Decluttering Begundal Balala

 

Mungkin kita semua masih ingat ataupun pura-pura lupa, mega korupsi Hambalang, Century, E-KTP, dan masih banyak lainnya. Hari ini kita sudah masuk dalam babak baru, beberapa menteri dalam Kabinet Indonesia Maju tertangkap tangan korupsi. Menteri yang diharapkan mampu menjadi social control di tengah karut marutnya bangsa dalam melawan pandemik Covid-19, telah berbuat korupsi di saat ribuan tenaga kerja harus kehilangan pekerjaan yang menopang asap dapurnya.

Ambisi keberpunyaan telah membawa manusia pada jurang keterhinaan, memiliki ini dan itu seolah menjadi tolak ukur kebahagiaan. Halal haram menjadi satu,  kata “dan” telah hilang sebagai pemisah antara yang halal dan haram. Mengumpulkan sebanyak mungkin, tapi apatis terkait dari mana keberpunyaannya berasal. Mereka menjelma menjadi begundal benalu di negerinya sendiri.

Dalam salah satu teori psikologi perkembangan anak, dijelaskan ketika anak manusia cenderung  mengumpulkan barang sebanyak mungkin, untuk memenuhi hasratnya, tidak peduli dari mana muasalnya. Laku seperti ini terbawa oleh sebagian orang hingga dewasa. Mereka menjadi tidak puas dengan kepunyaannya, selalu mencari alasan mendapatkan sesuatu yang baru secara berlebihan, hingga menjelmalah ia menjadi manusia-manusia rakus, yang dalam istilah Makassar dikenal sebagai balala. Balala adalah suatu penyakit hati yang menggorogoti seseorang. Penyakit yang membuat seseorang selalu merasa kurang, hingga timbul perasaan ingin lebih dan lebih lagi. Tak pernah puas.

Menarik mengingat kembali buku Seni Hidup Minimalis anggitan Francine Jay. Ia  menabalkan sedikit barang berarti sedikit stres. Buku ini menyentil para kaum maksimalis yang sudah termakan bujuk rayu aspiratif dan citra iklan. Minimalis adalah perlawanan gaya hidup maksimalis di tengah arus konsumerisme. Tidak jarang kaum maksimalis akut ini rela berbuat apa saja untuk memenuhi hasratnya. Jika ia adalah pejabat, maka korupsi terkadang tidak bisa terhindarkan. Arkian ia membual, membujuk,  berbohong dan memfitnah sebagai jurus pelariannya. Laiknya musang berbulu domba.

Banyak politisi hari ini, hanya sibuk safari politik. Kemegahan fasilitas telah membuat ia lupa kenapa berpolitik. Mereka seolah berputar pada lingkaran setan lupa dari arah mana dia berasal dan akan kemana tujuannya. Seharusnya konsep velocity menjadi jalan yang harus dirapah para politikus ini. Velocity adalah sebuah konsep yang lebih mengutamakan arah tujuan. Karena jalan suci politik adalah jalan yang rawan akan kekhilafan.

Rasanya ingin mengulik kembali buku dari Robin Sharma yang berjudul The Monk Who Sold His Ferrari. Buku itu bercerita bagaimana hidup seorang tokoh bernama Julian Mantle. Ia adalah seorang ambisius, berprofesi sebagai pengacara dengan karir mentereng menjadikannya kaya raya. Waima demikian, ia telah kehilangan kebahagian lebih dari separuh hidupnya. Suatu waktu dalam sebuah persidangan, ia jatuh tersungkur dan sakit berkepanjangan. Dari kejadian itulah, ia memutuskan untuk menjual segala asetnya, lalu merapah jalan suci ke Gunung Himalaya. Di sana ia bertemu dengan kaum bijak Sivana untuk berguru ilmu kehidupan.

Berselang tiga tahun kepergian Julian Mantle, ia tiba-tiba muncul, bersua dengan  sahabatnya. Bersawala tentang apa saja yang ia temukan di sana. Maklumlah sekarang wajahnya terlihat lebih muda dari usianya, juga lebih beraura bahagia. Walau sekarang, ia sudah tidak punya karir dan juga aset melimpah. Hemat saya, kebahagian memang tidak bisa di ukur dari harta benda. Meski sebenarnya mampu memberikan kebahagian, tapi hanya bersifat sementara. Kebahagian itu berasal dari bagaimana kita menyikapi hidup dengan penuh rasa syukur.

Jauh hari sebelumnya, orang tua sudah mengenalkan kita nilai-nilai bijak dalam kehidupan. Mereka mengajarkan kita nilai-nilai agama Islam, menanamkan hidup dengan kesederhanaan. Ada banyak surah dan hadis yang bisa dijadikan pijakan literatur. Mengutip kisah Rasulullah saw., beliau dikenal sebagai tokoh paling berpengaruh sepanjang sejarah. Rasulullah adalah seorang khalifah terbaik, ash shadiqul mashdud, orang yang dibenarkan Allah Swt.

Alkisah, dalam riwayat Bukhari, pernah gelas beliau pecah, kemudian beliau menambal bagian pangkal gagangnya dengan perak. Dalam riwayat lain, juga ada yang mengatakan bahwa Rasulullah hanya tidur dengan beralaskan tikar. Pernah suatu waktu, dalam sebulan, saban harinya hanya memakan kurma dan air putih. Namun sayang, sangat kontras sekali dengan umat yang sangat beliau cintai. Kiwari, sebagian umat hari ini selalu ketakutan akan hari esok, hingga jelmalah ia menjadi manusia serakah.

Di Makassar ada istilah ngoa. Ngoa adalah sifat yang berlebih-lebihan dengan sesuatu, setingkat di atas balala. Bermakna serakah. Dalam pappasang tau riolo dikatakan, bahwa salah satu tanda tahun buruk bagi suatu negeri adalah pemimpin serakah. “Nakana Karaenga, Apa Tanranna pattaungang makodia? Nakana Tunialleanga kananna, Tallui pammateinna iamintu, Uru-urunna; Punna massarroi cinnana Karaeng Makgauka, Makaruanna; Punna mangngalle sosok gallarang makbicarayya, Makatallunna; Punna tana namakrurung gauk tumakpakrasanganga ilalang pakrasangan lompoa” (Karaeng berkata, Apa tanda-tandanya tahun yang buruk? Orang yang didengar katanya (kepercayaan karaeng) menjawab, ada tiga tandanya, yaitu  pertama; Raja (pemimpin) yang berkuasa terlalu serakah, kedua; Penegak hukum telah makan suap, ketiga; Apabila tidak ada persatuan dan kata sepakat di kalangan penduduk dalam sebuah negara).

Apa yang menjadikan mereka begitu serakah? Padahal dalam hadis riwayat Muslim ditabalkan, bahwa segala takdir  manusia sudah Allah Swt., catat 50.000 tahun sebelum penciptaan langit dan bumi di kitab lauh mahfuz. Tidak malukah kita pada baginda Nabi, yang memaksimalkan barang dan hidupnya, sebaik dan sebermanfaat mungkin untuk orang lain.

Walakhir, marilah kita merefleksikan akhlak Nabi dalam berkehidupan sehari-hari. Saya juga menawarkan tekhnik decluttering, seperti yang dilakukan tokoh minimalis, Mario Kondo yang berasal dari Jepang.  Mario Kondo, terkenal dengan gaya minimalisnya dengan konsep konmari dengan tekhnik decluttering. Maksudnya adalah menyingkirkan barang-barang yang tidak dibutuhkan, dan menyimpan yang masih dibutuhkan.

Tekhnik decluttering bisa diterapkan dalam menata negara, hal-hal yang memang tidak berguna maka disingkirkan saja. Sembari mempertahankan hal-hal yang memang dibutuhkan oleh rakyat. Ya, misalnya melakukan decluttering pada narapidana korupsi, dengan  memberikan hukuman mati di Nusakambangan sana, supaya ada efek jera. Karena sampah seperti mereka tidaklah layak di negeri yang luhur ini.

Tentu dalam menata negara tidaklah segampang itu, tulisan ini hanyalah sebuah bahan refleksi bersama. Mari menata hidup seminimalis mungkin mulai dari diri sendiri, menghargai fungsi setiap keberpunyaan kita dengan rasa syukur, agar jiwa begundal balala tidak bersarang pada diri kita.

 

One thought on “Decluttering Begundal Balala”

  1. Kadang keserakahan menghampiri saat semua yang diinginkan wujud di depan mata. Mari kita berdoa bersama agar para elit politik dapat terhindar dari wujud bagundal balala dan ngoa.

    Tulisannya keren👍
    Kami pembaca menanti esai berikutnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *