Sebuah Apriori
Aku sering lupa wajah sendiri.
Lalu, aku berkaca dalam kontemplasi.
Apakah telah begitu layu,
Atau masih seberingas dulu.
Aku melihat seorang lelaki di hatiku,
Yang ternyata adalah diriku sendiri.
Terasing dari masyarakatnya.
Terasing dari zamannya.
Mengembarai eksistensi.
Mendulang makna dalam sunyi.
Menerka-nerka dalam esensi,
Di antara gelapnya Aforisme Bumi.
Dalam sepi,
Ia yakin akan pasrah.
Tumpahlah sembah
Hamba yang tertatih-tatih letih
Dalam puisi,
Ia seketika meraih jati diri.
Terciptalah susunan diksi
Bahwa, tiada cinta tanpa di uji
—
Kawula, Manunggal Gusti
Aku bermunajat pada-Mu.
Demi Tuhan sang raja semesta ini.
Perihal cinta yang mulai membiru.
Di atas mimbar-mimbar penuh ambisi.
Samudera kalam yang suci.
Telah sempit dan mati dalam tafsir duniawi.
Karena lelaku dusta pemuka agama palsu.
Yang mengobral surga bertaklid nafsu.
Aku pun memang jalang dan penuh birahi.
Bolehkah? Kusentuh dada puan-Ku?
Bolehkah? Sejenak saja ku nikmati.
Sepasang payudara aduhai itu.
Namun, manakah yang lebih durjana?
Aku yang mengultuskan dan menauhidkan puan-Ku.
Ataukah mereka yang memprofankan dan menduakan engkau?
O Tuhanku,
Aku masih belum mafhum nan lugu.
O Tuhanku,
Aku hanyalah insan yang naif dan daif.
Tuhan, sungguh aku membutuhkan metafora.
Dalam sosok fana seorang manusia.
Tuhan, jika diizinkan lidah dan hati ini ingin bersaksi.
Bahwa tiada Tuhan selain engkau, dan tiada perempuan selain dia.
—
Menyenggamai Cinta
Komitmen,
tak pernah turun tiba-tiba
dari kamar-kamar privat
maupun kasur-kasur kuat
Ada rambut pirangmu,
yang tergerai angin lembut
seusai janji menemukan jumpa
Ada bibir merahmu,
yang terlumat air liur cair
sehabis cumbu menghapus gincu
Ada leher mulusmu,
yang melongok tengkuk nista
selepas ikan membuat tanda
Ada mata beningmu,
yang memandang keringat hangat
setelah desah membakar gairah
Dan,
aku memanjat ke surga
lewat tubuh sintalmu
Seketika,
hibat klimaks dengan hebat
mengeluarkan benih-benih cinta
Namun, masih saja kau pertanyakan
dimanakah cinta saat gelap buta
ketika tanpa aba-aba
lampu-lampu itu padam
—
Intisari Kehidupan yang Mati
Aku masih bersamamu sayang,
di bumi ini, bumi dengan segala beton penyangga infrastruktur katastrofi yang kian tandus, tiada henti diperkosa ereksi hegemoni dengan paksa tanpa klimaks, lalu melahirkan tanya kapan dan dimana
Aku masih bersamamu sayang,
di negara ini, negara yang akan selalu siap menjegal sekaligus menjagal Idealisme dengan senyap, lalu secara sembunyi mengudeta bumi dan melarang kita untuk mengeja nostalgia
Aku masih bersamamu sayang,
di tanah air ini, tanah air yang menjadi komoditi panas, bahkan terdikotomi jadi sawit dan karet, beberapa terkomodifikasi menjadi sabun mandi, lalu sisanya termaktub dalam kanon negara
Aku masih bersamamu sayang,
berbagi muram tragedi anomi, dengan analisa Fenomenalisme yang kebingungan untuk membaca gejala, hingga berdesakan, lalu menggeliat mencari jelaga muara jawaban dari setiap tanya
Aku masih bersamamu sayang,
berusaha untuk tetap menjaga kesehatan Rasionalisme dan ingatan akan obituari dari orang-orang yang sudah mati, orang-orang yang dilupakan, orang-orang yang hidup namun merasa mati, ataupun orang-orang yang tak pernah dianggap ada
