Sebuah negeri bernama Antah Berantah dipimpin oleh seorang presiden bernama Pino. Presiden Pino pada awal pemerintahannya diharapkan menjadi ratu adil oleh rakyat. Tapi kini, harapan itu tidak lebih daripada ilusi. Presiden Pino kian menancapkan kebijakan yang serampangan hingga berlagak seperti seorang diktator; mengedepankan kekuatan ketakutan daripada cinta kasih. Presiden Pino adalah seorang machiavellis.
Karenanya, “kapal hendak diarahkan kemana Kapten?” adalah kalimat satire yang selalu didengungkan oleh orang-orang yang mengkritik kebijakan pemerintah di bawah Presiden Pino. Sebab banyak hal yang dinilai tidak sesuai dengan kemauan rakyat. Seperti yang selama ini diinginkan rakyat Antah Berantah yang menganut sistem demokrasi; dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat.
Sebagai ukuran misalnya, tentang penolakan undang-undang busuk yang sangat kontroversial di negara itu. Rakyat sama sekali tidak didengar. Presiden Pino dan para legislator seakan-akan buta dan tuli. Mereka seperti bersekongkol untuk memuluskan undang-undang busuk itu. Buktinya, setelah disahkan, undang-undang itu masih menjadi perdebatan tentang substansinya. Mereka tidak bergeming.
Apalagi di tengah pandemi Covid-19 yang mencengkram. Sendi-sendi kehidupan rakyat simpang siur dalam hal kesejahteraan; PHK terjadi dimana-mana, pengangguran meningkat, ekonomi merosot. Di sisi lain, kebijakan yang diambil Presiden Pino banyak yang tidak tepat sasaran; menumpuk utang, data penerima bantuan sosial yang tidak jelas hingga dikorupsi berjamaah. Sungguh sangat memuakkan.
Tidak berhenti sampai di situ. Indeks demokrasi negara Antah Berantah terus mengalami penurunan. Pembungkaman terhadap mereka yang sangat kritis terhadap pemerintah dilakukan melalui penerapan pasal-pasal karet. Dan yang paling terbaru mengakarnya oligarki di tubuh pemerintah. Bahkan, Presiden Pino pun tidak mau ketinggalan; mencatatkan tinta emas sejarah.
Karena, selama negara Antah Berantah berdiri. Rezim pemerintah sebelumnya tidak pernah memiliki anak dan menantu yang menjadi kepala daerah. Dan Presiden Pino memulai itu. Sebuah prestasi yang membanggakan secara trah keluarga juga sekaligus menunjukkan kekuatan oligarki telah menjalar kemana-mana; dari kota hingga ke dalam meja istana.
Walau demikian, apa yang ditunjukkan oleh Presiden Pino adalah hal yang wajar dalam mempertahankan tahta. Sebagai pemimpin yang dilahirkan bukan dari garis keturunan penguasa atau lebih tepatnya karena keberuntungan, Presiden Pino tentu tidak ingin kehilangan momentum. Keputusan untuk membawa sang anak dan menantu ke dalam pusaran pemerintah adalah naluri alamiah.
Setidaknya itu yang diyakini oleh Nicolo Machiavelli. Bahwa untuk menguatkan kekuasaan, sang pangeran atau presiden harus menancapkan pasukan di wilayah kekuasaan. Atau paling tidak hadir pada wilayah kekuasaan itu. Entah dengan kehadiran sendiri atau dengan menunjuk orang lain yang dapat tunduk dan patuh. Seperti demikian yang hari ini diterapkan oleh Presiden Pino.
Oleh karena itu, mereka yang tidak menyukai atau mencibir sinis adalah orang-orang yang iri kepada Presiden Pino. Mereka adalah pendengki sejati yang tidak tahu bagaimana menjadi Presiden Pino; betapa beratnya menanggung derita untuk mengabdikan diri kepada rakyat Antah Berantah. Semua telah diperlihatkan dan disodorkan pada awal pemerintahannya; telah kulemparkan rezeki-rezeki itu dari mobil mewah. Rakyat sudah bahagia dengan itu.
Maka kali ini, pada periode yang tidak ada beban lagi. Presiden Pino ingin menikmati hari-harinya sebagai presiden. Ia juga ingin berbagi itu kepada keluarganya. Setidaknya itu adalah sikap yang sangat jujur dengan meloloskan keluarga menjadi penguasa di wilayah kekuasaaan. Kadang-kadang memang kesalahan-kesalahan manusia haruslah diterima sebagai kelebihan. Barangkali itu adalah alur pemikiran Presiden Pino yang machiavellis.
Catatan ini akan berakhir ketika Presiden Pino duduk santai di istana sambil meneguk secangkir jamu. Presiden Pino sedang memikirkan strategi untuk tetap melanjutkan kekuasaan tanpa harus berkuasa. Presiden Pino ingin keluar dari tekanan. Ketika pemerintahannya selesai, Presiden Pino ingin bebas. Tidak ingin dalam lingkaran diujung telunjuk Sang Dewi. Melawan arus bisa jadi pilihan alternatif.
Dan ketika waktunya tiba, Presiden Pino akan berkelakar “aku adalah manusia yang punya hasrat berkuasa”. Dan ini semua akan menjadi kenyataan jika rakyat negeri Antah Berantah tidak menyadari diri telah terperdaya. Bahwa selama pemerintahan ini, rakyat hanya dibuat sibuk dan disibukkan dengan hal yang muncul dipermukaan. Tidak diberikan kesempatan untuk berpikir kritis atau mencari dan menemukan kebenaran.
Jika metode itu tidak bekerja. Maka akan segera dievaluasi dan dilakukan perubahan dengan segera. Dipilihlah manupulasi dengan metode simulacra ala Jean Baurdrillard. “Televisi merupakan medan di mana orang ditarik ke dalam sebuah kebudayaan sebagai black hole. Di mana realitas yang ada adalah realitas semu, realitas buatan,” kata Jean Baudrillard. Kegagalan akan ditutupi dengan kebisingan dan atau kehebohan. Begitulah Presiden Pino bekerja.
Kupikir demikian, salam cinta, aku mencintaimu.
Jurnalis dan penulis lepas