Perang dunia pertama dan kedua sudah lama berakhir, walaupun sudah tutup buku, sampai kiwari perkubuan bangsa-bangsa masih sering saling jegal, dan sama-sama membayangkan di akhir sejarah nanti perang teramat dahsyat bakal terjadi.
Prediksi ini, meskipun terdengar berlebihan, masih jadi ketakutan bangsa-bangsa adi daya hari ini, dan karena itu diam-diam sedang menyusun angkatan bersenjata raksasa jika hal itu betul-betul terjadi.
Benar atau tidak, perang dunia pertama dan kedua membuktikan di waktu mendatang akan lahir orang-orang semacam Adolf Hitler, atau Josef Stalin, yang berimajinasi dunia bisa ia kendalikan hanya dengan cara membumihanguskan negeri-negeri lain. Orang-orang semacam ini, pernah hidup dalam sejarah dengan memobilisasi masyarakat agar mempercayai ilusinya, dan malangnya tidak sedikit yang mengyakininya.
Perang bukan fenomena baru bagi peradaban manusia, karena meskipun dunia mengalami masa damai yang panjang, di dalam dirinya sendiri berkecamuk perang yang jauh lebih dahsyat sama panjangnya dengan seluruh usianya.
Dalam konteks itu, Erich Fromm menarasikan akar psikologis mengapa manusia mengalami kecamuk pertempuran dalam dirinya, dan mengapa peradaban manusia sering tersedot perang dan hancur karenanya, melalui suatu buku: Perang Dalam Diri Manusia, Studi Psikologis Mengenai Akar Kehancuran.
Jangan terkecoh dengan frase ”studi psikologis” di sampulnya itu, karena selain penjelasan Fromm yang lebih mendekati penjabaran filosofis, buku ini nyatanya tidak sampai 100 halaman, yang itupun menjadi pantas disebut buku karena masih ditambahkan esai komentar beberapa kolega Fromm menyangkut ”makalahnya” ini.
Jadi, tidak ada studi psikologi dalam buku ini, sama seperti suatu uraian panjang yang dihasilkan dari suatu penelitian berkelanjutan berdasarkan temuan-temuan fakta ilmiah. Itu artinya, meskipun buku ini ditulis Fromm yang berlatar belakang ilmu psikologi, pokok-pokok uraian buku ini lebih tepat disebut sebagai studi filosofis tentang manusia.
Medan perang manusia.
Konon, orang-orang Indian mempercayai sebuah legenda, dalam diri setiap orang tinggal seekor beruang. Sama seperti perbedaaan warna hitam dan putih, tiap beruang bagi tiap orang berbeda-beda perangainya.
Ada beruang yang jinak sehingga tidak mengganggu jiwa orang bersangkutan, tapi tidak sedikit yang menjadi mangsa beruang jahat yang liar dan sulit diatur. Orang-orang Indian percaya, setiap manusia bisa menjinakkan beruangnya setelah sebelumnya ia melakukan pertarungan besar-besaran denganya.
Kurang lebih sama seperti narasi di atas—dan juga narasi baik-buruk agama-agama—Fromm menyatakan dalam diri manusia ada keyakinan yang membuat mereka percaya bahwa sebagian manusia dicipta berperangai seperti jiwa domba, dan sebagiannya lagi mengganggap jiwa dirinya adalah serigala.
Berdasarkan logika domba-serigala ini, Fromm mengatakan kehidupan manusia terpolarisasi sedemikian rupa sehingga mendudukkan manusia serigala bisa menguasai sekawanan domba. Anehnya, manusia berwatak domba tanpa ada perlawanan berarti kalah telak atas kekuasaan serigala, yang memperdayai dan mengajaknya agar berlapang dada mengikuti seluruh perintah si serigala (h.7).
Dengan menganggap segerombolan domba gampang diatur dan mudah dimanipulasi, manusia serigala mendirikan kekuasaannya sama seperti seekor laba-laba membuat sarangnya. Melalui keadaan semacam itu, kata Fromm, seolah-olah pemimpin mereka layak mengambil keputusan, meski itu dengan kekuasaan yang total, ke dalam angkara hasrat serigala: agresif dan mematikan.
Keputusan demikian akan dianggap sebagai kewajiban moral karena kekuasaan serigala lebih besar dari nilai apa pun. Itu yang membuat mereka bisa melakukan apa saja, seolah-olah mereka seperti dianugerahi kekuasaan istimewa yang bertugas dan bertanggung jawab dapat membebaskan manusia dari keterpurukannya (h.8).
Ini sama bentuknya dengan pendakuan Thomas Hobbes, yang hidup dalam konteks masyarakat yang hancur karena perang dan saling menghancurkan di beberapa abad lalu, bahwa manusia sesungguhnya adalah serigala bagi manusia yang lain.
Logika serigala-domba, meski terdengar sederhana dan hitam putih, menurut Fromm sedikit banyak telah menjerumuskan kehidupan banyak orang ke dalam kehancuran, entah melalui perang, eksploitasi, kekerasan, dan pembunuhan berskala besar. Lebih dalam dari itu, menurut Fromm, ada uraian khusus yang dapat mendekati kenyataan semacam itu, yang membuat kehidupan ini terlihat lebih sebagai tragedi, walaupun ada sebagian di antara kita yang menyenangi keadaan semacam itu alih-alin menolaknya.
Cinta kematian dan Cinta Kehidupan
Mengapa sebagian kehidupan dari peradaban manusia mencapai puncaknya sekalipun dengan jalan perang? Apa yang membuat kekerasan, penyerangan, dan penghancuran atas ras manusia tertentu galib ditemukan? Mengapa orang semacam Hitler maupun Stalin memiliki kapasitas membunuh tak terbatas, yang membuat banyak orang bergidik saat melihat perang pembantaian bercucuran darah? Apakah tindakan semacam itu demi kehidupan itu sendiri? Apakah hanya dengan cara itu kehidupan mempertahankan diri?
Erich Fromm mengutip sindiran Miguel de Unamuno, seorang filsuf cum rektor Universitas Salamanca, saat terjadi Perang Saudara Spanyol tahun 1936, terhadap Jenderal Millán Astray mengenai apa yang disebut nekrofilia. Saat itu Jenderal Millán berkesempatan berpidato di kampus Unamuno, dengan membuka salam menggunakan motto favoritnya: Viva la Muerte, yang berarti hidup kematian. Melihat itu, Unamuno menyatakan kemuakkannya terhadap Jenderal Millán.
”Baru saja kudengar seseorang nekrofil yang tak berperasaan berteriak: ”Hidup kematian!” Dan, aku, yang telah menjalani hidupku membentuk paradoks yang membangkitkan amarah banyak orang, harus kukatakan kepadamu sebagai otoritas yang berpengalaman bahwa paradoks yang aneh ini memuakkan bagiku” (h.13).
Di peristiwa itu terjadi adu mudut antara Unumano dengan Jenderal Millán, yang berakhir menjengkelkan bagi keduanya. Unamano melabeli Jenderal Millán dengan predikat nekrofil, dan di akhir pernyataannya itu membuat panas telinga Jenderal Millán. ”Abajo la inteligencia!” (persetan dengan inteligensi), maki Jenderal Millán.
Lalu apa itu nekrofil atau nekrofilus yang diejekkan Unamano kepada Jenderal Millán? Menurut Fromm, nekrofilus adalah kecenderungan seseorang yang terpikat kepada kematian, atau sesuatu yang sudah mati: mayat, kebusukan, feses, dan kotoran. Nekrofil merupakan orang yang gandrung berbicara tentang kematian, kesakitan, penguburan, dan menjadi lebih hidup ketika bicara tentang semua itu (h.16).
Nekrofilus adalah unsur paling mendasar yang membedakan manusia secara psikologis dan moral antara satu sama lain, yang membuatnya rela bertindak bar-bar demi kehancuran dan kematian. Unsur kejiwaan ini, menurut Fromm, berkebalikan dengan biofilus, yakni suatu warna kepribadian yang mengorientasikan kehidupan sebagai tujuannya dan menyenangi apa saja yang sedang tumbuh.
Jika nekrofilus dikatakan Fromm dekat dengan sadisme, maka biofilus sebaliknya, ia mewujud dalam proses jasmaniah seseorang, dalam emosinya, dalam pikirannya, dalam gesturnya. Bentuk paling dasar mengenai orientasi biofilus diungkapkan dalam manusia yang utuh, dan kecenderungan organisme hidup untuk hidup (h.23).
Nekrofilus dan biofilus bukannya dua unsur yang saling bernegasi, dikarenkan keduanya dapat bercampur sedemikian rupa sehingga tidak dapat diartikan seseorang nekrofil otomatis bukan biofil. Keduanya dapat ditemukan di dalam jiwa yang sama pada orang yang sama. Itu artinya, setiap orang berkencedurangan memiliki dimensi nekrofilus dan biofilus dengan rumusan yang sama sekali bisa berbeda-beda setiap orang.
Lalu, apa hubungannya dengan kekejaman perang, atau tindakan penghancuran yang dilakukan pemimpin-pemimpin totaliter di masa lalu? Berdasarkan analisis Fromm, walau terdengar generalis dan esensialis, itu semua bertolak dari perangai cinta kematian, yang mendorong seseorang menemukan kenikmatan dan kebermaknaan dari kematian dan sadisme.
Orang nekrofilus itu bisa dijumpai dari cara berpenampilan mereka yang dingin, kaku, tertib waktu, dan menunjukkan semacam keangkuhan dari raut mukanya yang seolah-olah sedang mencium bau sesuatu. Dan, menurut Fromm, figur yang cocok dengan deskripsi itu tiada lain dan tiada bukan adalah Hitler belaka (h.21).
Hitler atau orang semacamnya, sama seperti kenikmatan seksualitas, merasakan perasaan kenikmatan puncak saat terlibat dalam kematian sesuatu. Menurut Fromm, para nekrofil memiliki kehendak dan kekuatan membunuh yang tinggi, sangat menyukai segala hal yang berkaitan dengan kekuatan, serta menemukan sesuatu yang ia cari dalam sadisme. Kata Fromm, nekrofilus bahkan sangat ingin mengubah apa saja yang berbau organik menjadi anorganik.
Singkatnya, nekrofilus menurut Fromm adalah kecenderungan yang sangat mengerikan, berbahaya, dan sangat bertolak belakang dengan asas-asas kehidupan. Fromm menggenapkan, orang nekrofilus jika menyadari dengan baik kesadaran macam ini, akan menemukan sensasi kesenangan saat ia meneriakkan: ”hidup kematian!”
Nekrofilus di sekitar Anda
Membayangkan seseorang sebagai biofilus, lebih sulit dibandingkan dengan ketika melihat banyak orang di masa kini lebih suka menjadi seekor serigala bagi manusia lainnya. Dalam arti yang lebih general, nekrofilus bisa termanifes di mana-mana. Mungkin ia adalah seseorang sahabat Anda yang suka ”mematikan” jati diri Anda di hadapan teman-teman sepergaulan, seorang koruptor yang merampas ”hak hidup” kehidupan publik, seorang kriminil yang membunuh korbannya, atau seperti sekelompok teroris yang merencanakan aksi bom bunuh diri demi memakan korban sebanyak-banyaknya.
