Sekali waktu, saya pernah ditawari parfum oleh seorang penjual. Sebenarnya, saya tidak suka memakai parfum, entah kenapa. Tapi sepertinya si penjual ini tahu kelemahan saya. Saya terus didesak dan di-gollai, “Ah, masa cakep begini tidak punya uang,” Saya pun akhirnya luluh juga. Saya terpaksa beli, padahal saya sudah purmis (pura-pura miskin) di depannya—meski aslinya memang miskin betulan. Saat itu, saya beli bukan karena butuh, apalagi karena bau badan sehingga harus pakai parfum. Bukan itu. Melainkan karena merasa tidak enak. Saya takut mengecewakan orang lain, apalagi kalau cantik. Takut jika saya dilihat buruk olehnya.
Hal-hal seperti ini, mungkin terlihat sepele bagi sebagian orang, tapi pikiran begini selalu berkelindan di kepala, saya bahkan tidak bisa hidup tenang karenanya. Bagaimana jika dalam sehari, saya ditawarkan sepuluh parfum? Haruskah saya membeli semuanya atas dalih ketidakenakan itu? Bisa-bisa saya jadi juragan parfum.
Memang, ada segelintir manusia, dikarunia hati yang teramat “lemah” oleh Tuhan, mungkin lebih lemah dari hukuman koruptor di Indonesia. Mereka adalah orang-orang, yang sangat berat menolak ketika dimintai tolong, amat susah bilang “tidak” pada seseorang, dan sungguh tidak suka jika harus berkonfrontasi dengan orang lain. Orang jenis ini, lebih senang mengalah meski benar, meminta maaf meski tak salah, dan mungkin memilih diam jika tak dimintai pendapat. Sayangnya, hal ini bahkan berlaku untuk hal-hal yang memberatkan dirinya sendiri. Jadi, ia bisa mengambil beban orang lain, untuk ditaruh di pundaknya sendiri, meskipun ia mungkin berada dalam kesulitan juga. Orang-orang seperti ini mungkin disukai banyak wanita orang, tapi pasti membenci diri sendiri. Merasa lemah dan tak berdaya. Sayangnya yang lain, saya mungkin salah satunya.
Saya bahkan menulis ini masih berselimut perasaan tidak enak. Takut disalahpahami orang. Apatahlagi ditafsirkan keliru, bahwa selama ini kami tidak ikhlas menolong. Kita tidak sedang berada dalam ranah itu, sebab kita bukan Tuhan. Apa yang ingin saya tegaskan adalah, bahwa orang-orang seperti itu ada, dan berkeliaran di sekitar kita. Jika Anda menemukan teman seperti itu, Andalah yang harus mengerti, meminta pendapatnya, dan mengajaknya bicara baik-baik. Bukan malah langsung menyuruh-nyuruh saja, tanpa pertimbangan ini dan itu. Hanya karena Anda merasa selama ini, kami mau disuruh tanpa keberatan. Bisa jadi, kami sedang memendam luka batin karena perlakuan Anda. Cuman, ya itu tadi, kami tidak enakan mengungkapkannya. Terlalu takut menyinggung perasaan. Jangan-jangan kami sudah keenakan menjadi orang tidak enak. Tragis.
Jadi orang tidak enakan itu memang susah, ribet, dan melelahkan. Saya bahkan berani memasukkan sifat ini ke dalam salah satu jenis penyakit hati. Stadium akhir pula.
Susan Newman, seorang psikolog asal Amerika Serikat menamai sifat tidak enakan ini sebagai people pleaser, orang yang selalu meletakkan kepentingan orang lain, di atas kepentingannya sendiri. Asal orang lain senang, dia tidak keberatan melakukan sesuatu, meski hal tersebut bukanlah sesuatu yang ia sukai atau setujui.
Waima demikian, mentalitas ini, jangan kemudian disamakan dengan istilah ABS (Asal Bapak Senang) di masa Orla dan Orba, karena memang amat berbeda. Mentalitas ABS saat itu digunakan untuk menggambarkan sikap menjilat, mental bawahan, dan upaya membuat atasan senang, dengan pamrih tentu saja; agar disukai atasan. Konon salah satu faktor lengsernya Bung Karno, karena terlalu banyak menerima laporan fiktif, dari bawahannya yang punya mentalitas ABS ini. Sedang mentalitas tidak enakan, ya memang karena tidak enak hati saja, melakukan penolakan, atau berkata “tidak” pada orang lain. Tak ada maksud menjilat sama sekali.
Lalu mengapa orang-orang bersikap demikian? Masih menurut Susan, hal tersebut terjadi karena keinginan dari orang tersebut, untuk merasa dirinya penting dan mau berkontribusi bagi orang lain. Ada semacam kecenderungan dalam diri, untuk memperoleh citra baik di mata orang-orang. Saya rasa, itu adalah sesuatu yang naluriah, dan fitrawi. Berbuat baik itu wajib, bahkan sangat dianjurkan oleh agama, memberikan manfaat sebanyak mungkin bagi orang lain. Namun, patut pula diingat, agama juga melarang kita untuk berlaku zalim terhadap diri sendiri. Memelihara perasaan tidak enakan itu salah satunya.
Saya menulis ini, mewakili teman-teman lain yang mungkin tidak bisa speak up, menyuarakan keresahan-keresahannya selama ini. Mohon tidak ditafsirkan keliru, bukan karena kami tidak mau lagi dimintai tolong. Bukan sayang, jangan salah paham dulu. Saya hanya ingin agar Anda semua, lebih peka dan reaktif terhadap isu-isu seperti ini. Anda tentu tidak ingin, tanpa sadar berlaku zalim terhadap orang lain, hanya karena tak tahu, atau pura-pura tak tahu. Syukur-syukur, jika Anda bisa menyembuhkan kami dari “penyakit” ini. Kaum tidak enakan benar-benar butuh uluran tangan.
Di sisi lain, kita sebagai orang-orang yang tidak enakan, mesti juga mendidik mentalitas sendiri. Pertama, harus melakukan perubahan fundamental dalam melihat relasi dengan sesama. Hidup memang tak mungkin menyenangkan semua orang. Bersikap logis dan realistis mungkin adalah kuncinya. Cukup kerjakan yang bisa dikerjakan. Jangan ragu berkata tidak pada orang lain, jika memang hal-hal tersebut membuat kita merasa tidak nyaman. Tidak usah takut mengecewakan orang lain. Saya percaya, jika kita menolak dengan baik, orang lain akan mengerti. Kalau masih tidak mengerti, kita mungkin harus mencari teman baru.
Kedua, berhenti meminta maaf jika tak salah. Meskipun untuk pacar tersayang. Sebab, permintaan maaf kita dalam kasus ini, hanya akan memperpanjang barisan perbudakan. Meminta maaf itu baik, jika tepat pada tempatnya. Bila tidak, kita hanya akan memelihara mentalitas tidak enakan lebih lama. Tak baik merendahkan diri di depan orang lain. Rendah hati boleh, rendah diri jangan. Pacar bukan dewa yang selalu benar, dan kita bukan kerbau yang selalu salah. Lawan!
Walakhir, kaum tidak enakan sedunia. Mari rapatkan barisan, dan beranilah katakan “tidak” pada segala bentuk kesewenang-wenangan!
Ilustrasi: Bewellhub.com
Lahir di Bantaeng, guru PJOK, pustakawan Rumah Baca Panrita Nurung, dan penulis buku kumpulan esai, “Jika Kucing Bisa Bicara” (2021).