Politik seharusnya adalah wahana kontestasi gagasan, pemikiran, dan visi kolektif atas kehidupan publik.
Ia ruang lingkup peminimalisir keadaan alamiah manusia (state of nature) berupa sikap serakah, impulsif, dan agresif agar tidak menggerogoti urusan publik. Keadaan yang dalam filsafat politik ala Thomas Hobbes sebagai homo homini lupus ini mesti dikontrol melalui kehadiran suatu badan institusi imperatif pengatur kehidupan masyarakat.
Itulah sebabnya, didorong keinginan memiliki kehidupan bersama, kelompok-kelompok berbasis tribalisme, kabilah, atau semacamnya membentuk perjanjian sosial untuk menjamin kebersamaan mereka.
Asumsi ini dikisarkan kepada pemahaman bahwa individu secara bawaan akan bertindak sembrono jika ia tidak hidup di dalam aturan sistem tertentu, yang besar kemungkinan jika tidak diikat kontrak terjerumus ke dalam kehancuran bersama.
Perjanjian bersama, yang kelak diinstitusionalisasikan ke dalam macam-macam bentuk pemerintahan, dalam masa tertentu bertindak sebagai penjamin keamanan, kesejahteraan, dan kemakmuran anggota-anggotanya.
Tapi, ada masa ketika institusi ini korup dan mengancam kehidupan publik. Kesadaran kritis akhirnya muncul, dan dalam sejarah massa rakyat menggulingkan rezim –rezim semacam ini.
Setelah kehancuran institusi lama (kerajaan; kesultanan; gereja), lahirlah pemerintahan modern berbasis kedaulatan rakyat. Kekuasaan Tuhan, dewa-dewa, atau tilikan metafisis yang mengklaim dititis melalui raja-raja dan bangsawan seketika pudar berganti kedaulatan rakyat. Vox populi, vox dei. Suara rakyat adalah suara Tuhan.
Tanpa pemerintahan semacam ini, manusia akan hidup dalam keadaan belenggu buta jika tidak berupa tatanan chaotik: tak bertujuan, bebas, dan tanpa aturan. Dua tatanan seperti ini kerap dikhawatirkan akan mengancam kedaulatan bersama, dan membuat kehidupan publik bergerak menuju kehancuran.
Sadar atau tidak, tesis ini mengandaikan wilayah pemerintahan adalah entitas yang tinggi sekaligus suci, dikarenakan berisi figur-figur elite berkapasitas di atas rata-rata. Secara pemikiran, para elite ini dapat diandaikan sebagai ”filsuf kepala” versi Plato yang berpikir melalui terang akal budi.
Secara moral, figur-figur ini berperangai nyaris seperti malaikat, tanpa cacat dan cela. Sebagai elite politik, ia bahkan mesti mewakili kebenaran suara Tuhan yang dimenangkan di dalam dan bersama suara rakyat.
Sebaliknya, entitas di luar wilayah pemerintahan (politik), adalah ranah yang demikian abu-abu. Suatu wilayah yang belum bisa dengan baik memilah yang mana kebenaran dan yang mana opini. Di wilayah ini, kebenaran seolah-olah nyaris hilang ditenggelamkan opini umum yang liar dan berkembang biak.
Dikotomi ini, sekian lama menjadi platform kesadaran umum, yang memandang politik adalah wujud akal budi; wujud rasionalitas bersama, yang bergerak beriringbersama di antara elite-elite politik ketika berpikir wacana dan bertindak politik.
Semua tindakan berdasarkan akal budi ini, tidak pernah dilakukan di luar dan dipuncaki dalam forum yang disebut parlemen (dari kata Parler: ”untuk bicara”). Meja tertinggi para elite politik mengambil kebijakan dan keputusan.
Di atas meja-meja inilah—yang kadang berbentuk tapal kuda/lingkaran—dialektika, kritisme, hak tanya dan jawab digelar, menentukan nasib publik secara reguler selama lima sampai sepuluh tahun.
Karena itu, di atas meja ini kepentingan pribadi wajib dibelakangkan. Tidak ada lagi identitas pribadi di atas meja ini, melainkan karena telah berubah menjadi figur politik, sosok yang milik umum. Di atas meja ini figur politik diarahkan melalui akal budinya, suatu timbangan yang bertugas memilah yang mana kebenaran dan yang mana sebaliknya, yang semuanya ditilik dari rakyat sebagai sumber kekuasaannya..
Meja parlemen, karena sifanya demikian adalah meja rakyat, yang berdasarkan sistem diwakili pelayan-pelayan rakyat.
Meja sebagai sarana politik juga bisa menjadi medium negoisasi untuk mendeklarasikan kesatuan otonom dari kolonialisme.
Strategi politik meja, pernah dicatat dalam sejarah kemerdekaan Indonesia ketika terbentuknya Konferensi Meja Bundar 1949. Para Founding Father saat itu menggunakan meja runding sebagai instrumen politik kemerdekaan sampai ke Den Haag negeri Belanda. Meja konferensi adalah wahana politik untuk mendebat, negoisasi, saling silang keyakinan politik.
Founding Father mengyakini dengan baik, perundingan melalui meja, yang mengikutkan perjanjian Linggar Jati, Renville, dan Roem-Royen sebelumnya, adalah cara pikir untuk merebut kedaulatan yang sudah diumumkan sejak 1945. Selain politik fisik, kemerdekaan juga mesti menempuh menggunakan kelenjar syaraf intelektualisme. Mesti menggunakan politik pemikiran. Politik berskala besar dan ideologis.
Pemerintahan tanpa politik meja, hanya akan menuangkan kebijakannya tanpa bobot pemikiran. Ia hanya argumen di atas kertas tanpa dialektika, tanpa kajian, dan pendalaman. Pemerintahan tanpa politik meja hanya akan jatuh menjadi pemerintahan barbar yang membuat rakyat ambyar.
Meski begitu, iktikad dan ikhtiar baik di atas meja politik sering rusak di atas papan meja lain: meja makan.
Di atas meja makan, perut menjadi basis pemikiran, bukan sebaliknya.
Politik bergaya meja makan merupakan pembalikan gaya politik parlemen yang dirangsang dan diwarnai gagasan-gagasan. Di atas meja parlemen, wacana politik adalah wacana ilmiah yang dibuklet dalam bentuk draf, rancangan, atau makalah hasil kajian pikir.
Sebaliknya, politik ala meja makan tidak sama sekali menyertakan draf hasil pemikiran, perdebatan, usulan, yang mencerminkan pertemuan kepentingan publik. Di atas meja makan, urusan politik tidak relevan terkecuali urusan bagi-bagi jatah. Tidak ada silang visi dan misi dalam politik gaya meja makan.
Jika figur politik meja parlemen adalah manusia politik, maka di atas ”konferensi” meja makan gelagat figur politik dulucuti menjadi sekadar perwakilan kelompok kepentingan, bahkan diri pribadi. Di atas meja makan, pelayan rakyat hilang berubah menjadi pelayan perut yang bergerak atas dasar kerakusan.
Lain hal meja parlemen, kelahiran perbedaan dari gagasan, yang sulit berkompromi di atasnya, bisa dengan mudah bertemu tanpa perlawanan di atas jamuan politik meja makan. Di politik meja makan, seluruh kepentingan tersembunyi cair begitu rupa dan tanpa tedeng aling-aling. Semua gamblang kebagian asal sama-sama kenyang.
Politik meja makan bukan barang baru, sebenarnya. Politik gaya ini sering menjadi alternatif terakhir ketika negoisasi di meja parlemen menemukan jalan buntu, yang dalam kenyataannya mengintervensi politik meja parlemen.
Jadi ada dua macam politik meja makan. Pertama meja makan dijadikan ajang lobi-lobi kekuasaan, di dalamnya diputuskan strategi dan taktik sebelum melakukan manuver politik sesungguhnya. Kedua, meja makan menjadi intrumen transaksi bagi hasil karena sudah tidak mungkin lagi dilakukan bebas melalui ”amplop” di “bawah meja.”
Politik meja makan sudah banyak makan korban. Entah secara langsung atau tidak, melalui dua macam politik meja makan peta musuh dan kawan dikarakterisasi dan ditentukan. Belakangan banyak korban diciduk saat pelaku politik meja makan melakukan kegiatan gaya kedua. Di atas meja makan karena kualat terhadap hak publik berbalik menuai tulah. Bukannya berjalan seperti harapan terselubung, eh sialnya malah keburu ditangkap.
Tapi, yang cilaka sebenarnya adalah saat semuanya sudah beres diputuskan melalui perjamuan makan, justru di atas keranjang tidurlah si pelaku diciduk. Ini satu tanda, tidak ada ranjang yang nyaman bagi pelaku politik meja makan.
Sumber gambar: https://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_Meja_Bundar
Blogger paruh waktu. Ayah dari Banu El Baqir dan Laeeqa Syanum. Penulis buku Jejak Dunia yang Retak (2012), Kawan Rebahan: Eksistensialisme, Tubuh, dan Covid-19 (2021).