Pendek saja: Mohsen Fakhrizadeh. Catat nama ini. Dia barangkali satu dari sedikit nama ilmuwan dunia yang dikhawatirkan Barat, terutama Amerika Serikat dan Israel. Barangkali pula jarang seorang prajurit seperti Fakhrizadeh, yang sekaligus ilmuwan ahli nuklir. Di Indonesia, sulit menemukan seorang mantan tentara mengabdikan seragamnya di kancah sains, kecuali menderetkan namanya sebagai pemilik saham di perusahaan tambang berskala nasional.
Di Iran, kecil kemungkinan menemukan seorang mantan jenderal seperti di Indonesia yang masih berlumpur berebut kekuasaan di kubangan politik praktis. Di negeri para ulama itu, tarik ulur kekuasaan elite tidak lebih memikat dari pada nama-nama seperti Imam Khoemeni atau Ali Khamenei, atau bahkan para Imam Suci, yang dipandang sebagai suluh cita. Perdebatan semisal akal vs. wahyu, negara vs. agama, atau nasionalisme vs. tauhid, misalnya, sudah dipungkasi dengan kemajuan sains dan agama yang luar biasa. Di Iran debat-debat dikotomis semacam itu sudah lama diselesaikan di hauzah-hauzah dan universitas.
Fakhrizadeh tewas Jum’at 27 November lalu setelah dibombardir tembakan di desa Absard di sebelah timur ibu kota Iran. Kesyahidannya menambah daftar panjang ilmuwan Iran yang menjadi target pembunuhan diduga Israel. Beberapa pengawalnya tewas di tempat, sementara Fakhrizadeh meninggal tidak mampu diselamatkan tim medis setelah dibawa ke rumah sakit.
Saat ini Fakhrizadeh, salah satu ilmuwan top Iran yang dikhawatirkan Amerika Serikat dan Israel karena diduga masih mengepalai diam-diam program pengembangan nuklir, meski Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengatakan bahwa “program terstruktur” itu berakhir pada 2003, seperti dikutip dari Kompas.
Sains saat ini menjadi primadona dalam hal modus pencarian kebenaran. Tidak seperti filsafat, sastra, dan bahkan agama, yang lebih argumentatif dan reflektif, karena sifat kebenaran sains yang revolusioner menjawab kebutuhan praktis manusia, membuat dirinya mampu menyesuaikan diri dengan cepat terhadap perubahan-perubahan material masyarakat.
Setiap bangsa besar, mulai dari yang hanya tinggal catatan sejarah atau yang sedang berada di masa puncak, mendudukkan sains pertama kali sebagai iklim intelektual daripada sebagai produk kebudayaan. Entah itu ditandai dari lukisan di dinding-dinding gua, tekhnik cetak gerabah, sistem saluran air, tekhnik pengawetan jenazah, arsitektur piramida, hingga algoritma android, tidak akan mungkin lahir sebelum tercipta kondisi lingkungan yang berpihak kepada tumbuhnya sains.
Sains, sekalipun ia melesat maju ditopang dengan pikiran canggih dan berhasil menghasilkan temuan mutakhir, tapi jika tidak lahir dalam iklim sains yang terbuka, maka hanya akan berakhir seperti Galileo Galilei atau Giordano Bruno yang mati digantung dan dibakar hidup-hidup inkuisisi gereja.
Peradaban mana pun akan memberikan perhatian yang besar bagi ilmuwannya daripada kelompok masyarakat lain, dikarenakan melahirkan seorang ilmuwan akan jauh lebih sulit dibandingkan dengan orang-orang yang pandai mengklaim diri sebagai titisan dewa.
Sains bukanlah wahyu, yang seketika bisa ditemukan secara rahasia dan tertutup, melainkan sesuatu yang dikerjakan secara terbuka, kontinyu, dan bertahap. Proses dan hasil sains adalah pekerjaan publik, sehingga kecil kemungkinan bisa dimanipulasi.
Tidak seperti nabi atau imam-imam palsu, yang berkecenderungan mengalami waham kebesaraan, dan kerap kali berhasil memperdayai publik dengan kekuatan massa, para ilmuwan bekerja dan berbicara melalui akal budi dan hasil eksperimen. Daripada membuang energi mencari pengakuan dan dalih, ilmuwan lebih terpikat mencari tahu cara bekerja alam melalui dalil yang mereka rumuskan.
Itulah sebabnya, kematian ilmuwan terlebih lagi jika itu rekayasa hasil kerja intelijen, sama buruknya dengan inkuisisi lembaga agama di abad pertengahan. Bahkan meskipun abad pertengahan telah lama berlalu, tapi masih ditemukan pihak-pihak yang berusaha memberhentikan gerak laju temuan sains di bidang-bidang kehidupan masyarakat dengan cara membunuh, itu sama tapi lebih buruk dari terorisme agama.
Belum lama ini, di jaringan pertemanan Fb, seseorang dengan sengaja memposting berita mengenai Abu Bakar Ba’asyir yang sedang sakit. Sebagaimana galibnya mendoakan kesembuhan orang yang diserang sakit, ia melakukan tindakan mulia itu di dinding medsosnya kepada salah satu gembong pengader teroris yang ia tulis sebagai ustadz itu.
Orang ini, saya cukup tahu memiliki afiliasi dengan kelompok salafi yang sudah menetes ke mana-mana sama seperti tumpahan bahan bakar minyak. Daerah tempat tinggalnya pernah diduga menjadi salah satu kawasan tempat pelarian milisi sipil yang dinyatakan teroris ketika Poso bergejolak. Sekali tempo, ia pernah memposting foto saat berpose seperti tentara memegang senjata sambil mengimbuhkan kalimat-kalimat motivasi hijrah. Pose ini, bukanlah kenyataan sebenarnya yang membuatnya patut disebut teroris.
Di Sigi Sulaewesi Tengah, sama buruknya dengan kematian Fakhrizadeh, sekelompok milisi bersenjata hidup bak gerliyawan Jenderal Soedirman dan berhalusinasi ISIS masih berdiri kokoh di Suriah. Kelompok itu adalah Mujahidin Indonesia Timur, salah satu faksi teroris yang berbaiat kepada ”pemerinntahan” ISIS dan merupakan titisan kelompok militan bentukan Abu Bakar Ba’asyir. Jum’at pagi, hanya berselisih sekian jam dari kematian Fakhrizadeh, mereka bertindak bar-bar sama seperti gajah overdosis hormon kawin. Kelompok ini mengamuk dan kehilangan akal sehat membunuh satu keluarga seolah-olah sedang berlaga di perang Khandaq.
Tindakan terorisme ini, tidak sama dengan martirnya Fakhrizadeh karena sentimentalisme dan kekhawatiran berkaitan dengan kemajuan sains di bidang pengayaan nuklir. Terorisme di Sigi, adalalah model terorisme kuno yang lebih parah dari Abad Kegelapan. Tidak ada motivasi yang dipantik karena sains, apalagi menjadikan para ilmuwan sebagai target. Di Sigi, milisi yang tidak lebih dari 40 orang ini besar kemungkinan melakukan aksinya sama seperti binatang hutan yang kehilangan teritori kekuasaan dan diserang lapar.
Terorisme tidak akan punah selama ada orang-orang yang masih ngotot menjadi satu-satunya umat terbaik dan merekrut orang sama seperti kerja MLM. Dengan cara membuat negara agama dan memproklamirkannya dari atas gunung-gunung, akan membuat peradaban terus terancam. Memang nampak aneh, jika negara atau agama ditafsirkan oleh orang-orang yang lebih suka tidur bersama senjata daripada buku-buku, dan lebih memilih hidup di kaki gunung. Mereka bukan masyarakat sipil yang menjadikan pendidikan sebagai medium perbaikan diri. Jadi jangan kira buku- buku, atau sains akan membuat mereka sadar.
Terorisme bisa datang dari latar belakang agama mana saja, seperti ia juga bisa lahir dari paham atheisme sekali pun. Jadi ini bukan semata-mata soal penerimaan ada tidaknya konsep teologi, tapi lebih kepada soal hubungan kepada keberlainan, meski banyak ditemukan tindakan terorisme dimulai dari konteks pemahaman agama yang harfiah dan sepihak. Uniknya, jika ditelisik, entah itu karena antisains dan antinegara, terorisme muncul beranakpinak dari sifat inferior yang melahirkan ketakutan dan kekhawatiran mendalam menyangkut keberagaman.
Pelaku teror, terutama yang dipantik pemahaman sempit agama, tidak akan menghiraukan bahwa kata ”ilmu” lebih banyak disebutkan dalam Al-Qur’an daripada kata tagut yang suka mereka lontarkan. Mereka juga tidak akan peduli, bahwa Al-Qur’an lebih banyak mendorong umatnya agar mengembangkan sikap bak seorang ilmuwan dengan kata-kata ”membaca”, ”berpikir”, ”lihatlah”, atau ”perhatikanlah” daripada menjadi kombatan halu yang tidak sama sekali dikenal dalam agama mana pun.
Tagut adalah satu-satunya kata favorit pelaku terorisme, yang kedudukannya lebih mirip seperti ajaran atomistik Demokritos. Demokritos, filsuf Yunani antik sebelum Socrates berabad-abad lalu menyatakan intisari seluruh hakikat disusun melalui sesuatu yang sangat kecil dan tidak dapat dibagi. Ia menyebut itu sebagai atom; pisang yang Anda makan memiliki atom pisang, kata Demokritos. Kopi yang Anda minum tersusun dari partikel supermini yang tidak bisa dibagi lagi menjadi sesuatu dan itulah atom kopi. Kursi, tanah, pohon, dan bulan tampak berbeda di permukaan, tapi mereka sama-sama tersusun dari miliaran atom-atom, yang tidak lagi bernama dan berbentuk. Temuan Demokritos ini menjadi cikal bakal perkembangan sains berabad-abad setelahnya, tapi meskipun begitu, Demokritos tidak pernah berhasrat memanggil siapa pun sebagai atom meskipun ia tahu diri kita tersusun dari atom-atom.
Sementara pelaku teror suka menyatakan sesuatu di luar dari mereka sebagai tagut bahkan terbuat darinya. Inti negara adalah tagut, bendera merah putih adalah tagut, pancasila adalah tagut, pemerintah adalah tagut, sama seperti orang di luar dari mereka adalah tagut-tagut yang layak mereka enyahkan. Tagut is no good. Semuanya terdiri dari unsur tagut. Tapi, tidak seperti teori atomis Demokritos yang menjadi penopang sains, entah ilmu pengetahuan jenis apa yang bakal dilahirkan dari falsafah tagut ini.
Anda, tidak perlu saya imbau mengingat kata tagut ini sebab dalam sepuluh hari, dua bulan, satu tahun, atau berabad-abad lamanya, kata ini tidak akan menginspirasi kelahiran ilmu pengetahuan jenis apa pun. Sebaliknya, ia bakal jadi contoh buruk bagi peradaban mengenai bagaimana di semesta maha luas ini masih ada orang-orang tertentu yang percaya dunia hanya diciptakan untuk mereka belaka.
Sumber gambar: Khamenei.ir
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).