Apakah pendidikan akan terus mengalami kemajuan dalam pemanfaatan teknologi atau akan kembali seperti masa sebelum pandemi?
Begitu bunyi satu di antara tiga pertanyaan kunci, diajukan oleh moderator dalam forum Lingkar Daerah Belajar di Temu Pendidik Nusantara (TPN) VII, dilaksanakan secara virtual, dan live di channel YouTube Kampus Guru Cikal, Ahad 13 Desember 2020. TPN sendiri adalah forum tahunan bagi guru, pemimpin dan satuan pendidikan berbagi praktik baik pembelajaran, kepemimpinan, dan pendidikan.
Forum Lingkar Daerah Belajar adalah salah satunya, ruang di mana para pengambil kebijakan ini berbagi praktik baik kepemimpinan daerah, dalam melakukan pemerataan dan perbaikan kualitas pendidikan di daerah masing-masing. “Salah satu kunci utama perubahan pendidikan ada di tangan pemimpin daerah,” ucap moderator membuka acara.
Tak main-main, para narasumber dalam forum tersebut adalah tokoh yang tak diragukan lagi kapasitasnya. Ada Anies Baswedan, selaku Gubernur DKI Jakarta, Muhammad Haris sebagai Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng, Hari Wulianto dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, Paoulus Hadi selaku Bupati Sanggau, dan Prana Putra Sohe, Walikota Lubuklinggau.
Tulisan ini, sebentuk upaya saya menyebarluaskan spirit perubahan di TPN VII. Juga sebagai ikhtiar merekam momen historis ini. TPN untuk pertama kalinya dilaksanakan secara daring, karena pandemi Covid-19. Pun, menjadi TPN pertama yang diikuti rekan-rekan KGBN (Komunitas Guru Belajar Nusantara) Bantaeng. Banyak yang serba pertama di TPN kali ini.
Tentulah, ada banyak perspektif yang dikemukakan para narasumber, mungkin tidak bisa saya tulisan seluruhnya. Tulisan ini juga, tak suci dari tafsiran pribadi saya selaku penulis. Karenanya, jika ada hal-hal yang kurang jelas, Anda bisa langsung menyaksikan videonya di YouTube. Menarik memang melihat perspektif para narasumber, mengingat pandangan mereka akan memengaruhi pengambilan kebijakan ke depan, di daerah masing-masing.
Anies Baswedan, selaku pembicara pertama menguarkan, bahwa pemanfaatan teknologi pendidikan bukanlah hal baru. Namun, memang harus diakui bahwa beberapa dekade terakhir, perjalanannya melambat. Bagi Anies, keberadaan pandemi justru mempercepat. Ini berdasar pada pengalaman beliau berbincang langsung dengan dosen dan guru. Sebenarnya, teknologinya sudah ada, tapi jarang dipakai, pandemilah kemudian yang memaksa dalam hitungan bulan, kampus mendadak melek teknologi, pun dengan sekolah.
Hal menarik lainnya, justru bukan anak-anak kita yang jadi melek teknologi, melainkan guru. “Anak sudah digital native. Guru-gurulah yang kemudian harus ngebut karena mereka harus mengikuti penyesuaian, dan kadang-kadang malah terseok-seok karena belum siap.” Tutur Anies.
Guru dan teknologi memang komplementatif. Anies kemudian mengajukan sebuah pertanyaan retoris, bisakah guru digantikan dengan teknologi? Atau, guru jenis apa yang bisa digantikan dengan teknologi? Dan guru seperti apa yang sama sekali tidak bisa digantikan dengan teknologi?
Bagi Anies, guru repetitif, mekanistik, dan sekadar daur ulang, sebenarnya bisa diganti dengan rekaman saja atau dengan power point. Namun sebaliknya dengan guru yang interaktif, kreatif, dan pembelajar, itu tak tergantikan. Sebagai penulis, saya sepakat. Sejatinya, teknologi paling canggih sebenarnya adalah guru itu sendiri.
Anies, yang saat ini menjadi Gubernur DKI Jakarta membagikan optismismenya. Beliau yakin, setelah pandemi maka kita akan menemukan keseimbangan baru; blended learning, kombinasi, guru yang mengalami pembelajaran, juga murid. Muaranya, guru kemudian menyadari bahwa isunya bukanlah teknologi menggantikan guru, melainkan guru seperti apa yang bisa digantikan teknologi, pun sebaliknya.
“Beruntung betul menjadi guru di masa pandemi, you’re part of history. Tinggal pilihannya adalah, kita ingin membuat sejarah atau kita mau dilupakan dalam peristiwa bersejarah ini.” tutup Anies.
Muhammad Haris, sebagai narasumber kedua, mencoba melihat hal positif dari pandemi. Baginya, pandemi di Bantaeng, justru menghadirkan tujuan dasar pendidikan di Indonesia. Di masa pandemi, pendidikan formalnya jalan, non formal juga demikian. Nah, jika dikaitkan dengan pertanyaan awal. Beliau meyakini pemanfaatan teknologi ini adalah satu jembatan kemajuan pendidikan.
Lebih jauh, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Bantaeng ini, mengabarkan bahwa Bantaeng mampu menyusun kurikulum darurat di masa pandemi. Peluncuran dilakukan secara virtual dan dihadiri oleh guru di 24 gugus dan 11 MGMP. Ini semakin menegaskan teknologi di masa pandemi justru terlihat pemanfaatan dan kemajuannya. Pandemi diharapkan dapat mempercepat adaptasi teknologi guru, murid, dan satu pendidikan dengan baik, guna mengakselerasi pemahaman dan pengembangan teknologi pembelajaran. Ini semakin dibuktikan dengan dinamika yang terjadi di Bantaeng di tiga jenjang; TK, SD, dan SMP.
Lalu, apa saja rencana aksi untuk pemerataan kualitas pendidikan di Bantaeng? Pertama, akan terus mendorong dan menumbuhkembangkan inovasi dan adaptasi teknologi. Kedua, memaksilkan teknologi, guna mempercepat pemahaman guru, tentang konsep-konsep pengembangan pendidikan. Ini kemudian dibuktikan oleh Pemerintah Kabupaten Bantaeng, di masa pandemi, guru-guru kita di Bantaeng mampu menghasilkan kurang lebih 1500 inovasi yang kemudian dikumpulkan ke dalam lima jilid buku. Hal ini—bagi Kadisdikbud Bantaeng—membuktikan bahwa pandemi sama sekali bukanlah penghalang dalam pengembangan profesionalisme guru di Bantaeng.
Sebagai orang Bantaeng, penulis tentu berharap bahwa kerja-kerja kebaikan guna memajukan pendidikan di Bantaeng terus digalakkan. Kita mesti mengubur dalam-dalam ego sektoral, serta saling bergandengan tangan untuk kebaikan baru. Ini amat relevan dengan spirit Hari Jadi Bantaeng ke-766 “Kolaborasi Menuju Bantaeng yang Lebih Baik”.
“Satuan pendidikan dapat menumbuhkembangkan dan membuka diri seluas-luasnya. Karena saya yakin dan percaya, pendidikan harus dibangun secara holistik, kalau ingin pendidikan maju ke depan, tidak boleh dibangun secara parsial. Karenanya, setiap pemimpin satu pendidikan harus menghilangkan ego sektoral.” Tegas Haris.
Di akhir pemaparannya, Kadisdikbud Bantaeng kemudian berharap guru mampu menfasilitasi proses belajar murid. Terus belajar dan menginjeksi diri dengan praktik baik, agar asas manfaat dari proses belajar, bisa dirasakan betul oleh murid di sekolah.
Hari Wulianto, dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah, sebagai narasumber ketiga membuka ulasannya, beliau mengingatkan, pendidikan bukan sekadar untuk menambah pengetahuan, melainkan untuk meningkatkan kualitas hidup. Karenanya—bagi beliau—pengelolaan pendidikan harus diarahkan ke aspek yang lebih luas. Tak sekadar berkutat di angka dan skor-skor yang kaku. Melainkan pada bagaimana membekali murid dengan kecakapan hidup (life skill). Dengan kecakapan inilah, murid diharapkan bisa meraih kebahagiannya di masa datang.
Menurut Hari Wulianto, ada tiga tren pendidikan setelah pandemi berakhir. Pertama, pandemi menuntut pendidikan agar lebih murah. Kedua, pendidikan diharapkan agar lebih melayani banyak orang. Ketiga, pendidikan mesti memberi pengalaman baru dalam belajar. Nah, untuk mewujudkan semua itu. Hari Wulianto melihat guru sebagai pendidik, sekaligus pejuang. Merekalah yang akan berjuang, dengan penuh tekad dan semangat, mencari cara-cara baru, mindset baru, melakukan perubahan metodologi, interaksi dan pengembangan kreativitas, guna menghadirkan pembelajaran yang bermakna di kelas.
“Jika kita masih memiliki guru-guru hebat, kita tidak perlu khawatir pendidikan kita terpuruk. Kita akan khawatir, ketika guru-guru kita tidak memiliki semangat dan mindset yang baru. Dan saya melihat di Indonesia, kita masih memiliki itu.” Ucap Hari Wulianto penuh optimisme.
Sebagai penulis, saya pun meyakini, secanggih apa pun terknologi, jika gurunya tidak kreatif, maka hasilnya akan sama saja. Guru dan teknologi ibarat dua sisi mata uang. Karenanya, sebagai guru, kita mesti terbuka dengan hal-hal baru, dan harus senantiasa mengayakan diri, meng-update dan meng-upgrade pengetahuan. Menjadi guru, berarti menjadi murid sekaligus. No debat.
Paoulus Hadi, Bupati Sanggau, sebagai narasumber berikutnya, membuka paparannya dengan menjelaskan posisi geografis Sanggau, sebagai daerah yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Karenanya, Sanggau penuh dengan keterbatasan. Di Sanggau hanya 57% yang bisa mengakses internet, 369 dusun yang belum punya listrik dari 865 dusun. Ada 30 ibu kota desa yang belum memiliki listrik. Sementara jaringan telepon seluler hanya 67%. Inilah yang menjadi tantangan pendidikan di Sanggau.
Namun, itu tak menjadikan guru-guru di Sanggau berdiam diri. Salah satu inovasi yang hadir di sana adalah, pemanfaatan jaringan radio RRI guna memudahkan proses pembelajaran. Segala keterbatasan, justru menjadi pemantik kreativitas guru di Sanggau, dalam memberikan pelayanan kepada murid-muridnya. Sungguh hal yang luar biasa. Beliau berterima kasih pada guru-guru.
Di akhir paparannya, Paulus Hadi, kemudian mengingatkan kembali, bahwa guru harus melek teknologi, guna meningkatkan kualitas diri sebagai pendidik. Karena bagaimanapun, mau tidak mau, teknologi adalah sebuah keharusan di masa depan.
Prana Putra Sohe adalah pembicara terakhir, Walikota Lubuklinggau ini tak melihat pandemi seburuk yang kita sangka. Karena berkat pandemi, kita kemudian dipacu, bahkan “dipaksa” untuk menguasai teknologi. “Saya optimis, bahwa di masa pandemi ini insyaallah kita akan bisa mempercepat penguasaan teknologi.” kata beliau.
Kita memang mesti melihat sisi positif dari pandemi. Semua narasumber sepakat, bahwa pandemi setidaknya telah menyadarkan kita; guru, murid, orangtua, pemerintah, dan seluruh lapisan masyarakat, akan kekurangan pendidikan kita selama ini. Minimnya kolaborasi guru-orangtua, guru yang miskin kreativitas, dan rendahnya adab murid, adalah beberapa di antaranya.
Kabar baiknya, pandemi telah merekonstruksi relasi guru-orangtua, menstimulus kreativitas guru, dan murid bisa lebih menghargai hubungannya dengan guru dan orangtuanya. Spirit inilah yang mestinya kita jaga, meski pandemi telah berlalu. Karena saya pun percaya, perbaikan pendidikan hanya bisa kita raih, dengan melakukan langkah maju ke depan. Dan itu hanya terjadi bila guru tak kembali ke semangat sebelum pandemi menyapa.
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).