“Para petani
Sedari pagi sampai siang hari
Masih terus memberi
Bagi negeri
Bagi pemerintah
Yang tak tau diri
Tapi ternyata
Musuh petani bukanlah hama
Yang selalu merusak dan bikin rugi
Tapi
Para pelaku korupsi
Yang selalu petik
Hak-haknya.”
Petani adalah rakyat kecil di hadapan kekuasaan. Mereka selalu berusaha menyesuaikan diri menghadapi kekuasaan. Meskipun dimanfaatkannya kekuasaan, oleh pejabat yang tidak bertanggung jawab, telah merenggut hak-haknya. Tanpa memikirkan nasib mereka yang kecil, selalu dijadikan korban maling-maling besar. Jika ada di antara mereka yang kecil, mencuri hak-hak orang lain. Barangkali, itu cara mereka bertahan menghadapi kekuasaan, yang sudah tidak sesuai lagi dengan dasar negara.
Di desa ataupun di kota, ketika ada orang ketahuan atau kedapatan mencuri, misalnya ayam, biasanya, langsung diberi efek jera oleh masyarakat. Syukur-syukur kalau cuma benjol dan biasanya masuk penjara. Tapi, kalau terbunuh! Dan itu sering terjadi, bahkan penyelesaiannya hampir sama semua. Namun, masih saja ada yang melakukan demikian. Apakah mereka terpaksa? Mencuri karena haknya direnggut, oleh maling yang biasa teriak maling.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menetapkan Menteri Sosial, Jualiari Peter Batubara, sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi, terkait bantuan sosial Covid-19. Korupsi bantuan sosial sangat merugikan banyak orang, dan contoh tidak baik, bagi generasi penerus. Sebagai pelayan publik, menyalahgunakan jabatan berupa korupsi adalah dosa tidak termaafkaan.
Ketua KPK Firli Bahuri, sekali waktu menyatakan, “Keselamatan masyarakat merupakan hukum tertinggi, maka yang korupsi dalam suasana bencana, tidak ada pilihan lain dalam menegakkan hukum, yaitu tuntutannya pidana mati,” dalam rapat kerja dengan Komisi Hukum DPR RI, Rabu, 29 April 2020.
Jika demikian, tidak ada lagi istilah structure of organized lying. Dalam bukunya Jalaluddin Rakhmat berjudul, Rekayasa Sosial, menguraikan, “Orang Polandia mempunyai dua bahasa, yaitu bahasa di depan umum dan di kalangan terbatas. Bahasa yang dipergunakan sama, tetapi strukturnya, kata-katanya, dan kosakatanya bisa berbeda. Kata yang sama yang digunakan di depan umum mungkin berarti lain, jika digunakan di kalangan terbatas. perbedaan seperti ini begitu merata sehingga muncullah istilah structure of organized lying.”
KPK mesti tegas dalam mengambil keputusan. Jangan sampai menggunakan dua bahasa, karena kita bukan orang Polandia. Misalnya, dalam bahasa sehari-hari, yang biasa kita kenal korupsi adalah “kejahatan”, tetapi di kalangan pejabat, itu disebut “kesalahan prosedur.” Jadi, jika terbukti korupsi dalam suasana bencana. Tentu, pidana mati diberlakukan sesuai dengan ucapan, Firli Bahuri selaku Ketua KPK.
Tak hanya orang Polandia, orang Indonesia pun kadang menggunakan dua bahasa untuk kepentingan diri sendiri. Seperti, sering terjadi di kelompok-kelompok tani. Biasanya, yang menggunakan dua bahasa adalah ketua-ketua kelompok. Pada saat bantuan keluar untuk para petani, yang disalurkan melalui kelompok tani, misalnya, ketua-ketua itu katakan, “Terimahkasih atas bantuanya, untuk kelompok tani kami (bahasa di kalangan orang terbatas). Namun, di depan anggota kelompok tani (bahasa di depan umum). Ketua-ketua itu katakan, “Bantuan ini untuk pribadi karena telah memilih (sebut saja bapak dewan) tahun lalu.” Sehingga, penyalahgunaan fungsi terjadi.
Laiknya puisi di awal tulisan saya, ternyata musuh petani bukanlah hama, tapi mereka yang punya kekuasaan, termasuk ketua-ketua kelompok tani tak tau diri, merenggut hak-hak anggotanya.
Apakah itu termasuk korupsi, dan apa hukumannya? Mengingat masalah ini, saya pernah berceloteh kasus ini bisa dianalogikan seperti ayam peliharaan yang nyelonong masuk mengobrak-abrik makanan di dalam rumah. “Kenyamanan penghuni rumah jauh lebih penting. Maka ayam yang masuk di rumah, mencari makan dan membuang kotorannya di dalam. Tidak ada pilihan lain, selain hukuman mati.” Meskipun ayam peliharaan, tapi apa boleh buat “Dasar kayak koruptor aja, makananmu sudah disediakan. Kenapa masih saja mengincar makanan lain, yang bukan hakmu.” Ia akhirnya mesti mati demi hajat seisi rumah di atas meja makan. “Ehh, ternyata si burik ayam kesayangan saya yang tersangka.”
Hukum harus ditegakkan, sebab tidak ada pilihan, selain hukaman mati. Walaupun sayang, sangatlah tidak pantas untuk ditangisi. Si burik akan menjadi ayam goreng, atau ayam bakar yang akan saya nikmati, di perjamuan makan malam bersama keluarga. Penuh harap, pengganti si burik atau generasi penerusnya, agar tidak berperilaku seperti para koruptor yang tidak memilki rasa kenyang.
Tersangkanya si burik hanyalah kisah seekor ayam, yang kelakuannya bagaikan koruptor. Dieksekusi mati, demi kenyamanan orang banyak (penghuni rumah). Begitu pun dengan KPK, mesti tegas dalam menegakkan hukum, kepada pejabat-pejabat yang mencuri hak-hak rakyat. Merugikan keuangan negara atau perkonomian negara, demi memperkaya diri sendiri.
Apakah wajar, korupsi itu dikatakan hanya kesalahan prosedur? Sedangkan setahu saya, korupsi adalah kejahatan. Sementara itu mengutip laman Wikipedia, korupsi atau rasuah (bahasa latin: corruption dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik, yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Walakhir, terkadang kopi buatan sendiri jauh lebih terasa nikmat, dibanding kopi di kafe. Seperti kebahagiaan yang diraih tanpa harus melanggar hak orang lain, dan hidup sesuai hukum Ilahi. Sungguh ironi, jika orang terdidik masih melanggar hak-hak publik. Sama halnya seperti kelakuan si burik, ayam peliharaan yang menyelonong masuk mencuri makanan tanpa izin. Sudah punya rezeki sendiri malah mencuri harta orang lain. Duh!
—
Sumber gambar: https://www.cnbcindonesia.com/
Lahir di Bantaeng, 10 Juli 1997. Peserta suluk ekonomi, Rumah Suluk Arta Tantra dan peserta kelas Menulis Rumah Baca Panrita Nurung.