Sedikit bercerita tentang sensasi yang saya rasakan saat mulai membaca buku ini. Awalnya, saya menyangka isi buku ini akan penuh dengan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist yang cukup berat untuk dipahami oleh orang yang tidak memiliki pengalaman mondok seperti saya, namun setelah menjajaki kalimat demi kalimat, lembar demi lembar, ternyata tidak seberat apa yang saya sangkakan dari awal. Membaca buku ini rasanya sedang berbicang santai dengan Ibu Dr. Nur Rofiah, Bil. Uzm, seorang Dosen tafsir di Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta, sang penulis.
Buku yang berjudul Nalar Kritis Muslimah; Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman membahas tentang bagaimana konsep keadilan gender dalam Islam, menelusuri asal muasal kesadaran dan keadilan gender Islam, jati diri perempuan dalam Islam sampai pada pembahasan RUU PKS.
Buku ini juga bisa menjadi bahan bacaan untuk para pengantin baru yang sedang sayang-sayangnya agar bisa mengetahui apa yang menjadi hak dan kewajiban pasangan suami dan isteri dalam bahtera rumah tangga menurut Islam. Itu penting, agar tidak terjebak dalam kebucinan yang tak bernalar.
Menurut saya, buku ini mengajak kita untuk selalu menggunakan kaca mata gender dalam melihat fenomena sekeliling kita. Nyai Nur Rofiah menulis ;
“Seperti lensa yang menempel di mata, begitulah gender sebagai perspektif. Ia penting digunakan dalam melihat segala hal.” Hal 16
Bagaimana konsep keadilan gender dalam Islam? Buku ini menjelaskan bahwa adil itu adalah mampu memberikan ruang berdasarkan kebutuhan. Kebutuhan bisa dilihat dari pengalaman sosial dan pengalaman biologis yang dialami laki-laki dan juga perempuan. Ada perbedaan serta persamaan antara pengalaman laki-laki dan pengalaman perempuan yang mana itu dijadikan sudut pandang dalam melihat atau menganalisis keadilan gender. Misalnya pengalaman biologis pada perempuan adalah menstruasi, mengandung, melahirkan, menyusui dan menopause.
Pengalaman perempuan memiliki durasi waktu yang cukup lama, ada yang berhari-hari, berbulan-bulan bahkan menahun. Hampir semua dari pengalaman biologis perempuan memberi efek sakit kepada perempuan (QS Luqman 31: 14).
Pengalaman biologis laki-laki adalah membuahi danitu tak jarang memberikan efek kebahagiaan atau kenikmatan untuk laki-laki. Masuk pada pengalaman sosial. Bisa terbayangkan bagaimana pengalaman sosial perempuan yang hidup dalam sistem sosial bersifat patriarki. Stigmatisasi perempuan yang misoginis, marginalisasi, subordinasi, beban ganda, ditambah lagi dengan kekerasan yang kerap dilakukan orang-orang terdekatnya. Laki-laki tak jarang dimanjakan oleh sistem patriarki. Berdasarkan pengalaman biologis dan pengalaman sosial tersebut dapat dilihat bagaimana konsep adil yang bisa diberlakukan.
Islam menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber hukumnya. Namun, yang kita baca dan pelajari selama ini adalah tafsir tentang Al-Qur’an. Al-Qur’an itu dari Allah SWT, sedang tafsir tentang Al-Qur’an itu dari manusia yang sifatnya subjektif. Al-Qur’an dari Allah SWT pastilah adil, tafsir tentang Al-Qur’an dari manusia belum tentu adil.
Maka dari itu, ketika ada tafsir Al-Qur’an yang merugikan salah satu makhluk-Nya, tak ada larangan untuk kita menelaah kembali tafsir tersebut secara kritis. Semisal, ada tafsiran ayat yang membolehkan untuk memukul isteri ketika tidak mematuhi suami. Tapi di ayat yang lain, suami dan isteri diminta untuk tetap saling bergaul secara bermartabat bahkan ketika sedang marah.
Contoh lain, perempuan yang sedang mengalami menstruasi. Tak jarang perempuan yang menstruasi dianggap tidak suci, dianggap najis sebab dilarang untuk melaksanakan salat, dianggap kotor sehingga wajar untuk dijauhi bahkan dilarang untuk digauli oleh suaminya sebab keadaannya yang tidak suci. Padahal, jika ditilik kembali, perintah untuk tidak melaksanakan salat bagi perempuan yang sedang menstruasi adalah perintah dari Al-Qur’an jadi perempuan tidak salat pada saat menstruasi sebenarnya telah melakukan perintah dari Allah SWT, sama halnya dengan melaksanakan salat pada saat selesai menstruasi.
Tidak digauli saat menstruasi sebab Allah SWT ingin memberikan waktu istirahat pada tubuh perempuan, memberikan peremajaan kembali pada tubuhnya. Tapi pandangan yang hadir cenderung misoginis terhadap perempuan yang tengah menstruasi.
Hal yang terkesan sepele itu seharusnya memberikan ruang renung pada kita, apakah kita selama ini telah menjalankan perintah Allah SWT, atau hanya sebatas merasa telah menjalankannya? Tuhan menciptakan manusia sebagai hambanya, laki-laki dan perempuan sama-sama diberi mandat sebagai khalifah fil ardh, sama-sama memiliki tanggung jawab untuk kemaslahatan lingkungannya.
Derajat manusia dilihat dari ketakwaannya. Takwa itu tidak hanya menjalin hubungan baik dengan Tuhan, tapi juga menjalin hubungan baik dengan makhluk ciptaan Tuhan. Jadi bagi yang merasa memiliki Tuhan dan ingin menjadi hamba yang takwa, maka tak ada alasan untuknya berbuat buruk kepada sesama makhluk ciptaan-Nya, tak ada alasan untuk merendahkan apalagi mengekploitasi perempuan dan alam. Sudut pandang gender pun demikian, tak ada yang superior dan tak ada yang inferior, yang ada hanyalah pembagian peran yang adil.
Belajar tentang gender bukan untuk mendikotomikkan antara perempuan dan laki-laki, bukan untuk melihat siapa yang lebih superior dan siapa yang inferior, bukan untuk melihat bagaimana kejamnya laki-laki terhadap perempuan, tapi lebih kepada bagaimana laki-laki dan perempuan saling terkait atau bahkan saling terikat dalam meraih cita dan cinta kemanusiaan. Belajar gender akan melatih diri untuk menerima kelebihan pun keterbatasan yang kita miliki dan tentu itu akan membuka mata kita tentang adanya ruang saling melengkapi, saling membutuhkan, dan saling memahami bahwa ketiadaan yang satu akan meniadakan yang lainnya.
Judul buku: NALAR KRITIS MUSLIMAH, Refleksi atas Keperempuanan, Kemanusiaan dan Keislaman.
Penulis: Dr. nur Rofiah, Bil.Uzm.
Tahun Terbit: Agustus, 2020.
Alumnus Sosiologi UNM. Koordinator di Malebu Institute of Sociology Makassar