Ada sebuah quote yang berbunyi, “Tua itu tentang usia, dewasa itu tentang karakter. Semua orang pasti akan menua, tapi belum tentu mereka dapat menjadi pribadi yang dewasa.” Kehidupan sugguh sebuah arena pertarungan manusia. Bertarung dengan ego-ego yang bersarang dalam jiwa, atau bertarung melawan berbagai konflik antar pribadi yang mengusung kepentingannya masing-masing. Jika salah melangkah dan bertindak, masalah akan semakin runyam dan pelik.
Dikatakan pula, bahwa pada usia empat puluh pertama manusia, karakter dan kebiasaan telah melekat kuat. Lewat dari angka tersebut, akan semakin sulit mengubahnya. Boleh jadi bisa berubah, tetapi butuh kekuatan ekstra buat melakukannya. Maka merugilah ia yang telah menganiaya dirinya dengan membiarkan waktu-waktu berharga berlalu dalam kesia-siaan.
Setiap tahun terjadi banyak pengulangan peristiwa, aktivitas, serta kondisi manusia. Yang membedakan kesemuanya adalah sikap kita dalam melaluinya. Tepatnya, kondisi ruhani kita yang senantiasa berubah-ubah dari waktu ke waktu. Entah perubahan tersebut ke arah yang positif ataukah justru sebaliknya.
Terkadang dalam keterbatasan pengetahuan dan kesadaran, kita menganggap langkah-langkah yang diambil sudah benar, ternyata malah bertolak arah. Kita pun kembali belajar lalu memetik hikmah dari kesalahan yang dilakukan. Manusia semakin membuktikan dirinya sebagai makhluk tak berdaya. Seluruh pengetahuan dan kemampuannya digerakkan oleh Sang Pemilik Kekuasaan. Maka kepada siapa lagi hendaknya kita mengadukan segala kelemahan itu selain kepadaNya?
Usia jelang lima puluh adalah tahun-tahun kesadaran dalam kamus kehidupan saya. Ambisi dan harapan semakin menemukan bentuknya dalam pola-pola hidup sehari-hari. Saya pun merasa tergerak ke arah pilihan tokoh dan panutan yang sederhana, baik dalam berbicara, berperilaku, ataupun penampilan. Bukan soal ketidakmampuan melakukan hal sebaliknya, karena kemudahan membentuk citra diri saat ini didukung oleh teknologi digital. Siapa pun bisa menampilkan diri sebagai sosok yang diinginkannya, terlepas dari kebenarannya dalam kehidupan riil.
Seseorang bisa saja mencitrakan diri sebagai kelompok kelas menengah atas dengan memajang foto-foto perjalanan dan liburan yang lumayan menguras kantong. Atau benda-benda bermerk serta lingkungan pergaulan kelas sosial tertentu. Bahkan kepintaran pun bisa ditampilkan dan dikemas sedemikian rupa di layar kaca. Sehingga menimbulkan kesan ia seorang yang cerdas dan berpengetahuan luas. Saya sendiri pun sesekali terjebak dalam godaan serta ketidaksadaran jenis ini. Yang jadi soal tatkala terjadi pertemuan dalam kehidupan nyata, di mana segalanya berbeda bagaikan siang dan malam. Semua tampilan kemewahan dan kepemilikan yang selama ini dipertontonkan, nyatanya tidak sepenuhnya sama dengan kenyataan sesungguhnya.
Maka pertanyaan yang kerap saya ajukan akhir-akhir ini pada diri sendiri, adalah apa sesungguhnya yang menjadi tujuan saya dalam berinteraksi di belantara dunia maya? Tiba-tiba teringat dengan potongan nasihat seorang ustaz, bahwa jika seseorang ingin berjalan mendekati Tuhan, maka hendaknya ia pun secara berbarengan melakukan perjarakan menjauh dari dirinya atau egonya. Kita semestinya sebanyak mungkin menghindarkan diri dari pemusatan perhatian khalayak ramai demi sebuah pujian ataupun sanjungan. Dan yang bisa mengukur dan mengetahui kadar keinginan dan hasrat untuk disanjung tentunya hanya diri kita sendiri.
