“Sudah pada ngopi belum?” Pertanyaan itu belakangan ini menjadi tren. Meskipun tradisi atau kebiasaan meminum kopi sudah ada sejak dahulu kala, akan tetapi belakangan ini meminum kopi menjadi tren, khususnya bagi masyarakat kota/urban.
Sewaktu kecil, saya sering melihat orang dewasa membaca koran sambil menyeruput secangkir kopi. Pikir saya waktu itu, mungkin tidak afdal membaca koran tanpa kopi—juga rokok. Serta menganggap kopi hanya diminum oleh orang dewasa atau bapak-bapak. Karena rasanya yang pahit dan memang identik dengan orang dewasa atau bapak-bapak.
Kiwari, sesuai dengan perkembangan zaman, kopi tak lagi identik dengan rasa pahit dan orang dewasa. Kini, banyak perusahaan yang menjajakan kopi cepat saji dalam bentuk kemasan. Di dalamnya tak hanya berisi bubuk kopi. Akan tetapi dicampur dengan yang lainnya: bubuk susu dan gula. Serta warung kopi yang kini menawarkan varian menu kopi yang beragam. Mulai dari yang paling pahit sampai yang manis. Olehnya, kini kalangan muda juga sudah bisa mengkonsumsi kopi dengan pusparagam variannya.
Dalam berbagai literatur, minuman yang diolah dari sebuah biji itu ternyata memiliki banyak cerita unik. Mulai dari kisah awal ditemukannya biji kopi, kasus pengharaman kopi sampai kopi menjadi alat pemicu perang.
Abdul Rasyid Idris, dalam esainya Perjalanan Berburu Kopi, yang terhimpun dalam buku berjudul Perjalanan Cinta, menabalkan bahwa kopi pada awalnya ditemukan secara “tak sengaja”. Pada esai tersebut diceritakan, bahwa suatu waktu seorang pengembala biri-biri mendapati kawanan ternaknya sangat aktif beraktivitas hingga suntuk tak tidur-tidur. Singkat cerita, setelah diamati, ternyata kawanan ternaknya menyantap bijian kopi yang tumbuh liar dan tak memiliki nilai ekonomis sedikitpun. Setelah mencoba dan menemukan khasiatnya, mulailah kopi ditanam dan dibudidayakan.
Di buku yang lain, History of The Arabs, anggitan Philip K. Hitti, mewedarkan, bahwa ketika saat Islam sedang jaya-jayanya dan sanggup mengalahkan ketenaran peradaban Kristen di Eropa Barat, kopi menjadi komoditas penting. Para sejarawan dan pengamat kopi sepakat, bahwa kopi pertama kali didapati tumbuh di Etiopia, Afrika Selatan. Saat itu, Afrika Selatan menjadi bagian dari peradaban Islam yang memang gigantis. Olehnya, karena kopi menjadi sebuah komoditas, pedagang Arab-Afrika-Islam menjajakan kopi pada orang-orang Kristen di Eropa Barat dan Timur.
Awalnya orang-orang Kristen, tertarik dan mengonsumsi kopi. Akan tetapi, sejak pihak gereja menetapkan kopi sebagai minuman haram, kopi tak lagi dikonsumsi. Ini disebabkan oleh dua hal. Pertama, pihak gereja mengharamkan kopi dikarenakan kopi dianggap sebagai minuman orang Islam, olehnya tak patut dikonsumsi oleh orang-orang Kristen. Alasan kedua, kepentingan ekonomi politik. Ketika kopi digemari orang-orang Kristen membuat “eksistensi” bir—dan semacamnya—menjadi terancam.
Selain itu, kopi juga menjadi pemicu pertikaian. Ini terjadi di bumi Sulawesi. Eko Rusdianto menjadi narator kisah tersebut. Dalam buku terbarunya, Tragedi di Halaman Belakang, membuktikan kopi dapat membuat sebuah kerajaan di Toraja dan Bone-Luwu baku hantam. Kopi Toraja—jenis Arabica—yang menjadi komoditas paling utama, mendominasi hampir seluruh pasar yang ada di Sulawesi. Termasuk kerajaan Bone dan Luwu.
Melaui aliansi tersebut, kerajaan Bone-Luwu merekayasa produksi kopi dengan memproduksi kopi jenis Robusta dan turut mendistribusikannya melalui pelabuhan Sidenreng dan Wajo—tempat kopi Toraja juga didistribusi. Tak berhenti sampai disitu, aliansi kerajaan Bone-Luwu melancarkan serangan ke Toraja. Lebih lanjut, perang kopi ini kemudian disebut dengan nama “Songko Barong”.
Selain memiliki cerita unik, kopi juga merupakan salah satu faktor pembangun kebudayaan. Khususnya di kota-kota atau masyarakat urban, tak hanya menjadi komoditas, kopi juga menjadi sebuah tren. Kopi menjadi tren melalui warung-warung kopi.
Tapi, tahu tidak, warung kopi pertama di dunia terletak di Konstantinopel, kini bernama Istambul, Turki. Namanya “Kiva Han”. Konon, warung kopi “Kiva Han” ini menjadi pemantik dan menginspirasi munculnya warung-warung kopi yang tenar di Eropa kemudian di Amerika. Mari saya tikkan secara verbatim apa yang dituliskan oleh si penulis: “Tahun 1529, Kolschitzky mendirikan kedai kopi di Wina…sebagai kedai kopi pertama di Eropa. …di Inggris…tahun 1652 berdiri kedai kopi “The Turk’s Head” sebagai kedai kopi pertama di Inggris. …pada tahun 1729 di New York berdiri kedai kopi “The Tontine Coffe House…hingga muncullah Starbukcs Coffe di tahun 1971….”.
Konon, di warung-warung kopi di beberapa kota di Eropa menjadi sarang bagi para filsuf untuk berdiskusi dan berdebat. Bahkan di tepi sungai Nil, terdapat sebuah kedai kopi tempat para aktivis politik yang sangat kritis. Mereka merancang sebuah pergerakan untuk menumbangkan presiden di masa itu. Kisah heroik itu diceritakan dengan apik oleh seorang peraih Nobel Sastra 1988, Najib Mahfudz dengan novel berjudul “Karnak Coffe”.
Kiwari, khususnya di kota Makassar, sudah banyak warung kopi yang menjamur. Salah satu tempat yang paling ramai selain mall atau pusat perbelanjaan adalah warung kopi. Hal ini tentunya menggambarkan sebuah kondisi kebudayaan yang cukup unik. Warung kopi berhasil memengaruhi paradigma dan model perilaku masyarakat kota Makassar.
Berangkat dari hal tersebut, di penghujung tahun 2020, KM10 School mengadakan sawala ringan di Kedai Bujang. Judul tulisan ini diambil dari judul diskusi tersebut: “Atraksi-atraksi di Warung Kopi”. Kesempatan itu menghadirkan dua orang akademisi FIB Unhas: Andi Faisal dan Apriadi Bumbungan, dimoderatori oleh Emir Raufi, mantan Ketua Bem FIB Unhas.
Menurut Andi Faisal, ramainya warkop merupakan sebentuk euforia masyarakat Indonesia akan hadirnya reformasi 1998. Baginya, euforia itu disebabkan lamanya Orde Baru mengkungkung segala aktivitas di ruang publik. Kini warung kopi bertiwikrama menjadi ruang publik yang sangat signifikan.
Di sisi lain, Apriadi Bumbungan, melihat warung kopi sebagai sebuah panggung, yang oleh Milan Kundera disebut dengan panggung dramaturgi. Menurutnya, warung kopi menjadi panggung kedua bagi tiap-tiap individu untuk mempertontonkan dirinya. “Selain mall, warung kopi salah satu tempat yang mempengaruhi setiap orang untuk bersolek”, aku Kak Apri.
Walakhir, kamu ngopi di mana hari ini?
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute