”Dasar Bugis e”. Dengan nada mengejek begitu caranya teman sepermainan membuli. Dengan logat khas anak NTT tentunya. Bugis tiba-tiba jadi sasaran, yang waktu itu belum saya mengerti dengan baik, apa itu yang namanya kekerasan berbasis suku.
Di waktu kecil di lingkungan rumah, hanya ada dua keluarga berlatar belakang suku Bugis. Salah satunya adalah Iwan, seorang anak beranjak remaja yang saat itu sudah duduk di bangku SMP, dan tentu juga saya yang masih berseragam merah putih.
Latar belakang Iwan berasal dari keluarga pedagang, yang rumahnya lumayan jauh kalau menempuh dengan berjalan kaki. Di kios miliknya, saya sering lebih banyak tergiur dengan deretan toples berisi aneka permen dan cokelat, yang dengan melihatnya membuat saya sadar, demi membeli cokelat-cokelat itu membuat saya terdorong menjadi pencuri dengan membuka dompet Bapak secara sembunyi-sembunyi. Di kios milik Iwan jugalah di musim tertentu menjual banyak layang-layang. Iwan adalah orang pertama yang memiliki sepeda di lingkungan itu .
Di Kupang, sebagian besar orang Bugis banyak bergerak di bidang ekonomi menjadi pedagang-pedagang di pasar, atau membuka toko kelontong seperti keluarga Iwan. Sementara sebagiannya, seperti dilakukan Bapak, bekerja sebagai abdi negara, yang karena itu sewaktu muda membuatnya merantau sampai ke Nusa Tenggara Timur.
Sama-sama sebagai warga pendatang, tidak otomatis membuat Iwan mendapatkan perlakuan rasis seperti saya. Setidaknya umurnya membuatnya jauh lebih aman dibandingkan saya yang jauh lebih muda.
Nasib sebagai pendatang, dan usia yang masih bau kencur menjadikan saya jauh lebih mudah untuk dibuli. ”Bugis e!”
Pasca konflik SARA 98, saya mulai mengerti agama seseorang bisa menjadi masalah cukup serius. Di saat itu saya juga mulai mendengar beberapa orang suka mempermasalahkan keberadaan etnis Cina di Tanah Air.
Di saluran televisi kadang tidak sengaja saya menangkap informasi menyangkut perang saudara di Bosnia, yang saat itu mengundang rasa heran, mengapa ketika banyak negara di dunia sudah merdeka mereka justru beramai-ramai masih suka mengangkat senjata.
Pendudukan Paletina oleh Israel, konflik berkepanjangan antara Irlandia Utara dan Inggris, Pakistan India, masyarakat muslim Rohingya di Myanmar, dan jangan lupakan kerusuhan berbasis etnis dan agama di Indonesia, adalah sederet fenomena yang sampai sekarang menjadi masalah tersendiri bagi umat manusia.
Fenomena-fenomena ini, entah karena didorong permusuhan atau usaha membela diri, secara gradual membentuk suatu tatanan segregatif dan hirarkis, membelah masyarakat menjadi faksi-faksi, kelompok-kelompok kepentingan, perkampungan, dan kelas-kelas masyarakat ke dalam satuan-satuan fragmentaris satu sama lain hanya karena satu soal: identitas.
Ibarat lahar panas, yang akan meledak ke permukaan, identitas adalah katalisator paling berbahaya, bukan karena sifatnya yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi pertalian asal usul, keterikatan, dan perkumpulan, melainkan sifat primordialnya yang mampu membuat orang bertindak di luar dari kebiasaan alamiahnya.
Identitas adalah kata yang tampak paling jelas tapi menjadi yang paling khianat, ungkap Amin Maalouf dalam bukunya In The Name of Identity (Atas Nama Identitas) terbitan Resist Book penerjemah Ronny Agustinus.
”Semua mengira kita paham apa makna kata itu dan terus mempercayainya, bahkan dengan culasnya ia mulai berucap yang sebaliknya,” demikian Maalouf membuka uraiannya (h.9).
Ya, apa yang dikatakan Maalouf dalam permulaan bukunya itu patut direnungkan. Sampai sekarang umat manusia masih terbelah secara paksa oleh entah yang dilahirkan melalui kekerasan, atau kekejaman dalam bentuk lain, yang semuanya berdalih mengetahui dengan baik apa itu identitas.
Banyak orang menganggap identitas adalah sesuatu yang ia bawa semenjak lahir, dan karena itu ia mengenalinya tanpa distorsi sedikit pun sama seperti saat ia mengenal dengan baik siapa orangtuanya dari masa anak-anak.
Sebagian dari mereka juga beranggapan identitas adalah penanda tunggal dan tidak akan sama sekali berubah meski seseorang melambari dirinya dengan beragam pengalaman.
Identitas karena sifatnya yang demikian sama seperti kepercayaan agama, tidak dapat berubah apalagi digugat. Ia tunggal dan secara defenitif adalah suatu penanda ajeg dan baku.
Amin Maalouf menyatakan pandangan seperti ini adalah pandangan kemanusiaan yang berbahaya. Menurut Maalouf, keyakinan yang menganggap identitas semacam substansi tunggal seolah-olah mengyakini adanya sejenis ”kebenaran fundamental”, berupa hakikat yang ditakdirkan fix tidak akan berubah meski pengalaman seseorang datang silih berganti (h.2).
Maalouf mengangkat fenomena zaman berkaitan dengan adanya desakan untuk ”menonjolkan identitas”, yang mendorong seseorang mencari pertalian-pertalian fundamental entah religius, nasional, rasial, atau etnis, dan kemudian membanggakannya di depan publik. Fenomena semacam ini menurut Maalouf berisiko memarginalisasi keberagaman identitas dan dengan sendirinya akan melahirkan sentimen-sentimen identitas.
Sejarah dunia adalah pelajaran tanpa guru yang sangat baik dan bisa dipelajari dalam masa yang panjang, bagaimana seorang Adolf Hitler pernah kesetanan karena keyakinannya terhadap ras Arya.
Di masa lalu, hanya Hitler satu-satunya manusia yang berambisi membangun negara dengan berdasarkan ras manusia. Ras Arya, dinyatakan Hitler sebagai golongan manusia unggul, yang dengan itu berhak memimpin dan membumihanguskan umat manusia lainnya.
Di negara-negara pecahan Uni Soviet, seperti dicontohkan Maalouf, orang bisa saling bertikai berdarah-darah hanya karena perbedaan apakah ia seorang Serbia atau Bosnia. Di Afrika meski sama-sama berkulit hitam, konflik bisa pecah antara suku Tutsi dan Hutu.
Di Turki, meski orang-orang Kurdi juga berkeyakinan muslim, bisa menimbulkan konflik wilayah dengan penduduk Turki.
Nampaknya, bukan saja Hitler di masa lalu, peristiwa yang mengabsolutkan identitas terjadi juga di banyak tempat di dunia ini.
Identitas sejatinya bukan substansi tunggal, apalagi bisa dibagi-bagi berdasarkan sisi-sisi keturunan, agama, tradisi, dan etnis.
Maalouf memberikan contoh dari dirinya sendiri yang lahir dan besar di Lebanon, dan hidup sejak muda di Prancis.”Saya jelaskan bahwa saya lahir di Lebanon dan tinggal di sana sampai berumur 27 tahun; bahwa Arab bahasa-ibu saya; bahwa dalam terjemahan bahasa Arablah saya pertama kali membaca Dumas dan Dickens serta Gulliver’s Travel; bahwa di daerah asal sayalah, desa para leluhur, saya mengalami nikmatnya masa kecil dan mendengar dongeng-dongengan yang nantinya mengilhami novel-novel saya. Bagaimana mungkin saya melupakan semua itu” (h.2).
Masih dalam paragraf yang sama: ”Di sisi lain, saya sudah tinggal di tanah Prancis selama 22 tahun. Saya tenggak air dan anggurnya, tiap hari tangan saya menjamah bebatuan kunonya, saya tulis buku-buku dalam bahasanya—tak akan lagi Prancis menjadi negeri asing bagi saya”(h.3).
”Jadi apakah saya ini separuh Prancis dan separuh Lebanon. Tentu saja tidak. Identitas tidak bisa disekat-sekat” (h.3).
Identitas, nyatanya adalah suatu kombinasi kompleks yang berkelindan sedemikian rupa melalui beragam sejarah, tradisi, dan pengalaman. Seseorang tidak bisa menyebut dirinya seorang Bugis, atau seorang Jawa, atau menyebut diri paling pribumi, tanpa memperhatikan pertalian kompleks dirinya berdasarkan asal usul keturunan, tradisi, bahasa, profesi, pendidikan, afiliasi kepercayaan, dan lain sebagainya yang membentuk dunia pengalamannya.
”Identitas tidaklah terberi sekali untuk selamanya: ia dibangun dan berubah sepanjang kurun hayat seseorang”, kata Maalouf (h.23).
Meski demikian, menurutnya jenis kelamin, warna kulit dan ciri-ciri fisik lainnya adalah ciri-ciri bawaan yang tidak bisa ditolak dari diri seseorang. Tapi, apakah itu akan dengan sendirinya menentukan dengan signifikan identitas seseorang? Justru tidak sejauh darimana pengertian itu didudukkan.
Dengan kata lain, warna kulit seseorang, akan berbeda artinya jika ia terlahir di keluarga di Afrika atau di Amerika. Akan sangat berbeda pula identitas seseorang Tionghoa ketika tumbuh besar di bawah rezim Orde Baru, atau ketika ia berada di Singapura.
Lebih jauh, melalui buku ini, Maalouf secara problematik mengangkat globalisasi (dan modernisasi) sebagai salah satu pemicu mengapa identitas menjadi ibarat besi panas. Maalouf berpendapat globalisasi yang meniscayakan terjadinya peleburan batas-batas kultural geografis, menyebabkan saling silang pertukaran pengetahuan antara bangsa-bangsa yang secara langsung berpengaruh kepada semakin menipisnya perbedaan.
Ada dua hal dari globalisasi yang sulit dipisahkan karena masing-masing bekerja secara bersamaan, yakni universalitas dan uniformitas, yang keduanya dapat menghilangkan identitas lokal suatu komunitas. Dua hal ini tidak saja mengancam tradisi, adat, dan kebiasaan lokal, tapi juga membangun hegemoni kebudayaan, terutama Barat bagi masyarakat Timur.
Globalisasi mengancam atau lebih tepat menghilangkan sekat-sekat ikatan lama yang mulai kehilangan pengaruh. Agama, atau bahkan etnis seseorang merupakan identitas tua yang mengalami ancaman global sehingga memunculkan kekhawatiran sampai ke tingkat eksistensial.
Cairnya pertukaran informasi, kebudayaan, dan paham dunia lainnya, membuat pertalian-pertalian tua khawatir dengan perubahan yang serba cepat dan menghadirkan yang oleh Maalouf disebut sebagai para pembunuh sama seperti yang disaksikan dalam konflik-konflik berbasis SARA.
”Dan para pembunuh ini akan melaksanakan kekejian yang paling mengerikan berdasarkan kepercayaan bahwa mereka berhak melakukannya dan layak mendapatkan kekaguman rekan-rekan mereka di dunia ini serta rahmat di dunia setelahnya” (h.29).
Apakah itu terdengar familiar?
Sang macan, begitu metafora Maalouf terhadap globalisasi, perlu untuk dijinakkan jika tidak dengan sendirinya menyerang secara membabi buta. Analogi yang mirip dengan Juggernaut a la Jurrgen Habermass ini, disinyalemenkan sebagai pertaruhan tersendiri bagi manusia masa kini dalam mendefenisikan diri dan komunitasnya.
Itu artinya, setiap pengalaman global dalam aras waktu dan ruang adalah anasir-anasir penting yang menentukan identitas seseorang, yang mesti ia dialogkan dalam-dalam melalui refleksi panjang dan terus menerus. Ia kata Maalouf perlu ”ditelaah, dipelajari dengan tenang, dipahami lantas ditundukkan dan dijinakkan bila kita tidak ingin dunia berubah jadi hutan rimba” (h.144).
Di Indonesia—dan juga di kawasan lain, identitas menjadi term yang sulit didudukkan dengan baik di tengah keberbagaian etnis, suku, bahasa, dan keyakinaan. Seringkali identitas menjadi faktor utama pemicu permusuhan meski banyak latar belakang kesamaan yang lebih dahulu bisa dikemukakan dari pada perbedaan itu sendiri.
Di kancah politik elektoral, misalnya, identitas menjadi komoditas untuk mendulang dukungan dan keberpihakan sektarian. Karena dorongan politik, identitas menjadi gerakan populis yang digerakkan segerombolan intoleran yang bercorak obskurantis.
Tidak sedikit juga, dalam konteks kehidupan sosial, determinasi politik identitas memperkeruh keberagaman dan keanekaan masyarakat.
Melalui pertimbangan semua di atas, In The Name of Identity merupakan buku yang bakal dibutuhkan dan masih relevan bagi keadaan masa kini, yang disesaki pandangan kemanusiaan sempit dan sektarian hanya karena satu soal yang siapa pun sulit mengetahuinya dengan baik: identitas.
Identitas buku:
Judul: In The Name of Identity (Atas Nama Identitas)
Penulis: Amin Maalouf
Penerbit: Resist Book
Penerjemah: Ronny Agustinus
Terbitan: 2004
Halaman: 180
Dimensi: 14 x 20 Cm
Bahasa: Indonesia
ISBN: 9793723025
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).