Suatu ketika, Umar bin Khattab datang ke rumah Rasulullah. Kala itu, Rasul sedang tidur di atas tikar yang membuat bekas pada kulit beliau. Umar yang melihat itu lantas berkata, “Wahai Nabi Allah! Andaikan engkau menggunakan permadani, tentu lebih baik dari tikar ini.” Mendengar hal tersebut, Nabi pun bersabda, “Apa urusanku terhadap dunia? Permisalan antara aku dan dunia, laiknya orang yang menempuh perjalanan di siang hari yang terik, lalu kemudian mencari teduh pohon, selanjutnya beristirahat di sana lalu meninggalkannya.”
Dalam kisah yang lain, tatkala Rasulullah akan menikahkan putrinya, Fatimah dengan Ali bin Abi Thalib. Saat itu, Rasulullah hanya menyiapkan gandum yang telah digiling, kulit binatang yang telah disamak, cerek dan sebiji pinggan. Mengetahui hal tersebut, salah seorang sahabat Nabi, Abu Bakar langsung menangis.
“Wahai Rasulullah, hanya inikah persiapan untuk Fatimah?” Tanya Abu Bakar tersedu-sedu. Nabi kemudian menenangkan sahabatnya itu dengan menjawab, “Ini cukup untuk orang yang hidup di dunia.” Kemudian Fatimah keluar dari rumah dengan memakai pakaian pengantin yang cukup bagus, tetapi memiliki 12 tambalan, tanpa perhiasan berharga mahal sama sekali. Padahal kita tahu, dengan posisi Nabi saat itu, ia bisa melakukan apa saja.
***
Pernahkah Anda merasa lelah dengan kehidupan? Sudah melakukan segalanya, tapi belum merasa puas. Sudah membeli semuanya, tapi tetap saja merasa tak cukup. Sudah memiliki yang diinginkan, tapi tetap merasa kurang. Saya seringkali berada dalam situasi tak mengenakkan ini. Utamanya dalam hal kepemilikan barang.
Dua kisah yang dinukil dari buku Kisah Nur dan Teladan Buat Perindu Surga, karya Zubaidi Wahyono Rahmat, saya kutip dari situs Republika.co.id ini, nampaknya sangat cocok menjadi bahan kontemplasi hidup kiwari ini. Bil khusus untuk kita semua, yang seringkali dibuat lupa oleh gemerlap iklan dan promo menarik, dari produk-produk yang belum tentu kita butuhkan. Benarlah adanya, konsumerisme laiknya meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Tak pernah cukup.
Semakin tertegunlah saya, tatkala membaca esai In Abundance dari Sulhan Yusuf. Saya ingin hidup seperti tokoh Cukup bin Limpah saja. Tak usah muluk-muluk. Meski saya yakin, tak bisa menirunya seratus persen. Namun, setidaknya, setelah membaca kisahnya, saya bisa menahan gejolak perasaan terhadap sebuah barang, menekan keinginan yang lebih banyak dilandasi nafsu tinimbang kebutuhan.
Kita seringkali dibuat lupa, bahwa sebenarnya ada banyak barang-barang kita yang tak masuk prioritas. Namun, karena termakan bujuk rayu media. Digambarkanlah seolah-olah kita memang membutuhkan barang tersebut, bukan karena nilai kemanfaatannya, melainkan untuk melanggengkan citra, lifestyle, dan status sosial di tengah masyarakat. Sayangnya, setelah membeli semua barang itu, menurut Francise Jay dalam bukunya Seni Hidup Minimalis, justru tak membuat kadar kebahagiaan kita naik berkali-kali lipat? Tetapi sebaliknya. Sebagian besar barang itu justru menyedot uang, kualitas hubungan dengan orang lain, dan kebahagian hidup kita. Sungguh cara licik untuk menipu kita yang picik.
Masih di buku yang sama, Jay kemudian menguraikan betapa besar stres di balik keputusan membeli sesuatu. Pertama, kita akan stres ketika tidak memiliki suatu barang. Kita melihat iklan dan promo produk tersebut, dan muncullah perasaan seolah-olah kita amat membutuhkan barang tersebut dan tidak bisa hidup tanpanya. Saat itulah, rasa kekurangan itu muncul, dan rasa syukur berubah lenyap.
Setelahnya, kita akan memikirkan barang tersebut saban hari dan berusaha untuk membelinya. Kita menjelajah toko demi toko, situs demi situs, demi mencari potongan harga. Kita tak bisa membelinya saat itu juga, tapi sungguh ingin memiliki. Kita pun mengumpulkan uang, bahkan sampai tak segan mengutang.
Tak cukup di situ, ketika tiba masa di mana barang tersebut kita beli dan miliki. Langit seolah cerah, burung bersiul riang, dan stres yang kita rasakan hilang? Benarkah? Tidak sepenuhnya benar, setelah menghabiskan begitu banyak uang, kita pun harus merawat barang tersebut. Menurut Jay, Saat membeli sesuatu, kita tak hanya menambah jumlah barang, tetapi juga tanggung jawab. Dapatlah dikatakan, sedikit barang sama dengan sedikit stress. Sedikit barang, banyak kemerdekaan yang diperoleh.
Akhirnya, tatkala kita menjadi budak dari setiap keinginan, kita tak hanya menaikkan level stres, tapi kita pun berubah menjadi manusia-manusia rakus yang memborong barang, konsumtif dan serakah. Hingga, muncullah kesadaran palsu dalam diri. Diri seakan-akan terpuaskan padahal kekurangan, seakan-akan makmur padahal miskin. Seolah-olah kaya, padahal melarat. Sungguh ironis.
Lalu, di mana akar permasalahan dari semua itu? Abdullah Sumrahadi dalam pengantarnya pada buku Masyarakat Konsumsi oleh Jean Baudrillard, menjawab, “Yang menjadi permasalahan adalah pada, adanya kekurangmampuan dan kekurangsadaran masyarakat dalam mengurai kebutuhan—food, fashion, electrical fashion, recreation, mereka—dalam sehari-harinya. Apakah makanan, pakaian, barang-barang elektronik, rekreasi, dll, itu betul-betul kebutuhan mendesak yang tidak bisa ditinggalkan atau dialihfungsikan tujuannya? Sudah tentu jawabnya ‘ya’, semua itu adalah kebutuhan yang terkategori kebutuhan dasar, namun dalam kebutuhan dasar itu pun masih ada yang sifatnya primer dan sekunder. Dan pada poin inilah umumnya orang kurang mampu mengurai kebutuhan, atau membuka skala prioritas kebutuhan.”
Lebih lanjut, Abdullah Sumrahadi menohokkan ujarnya, “Kalau butuhnya makan, usahakan secukupnya saja tidak perlu berlebihan, tetapi kita lebih tergiring untuk makan secara mo-dis ke restoran ala fast food yang sebenarnya standar gizi dan kebersihannya perlu kita pertanyakan.” Sayangnya, hal itu seringkali kita abaikan, dengan alasan ikut tren dan menaikkan status sosial tentu saja. Tak salah, jika hal pertama yang dilakukan sebelum makan bukanlah berdoa, melainkan memotret, lalu memamerkan di media sosial, guna menegaskan semua label semu itu. Seolah ingin berkata, kami berada di sini. Lihatlah kami! Yang kita tidak sadari, adalah beban pajak yang dibebankan kepada kita yang kemudian dibagi dengan pemiliki modal utama yang rata-rata orang Barat. Dalam relasi seperti ini, memang selalu ada pihak yang diuntungkan, tapi sayangnya bukan kita. Bukan.
Dalam konteks lain, Sumrahadi kemudian mengingatkan, misalnya pada kebutuhan barang elektronik haruslah disesuaikan dengan skala keuangan yang lebih bijaksana dan rasional, tidak mengikut pada gaya ataupun tren yang sedang berlaku. Pun dengan kebutuhan pakaian, sebenarnya dapat dipenuhi dengan pakaian yang cukup melindungi tubuh dan sesuai dengan kondisi keuangan tentu saja, bukan pada nafsu serakah yang disandarkan pada bujuk rayu iklan yang lebay. Pada standar berpakaian seseorang yang bisa jadi tidak cocok dengan budaya dan kondisi kita.
Laiknya kisah Nabi Muhammad saw. di atas. Agar bisa merasakan kebahagiaan hakiki, kita harus mampu melepaskan hal-hal yang bersifat duniawi, begitu ajaran Zen dalam agama Budha. Mereka yang telah melepaskan diri dari ikatan duniawi, akan merasa ringan dalam menjalani kehidupan. Hidup tanpa beban. Seperti Basho, sang penyair haiku menulis, bahwa tatkala rumahnya terbakar habis, ia bisa melihat bulan dengan lebih jelas. Definitnya, dengan melepaskan diri dari ikatan dengan benda, kita bahkan bisa melihat hal baik dalam kondisi paling sulit sekalipun.
Kisah Nabi di awal tulisan, seolah ingin mengingatkan pada kita untuk tidak terlalu berlebihan dalam melakukan sesuatu. Apa yang kita miliki sekarang dan masih bisa dipergunakan mestilah disyukuri dan dimanfaatkan baik-baik.
Yakinlah, semua angan-angan akan kepemilikan barang, justru akan membawa penderitaan tak berkesudahan. Suffering comes from desire, kata Budhadharma. Menumbuhkan dan menubuhkan sifat qanaah dalam diri adalah kunci kebahagiaan. Sebagaimana janji Allah dalam Q.S. Ibrahim ayat 7, “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; Sesungguhnya, jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan, jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”
Gambar: Portalmadura.com
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).