Desember kelabu, begitu kira-kira Meita menamai bulan di akhir tahun yang identik dengan hujan. Mengisahkan langit yang semula biru menjelma samar, abu, nan pilu. Duka di sepanjang waktu tak kunjung sembuh, bahkan ketika kalender di rumah-rumah telah beranjak ke tong sampah. Semua berawal sejak makhluk mengerikan itu, bersarang di penjuru negeri. Tak terlihat namun mematikan.
Sangkala orang-orang tengah riuh menyambut hari-hari baru, ia lebih memilih diam di balik jendela kamar, bersama buku catatan miliknya. Bagi Meita, segala yang baru dalam hidupnya kali ini, adalah sesuatu yang tidak pernah ada dalam setiap pengharapannya. Hari-harinya menjelma hitam dan menyesakkan. Bagaimana tidak, apa yang bisa diharapkan dari bebas yang telah direnggut? Haruskah keterkungkungan yang menyedihkan ini disemarakkan?
Angin sepoi, aroma hujan, dan suara siulan burung, berhasil membuat Meita enggan beranjak dari tempat tidur. Ilusi membawanya pada kenangan, setahun dua tahun silam. Saat semua masih seperti selaknya, memulai pagi, dengan sarapan telur dadar tanpa garam kesukaannya, sebelum bekerja sepanjang hari. Bebas melanglang buana, mengunjungi taman wisata dan bertemu orang baru. Atau menikmati senyum dan peluk hangat sanak saudara pada hari-hari perayaan, pun libur nasional.
Bagi Meita, tahun ini adalah hari-hari yang teramat berat. Kala semesta tak henti didera luka dan terus-menerus diterpa bencana. Ia adalah bagian-bagian yang terkena dampaknya. Beberapa kali jatuh dan tak berdaya, ia harus merelakan pekerjaan, saat keadaan sedang pelik. Lalu semua terasa mencekik, ketika Meita harus kehilangan orang terkasih, tanpa permisi. Beban kepala dan pundaknnya semakin menjadi, kala mendengar keluhan sang Ibu yang kian hari makin was-was, sebab kebutuhan hidup semakin menipis. Entah bagaimana keduanya akan pulih, Meita dan semesta.
Januari menjadi harapan satu-satunya, barangkali ia membawa kabar bahagia, diiringi bunyi terompet, menyaksikan kembang api menari di ujung pandangan mata, tepat di antara awan-awan lembut dan gemerlap bintang malam. Namun hari-hari baik tak kunjung menemuinya, tahun dengan angka yang baru, amat sungkan mengubah duka menjadi suka. Meita adalah kita dan orang-orang sekitar, yang mengasihani semesta dan merindu senyumnya kembali.
Beberapa waktu belakangan hidup telah mendedahkan banyak sekali kepelikan, dan di antara setiap kejadian, semesta seperti mengisahkan sisi lain manusia di buminya. Tak baik menjadi Meita yang menghabiskan waktu menghardik diri sendiri, sampai lupa menengadah ke atas langit, dan meminta jiwa yang lapang kepada Sang maha pemberi hidup. Adapula jenis manusia amat angkuh, tak mengindahkan aturan dan kemaslahatan orang sekitar. Atau bahkan yang lebih tragis, para tuan-tuan pemakan hak rakyat, di tengah negeri kita yang sedang tidak baik-baik saja. Adakah kita di antaranya? Semoga tidak.
Tampaknya kita bisa sedikit bernafas, pasalnya media informasi seperti memberi sinyal-sinyal kebaikan. Menjawab segala ketakutan, guna memperbaiki lumpuhnya situasi. Masyarakat ramai membahasnya, sebuah zat yang dipercaya mampu merangsang pembentukan kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh sendiri menjadi bagian yang wajib untuk terus dijaga, agar tubuh tidak mudah terpapar virus, yang mengganggu sistem hidup manusia belakangan ini. Tidak tanggung-tanggung Negara menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk mendatangkan vaksin ini. Meskipun pada akhirnya masyarakat kudu bayar juga. Paling tidak, harapan itu masih ada.
Semoga dengan ini, satu persatu persoalan mampu terselesaikan dengan baik. Kita tidak bisa menutup mata, benturan demi benturan seperti mengantri setiap harinya. Peristiwa yang terjadi terlalu menguras keringat dan air mata. Bagaimana tidak, di langit terdengar ledakan, laut menjadi saksi nyawa yang berguguran itu, daratan bersarang virus mematikan, bererapa bagian diserbu air ganas yang menghanyutkan segalanya, adapula yang terguncang hingga goyah dan rapuh, sementara gunung kian memanas. Tidak ada akibat tanpa sebab, boleh jadi segala peristiwa duka yang terjadi karena kita tidak piawai menjaga alam sekitar, kurang bersyukur, dan lupa berzikir. Semoga saja, vaksin berupa ikhtiar manusia menjaga imun sementara bencana adalah cara Tuhan menguatkan iman.
Harapan kita masih tetap sama. seperti Meita, baginya senyum semesta adalah mimpi yang terus ia tata. Teruslah kuat, kita telah banyak melalui hari dan menjalankan takdir dengan baik meski berat. Sudah semestinya kita diberi jeda untuk beristirahat, sebelum melanjutkan kembali perjalan sampai nanti dengan sebaik-baiknya. Terlepas dari ujian yang terus menghampiri, Meita mencoba bangkit sedikit demi sedikit. Seperti kala itu, saat langit tengah mendung. Meita melangkahkan kaki perlahan, bergegas ke teras rumah, tatapannya kosong sembari memerhatikan orang-orang di seberang jalan, semua tetap sibuk dengan urusan perut masing-masing. Mobil-mobil tetap lalu lalang seperti biasanya, warung kopi masih beroperasi selayaknya. Ia termangu, sadar bahwa hidup tidak akan terhenti meski dunianya runtuh sekalipun. Langkahnya tak lagi ragu-ragu, dengan penuh asa, ia menghapus air mata semesta.
Sumber gambar: https://www.pikiran-rakyat.com/internasional/pr-011132431/update-virus-corona-dunia-19-desember-2020-kasus-positif-indonesia-masuk-20-besar-tertinggi
Astiwi Ahmad, lahir di Bantaeng, 17 Oktober 1996. Aktif di lembaga Masyarakat, Karangtaruna Pangngadakkang Desa Biangloe, Kecamatan Pajukukang, Kabupaten Bantaeng. Guru Pendidikan Sosiologi/Pendidikan Sejarah di SMAN 4 Bantaeng. Peserta kelas menulis Rumah Baca Panrita Nurung.