“Lelaki bertabiat perempuan itu menari berputar-putar sambil menusukkan keris ke matanya, bak orang yang sedang kemasukan roh hingga terjatuh ke lantai. Dia seperti bertarung dengan diri sendiri, keringat mulai terlihat di wajahnya membuat sebagian make-up nya mulai memudar. Mereka terus menari mengikuti irama gendang yang semakin kencang diikuti dengan bunyi-bunyi alat musik tiup yang memekik telinga seperti suara seruling khas tari ular di India.”
***
Setiap penghujung tahun, masyarakat Segeri, Kab. Pangkep Sulawesi Selatan akan menggelar ritual upacara tanam padi. Mereka menyebutnya dengan istilah ritual mappalili. Memasuki penghujung tahun 2020, ritual mappalili kembali digelar. Klimaks dari ritual ini adalah disuguhkannya pertunjukan tari yang sangat berbeda dari pertunjukan tari yang biasanya kita lihat. Jika tari yang ditonton biasanya adalah wanita cantik yang menari-nari di atas panggung, dengan tubuh dan jari-jemari yang lentur dimana kaum adam biasanya akan duduk paling depan. Di kampung saya justru kita harus mengambil langkah panjang untuk menyaksikan pertunjukan tari tersebut.
Tari Maggiri dalam Bingkai Filosofi
Sebuah pertunjukan tari dengan adegan berbahaya yang dilakukan oleh waria bertalenta sakti yang disebut “Bissu”. Tari ini dinamakan tari mabbissu atau tari maggiri, salah satu tari tradisional yang ada di Sulawesi Selatan. Tarian yang dilakukan oleh Bissu akan membuat penonton tegang selama pertunjukan. Maggiri bermakna mengiris atau menusukkan benda tajam seperti keris ke bagian tubuh yang panjanganya sekitar 30 cm sampai 40 cm. Para Bissu akan menari berkeliling sambil menusuk-nusukkan benda tajam di bagian tubuhnya seperti, mata, telapak tangan, leher, dan perut.
Tarian ini sudah berusia ratusan tahun yang diperkirakan telah ada di zaman kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan di bawah pemerintahan raja Bone ke-1 yang memerintah sekitar 1326-1358 yang masih ada hingga sekarang. Pertunjukan tari maggiri memang tidak boleh dilakukan oleh sembarangan orang, karena tarian ini adalah tari yang sakral dan merupakan rangkaian upacara ritual yang banyak mengandung unsur magis. Tari maggiri juga adalah bagian dari komunikasi Bissu dan Dewata. Olehnya itu, tari ini bukan hanya sekadar memuaskan indera penglihatan atau sebagai sarana hiburan, tetapi ada makna tersirat di setiap gerakannya.
Seperti yang dikemukakan oleh Soedarsosno (1998:55) salah satu fungsi tari adalah sebagai sarana ekspresi untuk ritual. Supardjan dalam supriyatun (2014:11) juga menjelaskan bahwa fungsi tari selain sebagai hiburan yakni sebagai sarana upacara atau media persembahan dan pemujaan terhadap kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dengan tujuan untuk mendapatkan perlindungan demi mencapai keselematan. Sedangkan Tari maggiri menurut Bissu Eka, bukan hanya sebatas pertunjukan seperti tarian adat pada umunya, tetapi tarian itu untuk membuktikan bahwa:
“Kami adalah calabai (waria) Bissu Tungkena Lino, betul-betul mau berkorban kepada raja tercinta. Darah, nyawa sekalian tubuh ini untuk raja tercinta. Jadi kami bukanlah calabai seperti yang orang lain pikir di luar sana. Kami adalah Bissu Tungkena Lino yang bisa mempertahankan kerajaan tercinta ini.”
Tari maggiri bukanlah sekadar tarian yang mempertontokan kekebalan semata, tetapi setiap gerakan memiliki elemen dan makna. Ketika mereka menusuk-nusukan benda tajam ke dalam tubuhnya hal ini dimaknai sebagai kejujuran. Tidak ada dusta di antara kerajaan dan rakyat, Bissu juga rela mati dan berkorban demi raja dan istana. Kemudian tarian ini adalah bagian dari Tolak Bala agar tidak terjadi sesuatu berbahaya di dalam kerajaan. Berjalan mulusnya tarian ini dan tidak menimbulkan luka bagi para Bissu pertanda bahwa doa mereka diterima oleh Dewata atau Tuhan yang Maha Esa.
Ada beberapa tahapan yang dibagi atas enam sesi dalam tarian Bissu tersebut, yang pertama dimulai dengan bunyi gendang, suling tiup (pui-pui) dan iringan gong. Kedua, para Bissu mulai keluar beriring lalu berkeliling dengan formasi melingkar dan Puang Matowa (pimpinan Bissu) akan duduk di belakang Walasuji yakni sejenis pagar bambu dalam acara ritual yang berbentuk belah ketupat yang berisi sejumlah benda-benda pusaka. Ketiga, Irama musik kemudian diredupkan atau dipelankan dan penari Bissu berdiri berkeliling di Walasuji. Keempat, suara musik semakin kencang dan cepat, kemudian penari Bissu terus berkeliling yang disertai lantunan mantera oleh Puang Matowa.
Kelima, para Bissu yang menari akan melakukan atraksi penyiksaan tubuh dengan menancapkan keris di bagian leher atau bagian-bagian tubuh lainnya. Gerakan ini terus meningkat mengikuti irama tabuhan gendang, dan suasana semakin panas karena pertunjukan ini akan memperlihatkan kemampuan Bissu bahwa mereka manusia kebal. Bagian terakhir sebagai klimaks dari tarian ini adalah trance (kesurupan). Atraksi yang menegangkan seolah para Bissu terutama pimpinan penari (Puang Matowa) meronta bak kemasukan roh leluhur sambil menunjukkan kehebatannya dengan menancapkan keris sekeras-kerasnya secara bergantian dari mata, leher,tangan, hingga ke perut.
Ada yang berguling, menunduk dan terus berupaya menancapkan benda tajam tersebut ke dalam tubuhnya. Tarian ini sungguh membuat penonton melotot, merinding dan ketakutanmelihat atraksi penari yang mengiris diri hingga meringis. Sebagian dari penonton menjauh karena tak kuasa melihat pertunjukan tersebut. Bissu seakan bergerak sendiri seperti kemasukan roh dan tidak menyadari orang-orang yang ada di sekelilingnya. Mereka menari sambil menghentakkan kakiknya ke lantai. Musik pengiring pun makin meningkat iramanya detik demi detik, kemudian perlahan-lahan berhenti sebagai pertanda pergelaran tari klasik itu telah usai.
Tari Maggiri, di Ambang Kehilangan
Memasuki babak baru di 2021 rupanya memberikan duka mendalam bagi para Bissu. Mereka adalah bagian dari budaya, tradisi dan saksi sejarah peradaban suku Bugis yang masih ada. Di sisi lain, Bissu adalah kelompok minoritas yang jumlahnya sangat minim dan kini mereka harus kehilangan satu sosok. Wa’ Mata begitulah orang-orang memanggilnya, dia adalah Bissu yang paling tua di antara yang lain, umurnya mungkin sekitar 80 an. Wa’ Mata sempat ikut tari maggiri beberapa bulan terakhir sebelum akhirnya dia terbaring sakit.
Padahal di penghujung tahun 2020, saya sempatmengunjungi Wa’ Mata, yang sedang terbaring lemah di rumahnya. Seminggu kemudian 6 Januari 2021 dia telah menghembuskan nafas terakhirnya,rupanya Wa’ Mata dipanggil lebih dulu ke pangkuan Dewata. Hal ini tentu akan berpengaruh terhadap masa depan tari maggiri. Kehilangan satu personil tentu akan berdampak besar terhadap peran mereka di masyarakat. Di samping itu, Bissu bukanlah lahir dari generasi atau garis keturunan.Selain Bissu adalah bagian dari waria mereka juga harus menerimapanggilan khusus dari Dewata.
Olehnya itu,mencari pengganti Bissu tidaklah mudah, mereka adalah orang-orang pilihan dan melakukan tari maggiri harus dengan talenta yang khusus, bukan hanya sekedar mengayunkan badan ke kiri dan ke kanan. Jika tarian dimulai, penari tidak akan sadar dengan kehadiran pengunjung atau penonton di sekitar mereka dan Bissu tidak dapat dihentikan oleh siapapun, kecuali Bissu itu sendiri. Meskipun segelintir orang menganggap bahwa tari maggiri hanyalah sebuah pertunujukan palsu untuk mendapatkan uang dari penonton, tetapi para Bissu menepis anggapan ini.
Bissu mengakui bahwa melakukan tarian tersebut sangatlah berat apalagi nyawa taruhannya, bahkan menguras tenaga karena dilakukan sampai hitungan jam. Uang dari hasil pertunjukantentu tidak akan sebanding dengan rasa lelah hingga luka-luka yang mereka rasakan ketika tertusuk keris. Pengiring musik pun harus yang profesional karena apabila salah dalam memainkan alat musik bisa menyebabakan penari terluka. Kehilangan satu sosok Bissu tentu akan membuat tari maggri di ambang kehilangan bahkan Bissu sebagai warisan budaya juga bisa punah terkikis ruang dan waktu.
Sampai hari ini, kita tidak pernah tahu sejauh mana warisan budaya kita akan tetap ada. Seperti kata Bung Hatta “Kebudayaan tidak dapat dipertahankan saja, kita harus berusaha merubah dan memajukan, oleh karena kebudayaan sebagai kultur, sebagai barang yang tumbuh, dapat hilang dan bisa maju”. Tari maggiri bukan hanya sekedar pertunjukan seni tapi sebuah perjuangan dan pengorbanan yang menjadi jejak sejarah peradaban suku Bugis. “Menari adalah seni danjati diri, yang harus diapresiasi agar tetap lestari”.
Sumber foto: tempo.co
Dosen UIN Alauddin Makassar. Hobi menyanyi, jalan-jalan, memasak, menulis di waktu yang kepepet.