Hasrat kita demikian besar untuk mendekati Tuhan, tetapi di saat bersamaan kita belum siap menanggalkan keegoisan kita. Hal sederhana yang saya pahami dalam usaha menarik perhatian Tuhan adalah bagaimana kita mampu menundukkan hawa nafsu kita. Misalkan dengan melakukan pelayanan atau pengkhidmatan pada manusia lain. Tidak perlu jauh-jauh keluar rumah. Di dalam rumah sendiri kita berpeluang besar melakukannya. Ada orangtua kita, anak-anak, ataupun pasangan kita.
Bagaimana caranya? Yakni dengan berlomba-lomba saling melayani. Terhadap orangtua sendiri kita dapat melakukannya dengan cara membuatkannya minuman atau makanan kesukaannya. Menemaninya mengobrol dan bercerita beberapa jam sehari. Begitu pula dengan pasangan. Menawarkan diri untuk membuatkan ia teh atau kopi bukan karena kewajiban, melainkan karena dorongan ingin berkhidmat. Begitupun sebaliknya yang terjadi. Jika paradigma berpikir seperti ini yang kita terapkan, saya yakin setiap manusia akan berlomba-lomba saling melayani satu sama lain.
Lalu bagaimana jika hubungannya dengan anak-anak? Karena tidak pada tempatnya orangtua melayani anak-anak. Pertama-tama, kita mencontohkannya dengan perilaku nyata baik terhadap orangtua maupun dengan pasangan. Sehingga mereka langsung melihat praktik nyatanya di depan mata. Bukankah memberi teladan adalah contoh yang sangat kuat tertanam dalam benak? Bentuk lainnya yakni dengan cara kita bersabar menghadapi dan menjalani proses pembentukan pribadi dan karakter baik mereka. Tidak mudah marah dan mengeluh atas segala perilaku mereka yang belum berkenan di hati.
Menaklukkan ego
Berkhidmat kepada sesama manusia adalah salah satu cara menaklukkan ego seseorang. Sebagaimana sebuah kisah hikmah yang pernah saya dengar namun lupa sumbernya. Tentang seseorang yang diperintahkan untuk tinggal di sebuah keluarga beda agama dan melakukan pelayanan kepada si penghuni rumah dengan cara mengerjakan pekerjaan sehari-hari di sana. Memasak, mencuci piring, menyapu, mengepel, dan sebagainya. Tujuannya semata-mata sebagai latihan melepaskan ke-aku-annya.
Sebuah kisah pendek ingin saya kutipkan di sini sebagai pelengkap dan penarik minat pembaca.
Sebuah cerita klasik dari Cina mengisahkan tentang delapan manusia biasa yang kemudian diangkat menjadi dewa. Mereka menjadi dewa karena perkhidmatan mereka yang luar biasa kepada sesama manusia. Salah seorang di antaranya menjadi dewa karena ia berkhidmat kepada orang lain meskipun hatinya terus menerus disakiti. Sementara seorang yang lain diangkat menjadi dewa karena perkhidmatannya kepada orangtua dengan melewati berbagai macam ujian dan halangan.
(Sumber Al-Tanwir, Nol 162 – Edisi: 16 April 2000 M/11 Muharram 1420 H)
Bagaimana dengan kondisi kita saat ini? Sungguh masih sangat jauh proses perjalanan kita menuju Tuhan. Jangankan melayani orang lain yang telah menyakiti kita, bahkan melayani orang yang tidak menyakiti kita saja belum tentu kita sanggup. Menahan diri untuk tidak membalas kemarahan terhadap orang yang menampakkan permusuhannya saja, amboi sungguh sulitnya. Apatah lagi membalasnya dengan pelayanan atau pengkhidmatan. Sungguh berlipat-lipat beratnya.
Namun saya yakin dan percaya, dengan niat yang sungguh-sungguh disertai latihan yang terus menerus, apa yang diharapkan pada akhirnya akan terwujud. Karena Allah Maha Pengasih dan Maha Penyayang pada semua hamba-hamba-Nya.
Pegiat literasi dan parenting di Paradigma Institute. Telah menulis buku “Dari Rumah untuk Dunia” (2013) dan “Metamorfosis Ibu” (2018).