Sederhana saja, istilah ini terdiri atas dua kata: Me dan Time. Me Time. Hanya dengan dua kata ini, kita dapat melakukan refleksi dan pelacakan terhadap kebudayaan kita. Secara sederhana, Me Time ini diartikan sebagai perilaku seseorang yang menghindarkan diri dari pelbagai aktivitas publik. Singkatnya, menyendiri. Tanpa gangguan dari siapa pun dan apa pun. Tujuannya bisa beragam. Ada yang ingin merefleksikan kehidupan yang telah lalu, ada juga yang ingin menyusun dan mengimpikan masa depan yang ideal.
Fenomena menyendiri ini sering didapati pada muda-mudi di era milineal yang milieu-nya hanya berkisar teknologi (baca: media sosial). Akan tetapi, benarkah kondisi menyendiri atau sebutan kerennya, Me Time, merupakan produksi masa kini atawa bahkan sudah ada sejak bertahun-tahun sebelumnya? Apakah fenomena ini merupakan hasil kebudayaan lokal yang berkembang di Nusantara, ataukah merupakan hasil saduran—untuk tidak mengatakannya tiruan—dari kebudayaan luar Nusantara? Jika sudah ada sejak zaman baheula, apakah fenomena itu merupakan repetisi atau representasi dari kebudayaan masa lalu? Serta apa makna dari repitisi dan representasi tersebut?
Sebelum mengajukan jawaban pertanyaan di atas, pertanyaan yang lebih fundamen untuk ditawarkan dan mendesak untuk dijawab adalah: apa penyebab dari lakon tersebut?
Umumnya, seseorang menyendiri akibat kejenuhan, kejengahan, kepongahan, kebosanan atas ritus sehari-hari atau kondisi sosial-ekonomi-budaya-politik yang memuakkan. Sebut saja contohnya: pekerjaan yang terlalu padat, tugas yang menumpuk, hubungan yang penuh dengan konflik, gaji yang tak kunjung naik, nilai akademik yang masih saja eror, koruptor yang masih merajalela, elite politik yang sangat rakus serta masih banyak lainnya.
Tentunya, kegiatan menyendiri yang disebabkan oleh kejenuhan, kejengahan, kepongahan, kebosanan, rasa muak dapat diartikan sebagai “penolakan” terhadap kondisi sosial-ekonomi-budaya-politik yang tidak sehat, tidak benar, tidak bersih, tidak jujur, tidak kreatif, cenderung destruktif yang kian hari kian menghidu kehidupan sehari-hari.
Seorang pekerja yang menyendiri akibat sedih, jenuh, dan bosan dengan pekerjaan yang terlalu padat serta gaji yang tak kunjung naik merupakan “penolakan” terhadap sistem perekonomian yang kapitalistik. Masyarakat yang menerapkan kapitalisme sebagai Zeitgeist dalam menggerakkan perekonomian membiarkan para elite untuk memiliki kekayaan yang tersentralisasi dan membiarkan pekerja menderita dengan beban dan tugas kerja yang sangat banyak.
Begitu juga dengan pelajar/mahasiswa yang menyendiri akibat bosan, jengah, muak dengan sistem pembelajaran yang tidak kreatif dan cenderung kaku menandakan hal yang sama dengan kondisi si pekerja tadi. Pelajar/mahasiswa “menolak” budaya sekolah/universitas serta lingkungannya yang hanya melulu mengejar gelar, mengedepankan nilai, memburu lembaran “portofolio”, tapi minim dorongan dan inovasi untuk menghasilkan karya intelektual yang orisinil. Serta tidak menjadi tempat bertumbuh yang baik bagi kreativitas dari pelajar/mahasiwa.
Contoh di atas merupakan salah satu laku Me Time pada era kiwari. Adalah Kuntowijoyo dalam bukunya Masyarakat dan Budaya menabalkan, bahwa pada masa lalu (baca: era pra kemerdekaan) sudah terdapat laku menyendiri yang disebut sebagai semedi. Seperti di atas, masyarakat pra kemederkaan melakukan semedi akibat ketidaksanggupannya untuk menyelaraskan hidup dengan kebudayaan patrimonial yang cenderung bureaucratic.
Pada era masyarakat pra kemederkaan, orang melakukan semedi di atas gunung, di tengah hutan, di tepi pantai yang sunyi atau tempat-tempat sunyi lainnya merupakan bentuk penolakan terhadap kebudayaan patrimonial/kerajaan yang sifatnya bureaucratic dan mendominasi masyarakat desa.
Dalam hal agama, orang yang memilih untuk menyendiri atau bersemedi di tempat-tempat yang sunyi, dijadikan sebagai lakon untuk menemukan ketenangan batin. Tentunya, ini sangat berkebalikan dengan agama yang semakin diinstitusionalisasikan pada kebudayaan patrimonial/kerajaan yang sifatnya bureaucratic.
Hal tersebut juga sering dinamai sebagai tarekat. Tarekat adalah sebuah laku dalam ritus agama yang sedikit berbeda dengan laku beragama pada umumnya. Orang-orang yang bertarekat lebih memilih mengamalkan ajaran-ajaran agama tertentu daripada mengikuti pola arus utama orang beragama secara umum. Mereka lebih merasa mendapatkan ketenangan jika mengamalkan wirid-wirid khusus, tinimbang mendengarkan ceramah pemuka agama yang kadang-kadang hanya “melegitimasi” kebijakan kerajaan yang tidak sesuai dengan kondisi masyarakat desa.
Tak hanya itu, tarekat juga dijadikan sebagai sarana pendidikan agama yang menjadikan kearifan lokal sebagai bahan pengajarannya. Tentu saja, ini sangat berbeda dengan model pendidikan yang ada pada kebudayaan patrimonial/kerajaan, yang hanya mengajarkan hal-hal seputar kerajaan yang juga sulit diakses oleh masyarakat pedesaan.
Olehnya, berdasarkan pemaparan di atas, perilaku menyendiri merupakan sebuah tradisi, kebudayaan dan lakon yang telah ada dan senantiasa bertumbuh pada masyarakat Nusantara. Dikarenakan bertumbuh pada masyarakat Nusantara, ini menandakan bahwa fenomena Me Time, merupakan tradisi, kebudayan, dan lakon yang otentik pada masyarakat Nusantara.
Lantas, diksi Me Time—yang notabene berasal dari bahasa Inggris—ini didapatkan dari mana? Tampaknya, kata Me Time merupakan bahasa yang disadur dari bahasa Inggris dan lebih senang digunakan oleh muda-mudi di era masyarakat informasi sekarang ini untuk menamai laku menyendiri dan mengalieanasikan diri dari ruang publik. Bagi mereka, kata Me Time lebih beken dan keren ketimbang menggunakan semedi yang dianggapnya sangat tradisional dan tidak sesuai dengan kondisi modern saat ini.
Selanjutnya, apakah Me Time atau semedi, merupakan representasi ataukah justru repitisi dari kebudayaan masa lalu?
Untuk menjawab hal tersebut, kita perlu membedakan antara representasi dan repetisi terlebih dahulu. Yasraf Amir Piliang, dalam karya anggitannya, Medan Kreativitas; Memahami Dunia Gagasan, menjelaskan representasi sebagai bentuk ‘lama’ yang ‘dibarukan’. Sedangkan repetisi adalah bentuk ‘lama’ yang sebagiannya diubah, dan olehnya mengandung unsur kebaruan (Newness).
Meskipun Me Time dan semedi memiliki “Zeitgeist” yang sama serta bertumbuh pada lokasi yang sama (baca: Nusantara), akan tetapi keduanya merupakan produk kebudayaan dari era yang berbeda: yang satu kontemporer dan yang lainnya tradisional. Tak sampai di situ, khususnya di wilayah perkotaan yang identik dengan keramaian dan percepatan, laku eskapistik (baca: Me Time) tidak harus pergi ke tengah hutan, ke atas gunung, atau ke tepi pantai yang sunyi, melainkan dapat dilakukan dengan cara “mengalienasikan” diri di tengah-tengah keramaian tersebut. Olehnya, Me Time merupakan repetisi dari kebudayaan masa lalu.
Walakhir, dengan cara “mengalienasikan” diri di tengah-tengah keramaian, Me Time justru dapat dilakukan di dalam rumah, di warung kopi, di toko buku, di perpustakaan bahkan di pusat perbelanjaan.
Sumber gambar: fr.vecteezy.com/art-vectoriel/247818-me-time-in-cosy-avec-cafe-dans-salon-vector-illustration-plate
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute