Naar de Tokyo : van Soerabaja tot Djakarta

Senja itu menyapa Surabaya, kapal perlahan-lahan bersandar di dermaga Pelabuhan Tanjung Perak. Dari buritan kapal kulihat Tuan Radjamin Nasution, saya seketika teringat pesan Tuan Yamasaki, bahwa untuk bertemu walikota Surabaya, saya hendaknya berjumpa dengan Tuan Radjamin Nasution.

Burung camar di atas sana terbang ke sana ke mari, seolah turut menyambut kedatanganku, lelaki berwajah teduh itu, membungkukkan badan, memberi takzim lalu kemudian menjabat tanganku, jemari hangat dan senyumnya memberikan sedikit kedamaian di tengah kemelut perang dunia

Tuan Radjamin Nasution adalah Wakil Walikota Surabaya, ia mendampingi Tuan Takashi dalam mengelola wilayah pendudukan di Surabaya. Dahulu, jabatan seorang walikota hanya dikuasakan kepada orang Belanda totok, tapi ketika Jepang menguasai Tanah Hindia, kami memberikan kepercayaan kepada pribumi untuk menduduki pos-pos penting, hal ini tak lebih dan tak bukan sebagai upaya propoganda guna menarik simpati masyarakat dalam mendukung upaya Palagan Asia Timur Pasifik Raya.

Di sepanjang perjalanan, Tuan Radjamin Nasution berbagi kisah, bagaimana kala Jepang berhasil melibas Belanda hanya dalam tempo tiga bulan. Belanda yang selama ini dianggap bangsa superior mampu takluk di hadapan bangsa Asia. Lebih lanjut, Tuan Radjamin Nasution mengisahkan bahwa di satu masa ia mendengar seorang Belanda menghadrik masyarakat pribumi dengan pernyataan bahwa Bangsa Belanda, Bangsa Eropa, diciptakan Tuhan untuk menundukkan Bangsa Asia.

Tuan Radjamin Nasution kemudian meminta supir mobil tuk berhenti, menepi di salah satu sudut kota, lalu sejenak meminta perkenaanku tuk mengikutinya, rupanya ia membawaku ke alun-alun kota. Di sana Tuan Radjamin Nasution melanjutkan ceritanya, bahwa apa yang telah dilalui oleh bangsanya telah lama diramalkan Jayabaya, salah seorang raja Kediri. Bahwasanya pada satu masa Tanah Jawa akan diperintah oleh bangsa berkulit pucat, dan kemudian akan digantikan oleh bangsa berkulit kuning dari utara. Kami berdua kemudian larut dalam diam, sejenak memandangi alun-alun kota, dan melanjutkan perjalanan bertemu Tuan Takashi.

***

Kekalahan Belanda ditandai dengan Kapitulasi Kalijati pada 9 Maret 1942, penyerahan Hindia-Belanda kepada Jepang diteken oleh Letnan Jenderal Hein ter Poorten, Panglima Tertinggi Tentara Hindia-Belanda. Kehadirannya mewakili Gubernur Jenderal Hindia-Belanda van Starkenborgh. Setelah penandatanganan tersebut seluruh perwira tinggi dan pentoan Hindia-Belanda dijadikan tawanan perang.

Sesungguhnya, tidak semua pentolan Hindia-Belanda berhasil dijadikan tawanan perang, beberapa dari mereka melakukan tindakan pengecut dengan lari ke Australia, salah satunya van Mook, wakil dari sang Gubernur Jenderal van Starkenborgh. Yah, kami memaklumi tindakan pengecut itu, karena itu adalah bagian dari strategi Belanda guna mendirikan pemerintahan Hindia Belanda dalam pengasingan.

Praktis, kekalahan Belanda atas Jepang sebenarnya membuka mata bangsa Indonesia sendiri, bahwa masyarakat Asia mampu menyaingi masyarakat Eropa dan Amerika, hal ini juga sedikit banyak membuat bangsa Indonesia menyambut kedatangan kami dengan terbuka, apatah lagi propoganda sebagai  Saudara Tua yang datang membebaskan Saudara Muda-nya, yakni Indonesia, dan mendirikan keluarga utuh Hakko Ichiu—Delapan Penjuru Dunia di Bawah Satu Atap.

Berbagai propoganda dan upaya dilakukan pemerintahan pendudukan militer guna menarik simpati pribumi, mulai memberikan kesempatan pada mereka mengisi pos-pos penting nan strategis, melatih para pemuda dalam organisasi militer dan semi-militer, menghilangkan segala berbau Barat seperti perubahan nama kota yang menggunakan Bahasa Belanda seperti Meester Cornelis menjadi Jatinegara, Buitinzorg menjadi Bogor, Fort de Kock menjadi Bukittinggi, Batavia menjadi Jakarta. Terakhir kami memberikan kesempatan kepada mereka untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya setelah mengumandangkan Kimigayo dan mempersilakan masyarakat mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Jepang, Hinomaru.