Bukan untuk terjaring dalam distopia Empirisme, namun kita ada untuk membuktikan, bahwa menerjang arus tidak selesai hanya dengan menerima sirkus paranoia yang dicipta penguasa
Kita tak lagi terjebak Fatalisme, seperti mempercayai narasi seorang eskapis bigot tentang karnaval revolusi yang jatuh dari langit ketujuh menjelma kerangkeng dogma maupun absolut doktrin agama
Kita tak percaya lagi intrik Despotisme, ludahi muka mereka sayang, mereka yang berkata bahwa teater kotak suara secara berkala dapat menyelesaikan peliknya problematika tanpa rasa dialektika
Kita bersama, aku dan kamu, tanpa sederatan birokrasi ideologi konstitusi bernuasa hormon posesi maupun obsesi, yang niscaya menghunjam jantung hakikat Absurdisme secara nyata
Kita bersama, akan tumbuh menua, atau menyerah pada titik nadir, atau mungkin akan tersaruk mati diujung Nihilisme, sebagai konsekuensi akhir dari omong kosong harapan realitas yang fana
Kita bersama, aku dan kamu, tanpa siapapun, tanpa entitas lain, tanpa sesembahan lain yang berskala lebih tagut dari berhala maupun ampas neraka
Kita masih bersama, aku dan kamu, tanpa dia juga mereka, akan meleburkan dualitas suka maupun duka, sembari menunggalkan aku dan kamu menjadi kita
Meski dalam prosesnya, kita acap kali terhimpit piramida kebutuhan ataupun keinginan, sehingga paradigma kita terjun bebas kedalam palung Sinisme yang gelap buta
Namun, kita bersama, untuk membuktikan sayap-sayap Eksistensialisme, bahwa nafas kehidupan harus kembali direbut, bukan hanya dengan menikmati batang nikotin, ataupun ilusi oksigen dari paru-paru dimensi ketiga
Rasa takut akan Anarkisme mungkin masih berdiam dikepala, namun kita bersama, setidaknya kita masih mampu menembus sayup-sayup malam dengan ekstase, walau dibantu oleh beberapa ciuman dan pelukan hangat dari ranjang-ranjang yang tua
Tapi sayangku,
Materialisme sudah menjadi sampar,
tak ayal kita pun mencari kembara, dan sayangnya kemanapun kita pergi, dunia punya luka yang sama, itu dibuktikan oleh seorang anak berdurja tangis pilu, dikejamnya angkara aspal hitam jalan raya
Tapi sayangku,
Kapitalisme selalu menampar muka, sesekali dengan halus agar kita dirantai tak berdaya, bertopengkan pasar bebas sampai sengkarut argumen
basi tentang bagaimana menyamankan posisi ruang kerja, bahkan mengamankan onggokan laba
Tapi sayangku,
bergelut di tengah Konsumerisme tak pernah semudah mengutuk rutinitas urban, yang dipencundangi lampu-lampu distotik maupun jajanan jalang berujung sanggama
Wahai sayangku,
yang terpampang dari dunia ini hanyalah kulitnya, dan tugas kita tak lain ialah mengolah bangkai-bangkai berjalan itu, menjadi daging hikmah yang bisa kita cerna
Duhai sayangku,
tak jenuh pula aku menacapkan memori, bahwa yang terpenting ialah kita masih membara dan masih sempat mengais makna dalam persinggahan yang sama
Namun sayangku,
mereka ada di sana, bersiap menguburkan benih-penih pembangkangan dan mematahkan utopia dengan kecewa, sementara disisi lain, kita adalah manifestasi dari Sisifus yang dihukum hingga ditelan masa
Namun sayangku,
mereka ada di sana, berjaga-jaga menjaga renjana nafsu dan merawat hasrat kuasa, sementara dilain sisi, mereka adalah representasi dari Icarus yang berambisi sebelum dihempas surya
Mereka di sana, membentuk kontingen barikade rapat menjaga Otoritarianisme, dengan tembakan gas air mata, dan sialnya mereka masih saja dapat menemukan senyum lebar melalui layar kaca
Mereka ingin kita eutanasia, namun kita masih bersama sayangku, membuka topeng hipokrit dan membongkar tabir mereka yang membenci Kritisisme, mereka yang seraya menstigma skeptis itu ilegal, sia-sia bahkan dosa
Sayangku, biarkan ragaku mendekap peluhmu, biarkan pikiranku menjaga komitmen kita, dan biarkan jiwaku memayungi jiwamu dari teriknya dunia
Meski, aku diancam, diteror,
diracun arsenik di udara, ataupun diseduh kafein sianida
Semua hipotesa realita ini memang hiperbolis, tanpa ada jejalin dengan fisiologis nyata, tapi sayangku, persetan dengan dematerialisasi diksi maupun demarkasi aksara pun juga metafora, selama dehumanisasi ataupun demoralisasi tak merangsek masuk kedalam nyawa
Sayangku, satu yang harus dirimu lakukan adalah membiarkan diriku untuk melukiskan gairah kebebasan pada kanvas Tabula Rasa, dan membiarkan diriku untuk tetap mencatat konstelasi semiotika dari semantik nisbi peradaban manusia
Sayangku, Vita ini Brevis namun Ars itu Longa, daksa kita ini rapuh namun sukma kita itu kekal, sehingga pada akhirnya akan mengukir jalan alternatif dari apriori eksistensi itu hanyalah temporer belaka, sebab itu adalah impuls postulat tanpa dalil yang berpangkal pada esensi fakta
Sayangku, sekali lagi, ini terakhir aku janji, adimanusia adalah Ubermensch, bukan mereka yang memiliki seperangkat masa depan, bukan juga mereka yang mewujud sebagai pialang-pialang kaveling surga
Oleh karena itu,
biarkan diriku untuk terus menjalani hidup prolifik, mentransfigurasi malapetaka setangguh Amorfati Fatum Brutum dan menghidupi frasa Carpe Diem untuk menerjang gelapnya epilog, yang entah kapan, dimana, dan bagaimana
—
Bertaklid Cinta
Aku bukan pujangga,
yang bergelimang karya
puisi maupun prosa
Aku tak memiliki tinta emas,
dalam seni kesusastraan
maupun ilmu bahasa
Aku juga bukan seorang filsuf,
yang lihai berdialektika
ataupun beretorika
Karena aku tak memiliki otak brilian,
yang mahir merapal esensi
dan menakwilkan makna
Bukan pula rohaniwan,
yang masyhur seantero mimbar
apalagi pondok nirmala
Sebab aku tak memiliki apapun,
laiknya serambi surga
bahkan selasar neraka
Aku bukan pula tukang pahat,
yang datang dari abad-abad
jahiliah suram nan gelap buta
Karenanya aku tak memiliki sejarah,
bersama ortodoksi fetis arca
dan pengultusan berhala
Tetapi sayangku,
ingin rasanya kukenang dirimu
seperti yang dilakukan kedua tanganku
Dalam menjamah,
jahanamnya gunung serta palungmu
dan lekak-lekuk tubuhmu yang indah itu
Lalu menghiasinya,
dengan taman bunga
dan beberapa kecupan
tepat di keningmu
Tak luput jua,
antologi tentang renjana
alegori matinya logika
kitab-kitab suci cinta
dan miniatur buah dada
Duhai kasihku,
pena dan kertasku
itu lebih penting
ketimbang kita berdua
Sebab di sanalah,
satu-satunya notasi intisari cinta
di dalamnya orang-orang kan temukan
kecantikanmu sekaligus kegilaanku
Sayangku,
aku ingin menghabiskan seluruh bakatku
untuk menulis ulang tentang kasihmu
atau, membumbui kembali setiap huruf
hijaiah dari alif hingga ya’ dengan titik
Ini memanglah pendirian,
yang tak sejalan dengan
riwayat pengembaraanku
juga hikayat cintaku
Tapi sayangku, maafkan aku
akan betapa daif dan kuyunya diriku
bilamana aku tak terlalu jantan
untuk memberimu risalah tambahan
Teruntuk,
menghitung noda-noda sundal
yang terlukis pada emas pundakmu
Teruntuk,
menghitung cucuran air mata
yang mengalir deras dari matamu
Teruntuk,
menghitung ikan-ikan berwarna merah
yang aku pelihara di telukmu
Teruntuk,
menghitung konstelasi gemintang yang kutemukan di balik celana dalammu
Teruntuk,
menghitung dusta buaya yang kusembunyikan diantara buah dadamu
Sekali lagi,
Ini adalah kredo yang tak selaras
dengan arogansi ego lelaki
dan jemawa dari kedua payudaramu
—
Selepas Kurusetra
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara belukar wana giriwarsa
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara arakan awan dirgantara
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara gemerlap riuh prasada
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara heningnya tirta amarta
Aku masih mencari-cari diri-mu
Di antara serat-serat manuskrip renta
Aku masih mencari-cari dirimu
Di antara kidung-kidung asmaradhana
Namun, masih saja tak kutemukan
Tapak tilas daksa-mu yang jatarupa
Entah karena hilang dimakan ingatan
Entah karena mengirap ditelan pawana
Tapi kasihku, aku akan tetap mencari-mu
Berbekal pangestu bak adipati dan cinta
Aku akan melacak jejak keberadaan-mu
Ditemani bak senopati dan senaya-nya
Dimulai dari mayapada
Tempat kita bersarak
Juga merasakan samsara
Bahkan sampai lokatraya
Dan, setelah melanglang buana
Sedekat-dekat kelana
Sejauh-jauh kembara
Pada akhirnya kutemukan jua
Nama-mu, yang terpampang paripurna
Dengan tuan yang entah siapa
Lengkung janur pun menguning
Seraya terang menyingsing
Lantas aku mendapatkan warta merta
Bahwa kau akan menggelar wiwaha
Seketika batinku keruh oleh prahara
Laiknya kalabendu tanpa kaladuta
Hitam-ku kian membuncah
Putihku semakin memucat
Merah padam sudah durja
Mengharu biru pula atma
Ternyata kau berusaha melarikan diri
Dari asmara yang kulumuri kalpasastra
Ternyata kau berusaha angkat kaki
Ketika kujadikan nirwana sebagai mahar cinta
Apakah selama ini aku melamar seringai jelaga, sehingga kau malah memilih untuk menikahi marabahaya?
Lelah kumencari sahaja
Di antara petuah para pujangga
Hingga, tualang-ku semakin lenggana
Berpangku di tangan nasib yang hina
Dengan berat kutanggalkan masa silam
Agar membias moksha bersama malam
Kutinggalkan seluruh hikayat kelam
Agar dapat meraba hikmah kalam
Kau, sungguh berhasil mengantarkan-ku
Ke persinggahan-persinggahan
Di mana aku harus menggagas jalan
Untuk bergegas menuju-mu
Meski sayangnya,
Kau menua bersama
Dengan dia yang
Tentu bukan aku
Tapi kasihku,
Sebelum setra dikutuk sabda
Akan aku maklumatkan satu ikrar
Perihal swarga loka yang akan kubakar
Dan aku bernazar,
Akan kubangun kembali swarga loka
Di atas puing-puing reruntuhan angkara
Apabila lentera cinta itu kembali berpijar
Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret 2000. Bukunya: Timbul Tenggelam Philo-Sophia Kehidupan (2020); Timbul Tenggelam Spirit-Us Kehidupan (2020); Trias Puitika (2021).
Pembaca yang suka menulis ini adalah penerjemah, kreator sekaligus kurator puisi, prosa dan cerpen. Dirinya, antara lain: email-genrifinaldy@gmail.com; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma