkan keinginan boleh ditampik. Selaraslah apa yang dipendapatkan oleh Lao Zi, dalam bukunya, Dao De Jing, “Berbahagialah dan sejahteralah orang yang sudah merasa cukup. Jernihkan dan tenangkan pikiran serta miliki sedikit keinginan.”
Makin intim Lao Zi berujar, “Orang yang selalu tidak puas dengan apa yang sudah ia miliki, hidupnya akan penuh dengan kegelisahan dan ketegangan. Sebaliknya, orang yang selalu mensyukuri apa yang telah ia miliki, tidak lagi mencari yang lebih. Meskipun hidupnya tidak berlebihan, dia bisa hidup terhormat. Merasa sudah berkecukupan, tidak berarti menjadi hina.”
Ah, rupanya keunikan nama Cukup bin Limpah sudah terjawab, in abundance. Saya pun membatin, beternak sifat ingin, rasa keinginan, mirip meminum air laut. Makin ditenggak makin haus. Dan, benarlah kata Budhadarma, seperti saya nukilkan di hulu tulisan ini, bermakna, “Penderitaan datang dari nafsu keinginan.”
Gambar: Mauliah Mulkin