***

Melalui Tuan Radjiman Nasution, saya berhasil bersua dengan Tuan Takashi. Di ruang kerjanya, saya melaporkan kondisi terakhir di wilayah pendudukan militer di timur Indonesia, yakni Kaigun Armada Selatan ke-2 yang berpusat di Makassar. Saya menyampaikan bahwasanya  suatu kemustahilan Sekutu akan menyerang kawasan Timur, mereka akan memilih mengambil alih Filipina dan dari sana menyusun rencana taktis dan strategis guna merangsek ke Tokyo.

Tuan Takashi nampak memijit-mijit kepalanya sembari memerhatikan satu bundel laporan yang kuhimpun selama dinas intelejen di Makassar. Ia kemudian mengemukakan bahwa ada laporanku yang luput, bahwa akan sulit Sekutu membebaskan Filipina jika tidak menguasai salah satu wilayah di Timur guna dijadikan basis atau batu loncatan menuju Manila, Filipina. Tuan Takashi juga mengemukakan kekhawatirannya tentang kekuatan Jepang yang mulai mengalami kemunduran, cepat atau lambat Jepang akan kalah.

Namun, saya memiliki pandangan lain, saya menyampaikan kepada Tuan Takashi bahwa hal demikian itu mustahil, menurut analisaku atas laporan intelejen yang telah kuhimpun, kemungkinan Sekutu menyerang wilayah pendudukan di Timur begitu kecil, mereka akan memilih melompati Indonesia dan langsung merebut wilayah koloninya, Filipina dan merangsek masuk menuju Tokyo. Itu adalah pilihan logis, karena Kekaisaran Jepang ibarat gurita yang tentakelnya menyebar dari dataran Tiongkok, Asia Tenggara, hingga Tanah Hindia. Wilayah pendudukan Jepang ibarat tentakel dengan Tokyo sebagai kepala guritanya, maka oleh sebab itu, Sekutu tidak akan memotong tentakelnya, namun lebih memilih menyerang kepalanya, yakni Tokyo.

***

Setelah berbincang dengan Tuan Takashi, saya kemudian melanjutkan perjalanan menuju Jakarta. Kali pertama ke Jakarta saat tahun 1940, wilayah itu masih bernama Batavia, kunjunganku ke Batavia sebagai delegasi dalam misi diplomasi ekonomi yang dipimpin Tuan Ichizo Kobayashi, menteri era Kabinet Konoe, tujuan kami ke sana untuk meminta kesediaan Hindia-Belanda menjual minyak kepada Jepang dan mengurungkan niatan mengadakan blokade ekonomi atas negeri kami.

Misi itu gagal, van Starkenborgh sang Gubernur Jenderal menolak proposal yang kami ajukan dan kukuh pada pendirian untuk tidak menjual segala bentuk sumber daya alam ke negeri kami. Tentunya kami pulang dengan tangan hampa, akan tetapi, atasan kami kukuh untuk mencari cara agar Hindia-Belanda mau menjual sumber daya alam kepada kami, maka dikirimlah Tuan Kenikichi Yoshizawa, mantan menteri luar negeri guna berunding dengan van Starkenborgh. Sekali lagi upaya itu gagal.

Kegagalan itu kemudian membuka satu opsi dari pemerintahan Jepang, yakni menyerang Hindia-Belanda, lantas saya dan beberapa kawan-kawanku ddiwajibkan mengikuti sekolah intelejen yang bernama Nakano Gakko. Setelah lulus, kami ditugasi ke Hindia-Belanda untuk misi spionase, salah satunya memotret medan dan topologi Hindia-Belanda, guna memudahkan kami menyusun rencana menyerang titik lemah Tanah Hindia di Garis Katulistiwa.

***

Selama perjalanan darat dari Surabaya menuju Jakarta, pikiranku hanya tertuju pada kemelut palagan Asia Pasifik Timur Raya, pada awal perang kami menunjukkan kemajuan yang luar biasa, mampu menguasai Manchuria di Utara, Korea di Barat, hingga Tanah Hindia atau Indonesia di Selatan.

Namun kini Jepang mulai terjepit, apatahlagi kabar bahwa posisi sekutu kami di Eropa yakni Jerman Nazi dan Fasisme Italia semakin terdesak. Hanya menunggu waktu kami akan hengkang di negeri ini, Indonesia. Saya hanya menghela nafas memikirkan semua itu, sejenak kemudian pandanganku mengarah ke luar jendela—kereta api yang kutumpangi—di sana kulihat hamparan sawah yang hijau dan nyiur melambai-lambai…..

Visited 3 times, 1 visit(s) today
Ilyas Ibrahim Husain

Ilyas Ibrahim Husain adalah nama pena dari Adil Akbar. Alumni S1 dan S2 Pendidikan Sejarah UNM. Pernah menjadi guru di SMAN 1 GOWA dan SMAN 3 MAKASSAR. Pun mengajar di SMAN 2 MAKASSAR dan SMKN 10 MAKASSAR

+ There are no comments

Add yours