Kelihatannya terdengar kurang cocok, tapi jika sedikit lebih cermat, Anda bakal lebih banyak menemukan gejala-gejala nekrofil lebih baik di sekitar Anda dibandingkan di atas (Apakah itu juga termasuk kesenangan memposting gambar-gambar vulgar korban kematian dari bencana alam, kecelakaan, atau pembunuhan di medsos?).
Dalam kajian psikologi, nekrofilus adalah gejala spesifik yang melanda orang-orang bermental tidak normal. Secara harfiah ia sudah dijelaskan melalui Erich Fromm di atas, yang sedikit banyak sama uraiannya dengan insting thanatos (insting kematian) yang dijelaskan Sigmund Freud.
Saat menulis di bagian ini, saya ingin mengajukan semacam pertanyaan melalui contoh lain menyangkut gejala insting kematian: apakah saat ini ketika dunia dilanda pandemi ganas Covid-19, dan orang-orang yang tidak patuh protokol kesehatan layak disebut satu fenomena masyarakat yang menyukai kematian? Atau orang-orang yang menentang Covid-19 hanyalah ilusi, dan dengan berani tidak ingin divaksin menunjukkan bahwa ia sebenarnya sedang menentang maut? Bukankah itu manifestasi dari, jika bukan nekrofil, adalalah insting kematian?
Peradaban masa kini
Setelah membaca buku tipis ini saya menemukan beberapa hal yang patut disanggah dari uraian Erich From, yang terjebak secara esensialis dalam menilik hakikat utama manusia. Pandangannya yang esensialis atas sifat dasar manusia ini, juga tidak masuk akal ketika membuatnya sebagai alasan paling mendalam dari cara ia menguraikan akar-akar kekerasan dan peperangan. Dari sisi ini, Fromm seolah-olah melupakan akar disiplinnya sebagai seorang psikolog yang mengutamakan temuan-temuan klinis berkaitan ciri kejiwaan manusia yang misterius itu, dan lebih memilih menjadi seorang filsuf.
Meski demikian, uraian Fromm ini, terutama saat ia mengkorelasikan sisi terdalam manusia dengan tindakan-tindakan ”sadisme” pemimpin seperti Hitler, patut diperhatikan. Gejala-gejala peradaban hari ini setidak-tidaknya memberikan satu dua anasir, bahwa ada sebagian dari kita malah dengan sadar meninggalkan unsur biofilusnya dan lebih mengutamakan nekrofilusnya, dengan mendorong suatu komunitas menuju kematiannya.
Analisis Fromm memang terbatas dalam konteks masyarakat industrial awal, dan hanya melihat Hitler sebagai nekrofilus, yang ke depannya orang semacam Hitler ia sebut bakal melahirkan peperangan nuklir antar bangsa-bangsa. Agak mengkhawatirkan analisis Fromm ini, tapi bukan berarti itu akan segera terjadi oleh karena kita kehilangan kepekaan biofilus di sekitar kita.
Masyarakat pasti memiliki mekanismenya sendiri agar sesegera mungkin menjerat seekor serigala tidak dapat menjadi seorang pemimpin sekawanan domba. Jika itu terjadi, maka tanpa direncanakan sekali pun, kehidupan ini akan bergerak ke dalam jurang kematiannya sesuai rancangan-rancangan sang serigala tadi.
Tapi, itu tidak akan terlalu menjadi masalah dibandingkan ketika saat ini, kita lebih sulit membedakan antara yang mana domba dan serigala sesungguhnya. Kebingungan itu semakin akrab karena kita sering mendengarkan petitihnya, dan menuduh pemimpin kita karena siasatnya: dasar serigala berbulu domba! Jika sudah seperti itu, mau dibawa kemana hubungan kita coba?!
Info buku:
Judul: Perang Dalam Diri Manusia, Studi Psikologis Mengenai Akar Kehancuran.
Penuli: Erich Fromm
Penerjemah: Aquarina Kharisma Sari
Cetakan: Juni 2020
Penerbit: IRCISod
Jumlah halaman: 104 halaman
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).