Menjadi KAHMI itu, Sesuatu Bingits

Pagi masih buta. Pada pertengkaran antara subuh dan pagi, usai tunaikan Subuh, di areal halaman Masjid Agung Syekh Abdul Gani Bantaeng, saya bersua Ahmad Fihrun. Rupanya, ia datang untuk segera membenahi persiapan acara menanam pohon di halaman masjid. Fihrun, tiada lain adalah Ketua Panitia Musda Korps Alumni Himpunan Mahasiswa Islam (KAHMI) Bantaeng ke-2.  

Acara menanam pohon ini, merupakan salah satu rangkaian acara menyambut musyawarah daerah. Sebelumnya, telah ada kegiatan seri diskusi dengan tiga sesi dan donor darah. Sesi pertama diskusi, bertema, “Kesejahteraan Masyarakat dan Desa Mandiri”. Kedua, mengajukan topik, “Pengembangan SDM dan Pembangunan Perguruan Tinggi di Bantaeng”. Ketiga, “Meretas Peran KAHMI Melalui Kolaborasi-Kontribusi dalam Pembangunan Berkelanjutan untuk Kejayaan Daerah”.

Pada persuaan di halaman masjid, saya bercakap-cakap dengan beberapa orang anggota KAHMI. Lalu, Fihrun menyela, pamit sejenak untuk ambil baju yang disiapkan oleh panitia. Saya pun diberikan berdasarkan ukuran besar badan saya. Setelahnya, saya pisah, pulang ke rumah yang jaraknya dari masjid, hanya sepelemparan batu.

Sekira pukul 08.00, saya menyata kembali di halaman masjid, beberapa menit kemudian acara menanam pohon dimulai. Selain dihadiri anggota KAHMI dan HMI, sederet tokoh agama, dan ormas. Sekda Bantaeng, Abdul Wahab,  juga hadir. Wakil Bupati Bantaeng yang juga anggota KAHMI, membuka acara. Sambutan Ketua Umum KAHMI Bantaeng, Nurdin Halim, mencairkan suasana, sekaligus menegaskan rangkaian kegiatan pra hingga Musda.

Masih ingat esai saya? Berjudul, “Dari 47 ke 74”, dimuat pada Kalaliterasi.com, 4 Februari 2021. Bila lupa, saya kutipkan paragraf yang tertulis pada pucuk tulisan, “Menjadi KAHMI itu sesuatu bingits. Manakala masih ingin dilirik oleh adik-adiknya di HMI, baik MPO maupun DIPO, milkilah tiga keadaan. Pertama, berkemampuanlah untuk bayar royalti ke HMI, sebab adik-adik akan mengajukan sejumlah permintaan dana. Kedua, berpengetahuanlah secara formal maupun nonformal. Hanya dengan begitu, adik-adik akan datang meminta untuk mengisi forum-forum pengetahuan mereka. Ketiga, bila tidak memilki yang pertama dan kedua, cukup sering silaturahmi kepada mereka. Insyallah akan tetap dapat tempat di hati adik-adik. Sebab, kita semua berangkat dari HMI tahun 1947, dan sudah tiba di usia ke-74.”

Kata bingits, saya maksudkan sebagai sesuatu yang amat-sangat. Sebenarnya, istilah bingits, sering muncul pada perbincangan di kalangan anak-anak milenial. Saya mencomotnya, lalu sepadankan dengan kata, “banget”, bermakna sangat. Dengan begitu, menjadi KAHMI yang sesutu bingits, mengedepankan aspek kemenarikan ketika menjadi anggota KAHMI.

Bingits pertama, amat terang maksudnya. Bagaimana seorang anggota KAHMI mesti bayar royalti ke HMI. Pembayaran royalti ini, sudah berlangsung secara alamaiah. Tatkala adik-adik dari HMI menyodorkan sejumlah proposal kegiatan, disertai permintaan dana. Jumlah yang dibayarkan bergantung pada posisi kesuksesan secara ekonomi dan kekuasaan sang alumni. Biasanya, makin sukses nan berkuasa, makin banyak pula yang dibayarkan.

Saya sengaja memakai istilah royalti, agar lebih profan. Tidak mencatut perintah agama yang berkamuflase pada zakat, infak, dan sedekah. Sebab, perintah agama, terlalu normatif sifatnya dan cukup mudah untuk diabaikan. Bila prinsip bayar royalti, lebih mengikat, sepanjang sang alumni, menyadari bahwa kesuksesannya secara ekonomi dan berkuasa, HMI berkontribusi, khususnya memberi bekal kecakapan hidup. Cara pandang ini, mungkin saja bisa dicap terlalu transaksional. Namun, lebih elok lagi, jikalau bayar royalti, tak lupa menunaikan  zakat, infak, dan sedekah buat HMI. Laku profan dan sakral bersetubuh.

Bingits kedua, prinsipnya sama saja. Bedanya, hanya pada objek, yakni pengetahuan. Biasanya berlaku pada alumni yang punya gelar akademik seabrek dan setinggi mungkin, karena ada otoritas akademik. Boleh pula tanpa simbol akademik, tapi dianggap punya pengetahuan mumpuni, tentang sesuatu yang dikuasainya. Mengapa begitu? Sebab, seluruh jenjang dan jenis perkaderan di HMI, esensinya adalah forum pengetahuan. Nah, lebih indah lagi, tatkala bingits pertama dan kedua, berpadu pada seorang alumni. Layak dieksploitasi, mengisi kantong dan kepala anak-anak HMI.

Lalu, bagaimana bingits ketiga? Tak punya kuasa ekonomi-jabatan dan pengetahuan? Tidak kaya, bukan penguasa, dan tak punya gelar akademik, serta dianggap kurang ahli? Salah satu kiat agar bisa eksis di mata adik-adik HMI, rajin silaturrahmi, setiap ada acara yang digelar oleh HMI dan KAHMI. Sebab, tampaknya di adik-adik HMI kurang bersentuhan dengan alumni katagori bingits ketiga ini. Padahal, inilah yang paling banyak. Jika semuanya dikumpul, lalu diperbandingkan dengan alumni bingits pertama dan kedua, maka anggota KAHMI bingits ketiga, akan lebih unggul dalam segala hal. Paling tidak dari segi jumlah.

Nah, bingits ketiga ini yang semestinya dikelola dengan baik oleh HMI maupun KAHMI. Harus dikonsolidasi. Jangan nama mereka hanya ada di dalam daftar keanggotaan KAHMI, tapi tidak berdaya, cuman diperdayai. Keberadaannya dibutuhkan hanya ketika ada hajatan tertentu, semisal perhelatan perebutan kekuasaan politik. Jika mereka diabaikan dan mereka juga merasa tidak dapat manfaat ber-KAHMI, selain mendaur ulang kenangan semasa ber-HMI, percayalah, silaturahmi tidak berlangsung. Berarti, reski berkurang, umur pun tak panjang.

KAHMI Bantaeng yang menggelar Musda ke-2, masih seumur jagung. HMI Cabang Bantaeng yang hadir meramaikan, pun masih cabang persiapan, masih seumur kangkung. Saya pun hadir sebagai penyaksi, baik di Musda ke-1 lima tahun lalu, maupun ke-2 ini. Saya melihat, peserta yang menyata, masih dominan KAHMI bingits pertama dan kedua, tentu kekuasaan dan keberpengetahuannya pada level kabupaten. Saya hanya bisa membatin, sekaligus mau memikirkan, bagaimana KAHMI bingits ketiga ini, bukan hanya menyata tatkala hajatan atau sekadar terdaftar, tetapi ikut berdaya dan memberdayakan KAHMI.

Musda KAHMI Bantaeng ke-2, berlangsung 7 Februari 2021, di Balai Kartini Bantaeng. Bupati Bantaeng Ilham Syah Azikin, membuka acara. Salah satu putusan penting dari Musda KAHMI Bantaeng ke-2, berubahnya model kepengurusan. Dari sistem presidensial ke presidium. Perubahan ini dilatari oleh sejumlah pertimbangan, waima sebelum pilihan ini ditetapkan, terjadi adu argumentasi dari peserta. Terpilihlah Presidium KAHMI Bantaeng, Misbahuddin Amir, dr. Hikmawati, Nurfajri, Sabaruddin, dan Nurdin Halim. Kelima anggota presidium itu, akan bergilir menjadi kordinator setiap tahun. Dan, berharap dengan komposisi kepengurusan, dapat menggalang KAHMI bingits ketiga.

Sungguh, baju yang diberikan itu oleh ketua panitia, Ahmad Fihrun, amat membanggakan saya. Berhari-hari saya kenakan, berkeliling Kota Bantaeng. Tak lupa berpose di ruang baca Bank Buku Boetta Ilmoe, memakai baju itu. Arkian, saya pun menjadikannya sebagai foto profil di facebook. Ratusan emoticon ditujukan pada foto itu. Jujur, saya beriklan, mengiklankan KAHMI Bantaeng yang lagi moncer, waima baru seumur jagung.  Dan, saya beserta beberapa alumni lainnya, dengan baju itu, menjadi bintang-bintang iklannya.

Gambar: Ahmad Ismail

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *