Pergulatan Tukang Parkir

Beberapa waktu lalu, saya memiliki sebuah pengalaman unik. Kala itu, setelah melakukan aktivitas di kampus, saya memutuskan untuk tetirah di sebuah warung kopi di sekitaran kampus Unhas. Hitung-hitung beristirahat sejenak, membaca buku sembari menyeruput secangkir kopi.

Buku yang menjadi penganan ringan untuk menemani secangkir kopi itu berjudul Indonesia For Sale. Karangan Dandhy Dwi Laksono, seorang wartawan cum aktivis lingkungan yang hampir setiap cuitan Twitternya di retweet oleh banyak orang. Perkenalan saya pertama kali dengan Dandhy Dwi Laksono, melalui film dokumenternya di Youtube. Sejak pertama kali diunggah, hingga kini, film tersebut telah ditonton sebanyak tiga puluh lima ribu kali lebih. Film itu diberi tajuk Sexy Killer.

Awalnya, saya berasumsi film tersebut bergenre thriller. Sebab, menggunakan diksi Killer, berarti pembunuh. Akan tetapi, asumsi saya itu sudah patah sejak sepuluh menit awal film tersebut berputar. Film yang berdurasi selama satu jam, dua puluh delapan menit, lima puluh lima detik, menampilkan kebobrokan yang terselubung dari pemerintah.

Film itu menelanjangi buruknya pemerintah dan pihak swasta dalam mengelola tambang batu bara di tanah Borneo. Mulai dari lubang bekas tambang yang tak kunjung direklamasi hingga menelan korban sampai garis dan sanad keturunan pebisnis raksasa di Nusantara, tak luput diwedarkan secara apik. Film yang sangat menggugah, menurut saya. Apatah lagi, rekaman watchdog itu dirilis jelang pemilu presiden tahun 2019 lalu.

Setelah meluncurkan film dokumenter yang menjadi santapan publik, di tahun yang sama, Dandy Dwi Laksono hadir kembali di tengah-tengah publik, dengan karya yang lain. Karya itu adalah buku yang saya baca di malam gulita pada sebuah warung kopi: Indonesia For Sale.

Buku tersebut mencoba mendedahkan wacana neoliberalisme yang dianut oleh Indonesia dengan cara yang sederhana, dan sedikit jenaka. Niscaya, jika anda membaca buku itu, membuat anda senyum-senyum (kecut) sendiri. Sebab, buku itu diramu dengan percakapan penulis dengan tokoh imajiner yang ditampilkan: Samin, Dul dan Pak Bejo.

Dari beberapa esai yang ditikkan oleh penulis, saya cukup tergugah dengan tulisan yang berjudul Priit, dan Priit…(lagi). Dari judulnya saja, anda sudah menebak apa yang dijadikan sebagai topik utama di batang tubuh tulisan itu: Tukang Parkir.

Saya tidak tahu jelas, sejak kapan tukang parkir menjadi sebuah profesi. Yang jelas, hampir setiap saat saya bertemu dengan tukang parkir. Di kampus, di supermarket, di pusat perbelanjaan, di warung kopi, di rumah makan, dan tempat-tempat lainnya, tukang parkir lumrah ditemukan. Sederhananya, ketika anda memasuki ruang publik, mau singgahnya sebentar atau lama, bunyi “priit” bak irama yang hendak melepaskan kepergian anda dari tempat tersebut.

Ketika mendengar bunyi itu, anda harus merogoh kantong dan mengeluarkan uang, lalu memberikannya kepada si tukang parkir. Tarifnya bisa beragam, ada yang seikhlasnya, juga ada yang ditentukan sesuai durasi waktu anda memarkir kendaraan, serta jenis kendaraan apa yang anda parkir.

Golongan pertama, biasanya didapati di swalayan, tempat makan, warung kopi atau ruang publik lain yang tak memiliki lahan parkir khusus. Sementara golongan kedua, biasanya dijumpai di bandara, di pelabuhan, di mall atau di tempat-tempat lain yang memiliki lahan parkir khusus.

Tapi tidakkah kita pernah bertanya, mengapa banyak orang yang rela menjadi tukang parkir? Mungkin saja, kita berasumsi, mereka (baca: tukang parkir) adalah mereka yang kurang kerjaan. Ya, bagi Dandhy Dwi Laksono, mereka adalah orang-orang yang sengaja dianggurkan oleh negara. Mereka adalah orang-orang yang terpinggirkan (baca: dipinggirkan) oleh negara karena tidak memiliki persyaratan kerja yang disediakan oleh negara. Salah satunya ijazah dari sekolah.

 Tak hanya itu, negara yang menjadikan neoliberalisme sebagai rasion d’etre-nya, privatisasi atau swastanisasi menjadi sebuah keniscyaan. Mereka yang tak sanggup mengenyam pendidikan di bangku sekolah, memiliki lebih sedikit peluang atau bahkan tidak ada sama sekali untuk merasakan nikmatnya menerima gaji secara tetap.

Makanya, jangan heran jika menemui tukang parkir yang usianya seumuran anak sekolahan. Tak hanya usia anak sekolahan, ibu-ibu juga sering didapati menjadi seorang tukang parkir. Selain tak memiliki ijazah, mereka juga (diasumsikan) tak memiliki kemampuan yang sesuai dengan standarisasi dunia kerja.

Karena privatisasi dan swastanisasi, standar kerja yang diterapkan dewasa ini di Nusantara adalah memiliki kemampuan “meritokrasi” yang sesuai dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sebut saja contohnya, lembaran portofilio yang diserahkan kepada HRD sebuah perusahaan. Lembaran portofolio berisi data diri, yang setidaknya mencantumkan tiga hal: pendidikan terakhir disertai ijazah, pengalaman kerja sebelumnya, dan kemampuan atau skill yang dimiliki.

Seperti yang dilansir oleh Kontan.CO.ID (14/07/2020), PT Perkebunan Nusantara Group, disingkat PTPN Group, salah satu perusahaan BUMN, menjadikan lulusan S1/D4 sebagai persyaratan umum untuk melamar pekerjaan diperusahaan tersebut. Tak tanggung-tanggung, IPK minimal 2.75 dari skala 4.00 untuk PTN dan 3.00 dari skala 4.00 untuk PTS juga dijadikan sebagai salah satu syarat.

Bagi mereka yang tak dapat menikmati bangku perkuliahan, sudah tentu tidak dapat melamar kerja, jika S1/D4 menjadi standarisasi minimal untuk melamar kerja. Sekalipun perusahaan tersebut milik negara. Belum lagi jika perusahaan itu milik swasta. Sederhananya, hanya orang kaya yang dapat bekerja dan mendapatkan gaji!

Selain privatisasi dan swastanisasi, terma lain yang dibawa oleh gelombang neoliberalisme adalah komersialisai. Hampir semua ruang publik dijadikan sebagai tempat memupuk pundi-pundi keuangan, termasuk lahan untuk parkir.

Olehnya, sekali lagi jangan heran, jika melewati gerbang bandara, meskipun hanya menurunkan atau menjemput penumpang, anda dikenakan tarif (sewa lahan) parkir sebesar Rp. 6.000. Itu tarif motor, belum lagi mobil.

Anehnya, jika anda kehilangan barang bawaan yang terlupa di kendaraan, pihak penyewa lahan parkir tidak bertanggung jawab. Alasannya, barang yang hilang bisa saja lebih besar biayanya tinimbang tarif (sewa lahan) parkir.

Tampaknya, benar apa yang ditabalkan oleh Dandhy, kini kompleks parkir bertiwikrama. Dulunya menjaga dan mengawasi kendaraan. Kini bersulih menjadi menyewakan lahan.

Kopi dicangkirku pun tandas. Indonesia For Sale juga telah kutamatkan. Waktunya menunaikan mahar si secangkir kopi. Saat menuju parkiran, belum lagi duduk di motor, “Priiit” sudah menyapa.

“Dua ribu boss!”


Sumber gambar: https://prospect.org/economy/neoliberalism-political-success-economic-failure/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *