Naar de Tokyo : Indonesia, Ik Hou van Jou

Kabar terakhir kudengar bahwa Jepang mulai terdesak oleh Amerika Serikat dan Sekutu, di satu sisi lain kawan kami di Eropa telah kolaps, Musollini tertangkap oleh partisan Italia, Hitler memutuskan bunuh diri di bunkernya bersama perempuan yang baru dinikahinya, Eva Braun. Bahkan pada Mei lalu Jerman-Nazi telah menyerah kepada sekutu. Maka praktis sasaran bedil kemudian terpusat ke Jepang.

Duta besar kami di Moskwa mengirimkan telegram ke Tokyo bahwa ada gelagat Uni Soviet akan menyerang Jepang melalui Manchuria, beberapa pembesar di Tokyo lebih memilih berperang dengan Amerika Serikat tinimbang Uni Soviet. Negeri yang dijuluki Paman Sam itu masih memiliki sedikit nurani dalam berperang dan masih memandang hormat pada kaum bangsawan, sedangkan Uni Soviet tidak akan ragu menghabisi para bangsawan kaisar Jepang sebagaimana ketika Revolusi Bolshevik yang memakan korban para bangsawan Rusia.

Saya mendengar langsung dari sahabatku yang duta besar di sana, bahwa malam itu Tsar Nicholas II dan sekeluarga dibangunkan oleh sekelompok tentara dan menuntunnya ke suatu tempat, di sana mereka  dihabisi oleh pasukan merah dengan berondolan senjata.

Hal itulah yang membuat para pembesar Jepang memiliki ketakutan tersendiri, jika Pasukan Merah berhasil merangsek ke Tokyo, bisa jadi nasib kasiar kami akan sama dengan nasib yang ditimpakan Tsar Nicholas II.

Di Jakarta sendiri, tanda-tanda kejatuhan Jepang mulai nampak, masyarakat mulai memasang Bendera Merah Putih, berdampingan dengan bendera Jepang, Hinomaru. Selain itu pimpinan militer setempat mengeluarkan kebijakan membolehkan masyarakat menyanyikan lagu Indonesia Raya, tentunya setelah mereka menyanyikan lagu Kimigayo. Kejatuhan itu semakin nampak kala semalam saya mendapat kabar bahwa Iwo Jima dan Okinawa telah digempur sekutu.

“Apa yang harus kulakukan?” tanyaku pada diri sendiri, sembari memerhatikan arloji, kurang sejam lagi pesawat yang akan memberangkatkanku dari Kemayoran ke Singapura akan lepas landas.

Sejenak kuperhatikan ruang tunggu bandara, sedang riuh rendah para polisi miiliter Jepang membicarakan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Dari informasi kudengar, Kumakichi Harada telah menetapkan berdirinya Dokuritsu Junbi Cosakai yang diketuai oleh Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat. Surat kabar yang kubaca pagi ini juga mengonfirmasi desas-desus itu. Melalui surat kabar ini, kuketahui bahwa beberapa anggota Dokuritsu Junbi Cosakai ialah Hatta, Sukarno, dan Yamin.

Seorang porter bandara menghampiriku, ia warga pribumi, dalam bahasa Jepang yang fasih, porter itu meminta tuk segera menuju aprone bandara, pesawat yang akan kutumpangi menuju Singapura telah siap berangkat. Saya tersenyum kepadanya, ia—lelaki pribumi yang fasih berbahasa Jepang—kemudian memberikan takzim dan menuntunku menuju aprone.

Sepanjang perjalanan dari ruang tunggu Bandara Kemayoran ingatanku berkelebat di masa-masa awal kedatanganku sebagai mata-mata di Tanah Hindia. Penempatan pertamaku di Kota Makassar, untuk menuju ke kota itu, saya harus menumpang pesawat dari Tokyo menuju Dalat, Vietnam. Selepas itu pesawat mengudara menuju Singapura, dari Singapura perjalanan udara berlanjut ke Kemayoran, Bandar Udara di Jakarta, kala itu Jakarta masih bernama Batavia.

Di Jakarta saya beberapa hari menginap, lalu perjalanan dilanjutkan melalui darat, menuju Surabaya, menyusuri Tanah Jawa yang begitu luas, sepanjang perjalanan begitu banyak nyiur yang melambai. Sesampainya di Surabaya, saya langsung menuju Tanjung Perak, dari pelabuhan inilah saya menyusuri lautan biru menuju Makassar.

Sepanjang perjalanan saya dibuat takjub oleh birunya langit, hangatnya mentari, dan luasnya samudera. Ketika kapal yang kutumpangi bersandar di Makassar, saya melihat pemandangan pergudangan yang penuh dengan beras dan kopra, dua komoditas yang bagi warga setempat membawa pundi-pundi gulden dan tentunya kekayaan.

Sebagai seorang dari Timur Asing, saya kemudian melapor kepada pejabat setempat, tentunya juga membawa semacam pass tinggal. Pejabat yang kutemui adalah seorang Belanda bernama H.F. Brunne, pertama bertemu, ia terkesima, karena kemampuan berbahasa Belandaku yang cukup fasih. Belakangan baru kuketahui, bahwa pejabat Belanda yang kutemui itu adalah Walikota Makassar. Ia mulai menjabat sejak tahun 1936 hingga tahun 1942.

H.F. Brunne kemudian memberikan izin untuk tinggal di sekitar kawasan Vladingaren yang jaraknya hanya selemparan batu dari Chinesse Wijk. H.F. Brunne juga sempat mengisahkan kepadaku, mengenai Kota Makassar, bagaimana penduduknya, serta cara bersikap terhadap masyarakat pribumi.

Ia memberikan satu pesan agar menjalin keakraban dengan penguasa lokal, terutama para bangsawan kerajaan, juga menjalin hubungan baik dengan para pedagang Tionghoa, Arab, serta Melayu.

Di Makassar, saya membuka sebuah toko kelontong serta bengkel sepeda, kadang kala juga menyewakan sepeda. Ada beberapa pelanggan setiaku, namun paling berkesan adalah seorang pemuda cerdas yang juga bangsawan Kerajaan Gowa, ia rupanya menempuh pendidikan di Kota Makassar.

Padanya saya mengenal tentang adat-istiadat masyarakat Makassar, termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dijalankannya. Saya pernah mendengar, bahwa masyarakat Makassar itu sangat menghargai kejujuran, ia mengibaratkan kejujuran sebagai bilah bambu yang terapung di sungai. Jika menginjak pangkalnya, akan muncuk pokoknya, jika menginjak pokoknya, akan muncul pangkalnya.

Kadang juga, saban sore hari, bangsawan dari Kerajaan Gowa itu membawaku melihat pertandingan Berburu jonga, saya heran jonga itu apa? Rupanya Jonga adalah rusa. Karena di daerah itu banyak ditemui jonga, maka masyarakat setempat menamai daerah tersebut dengan jongaya.

Kulihat Porter telah menaikkan barang bawaanku di kabin pesawat, ia kemudian mengumbar senyuman kepadaku. Saya lalu membukukkan badan, memberikan pernghormatan kepadanya, lalu menjabat tangannya. Ia lantas pamit meninggalkanku, sedang saya hanya duduk lalu memandang keluar melalui jendela pesawat terbang. Ingatanku kemudian melayang pada peristiwa penyerangan Jepang ke berbagai daerah termasuk di Makassar.

Saat itu begitu jelas, pesawat Jepang mengangkasa di langit Kota Makassar, bom-bom dimuntahkan, salah satu sasarannya adalah Fort Rotterdam, pada salah satu bastionnya luluh lantah terkena bom. Masyarakat kota dilanda ketakutan, namun ketakutan yang paling nyata terpampang di wajah orang-orang Belanda.

Situasi yang semakin kacau itu membuatku mengambil keputusan segera mungkin ke luar kota dan mengungsi di Barombong, musababnya menghindari kemungkinan ditangkap oleh orang-orang Belanda. Bagaimanapun negaraku telah mengemundangkan genderang perang.

Tujuanku ke Barombong karena di sanalah lokasi pendaratan tentara Jepang, dengan demikian kemungkinan selamat dari sergapan Belanda sangat tinggi.

Ketika Tentara Jepang berhasil mendarat, sesegera mungkin saya menunggu momen tepat dan keluar dari persembunyian, menemui mereka. Awalnya ia hampir menembakku, tetapi setelah berseru dalam bahasa Jepang, moncong bedil itu kemudian diturunkan.

Satu kebetulan karena komandan regu tentara Jepang rupanya masih karib saya, hal itu membuat diriku ini dijadikan penasehat militer lapangan. Saya kemudian menyarankan kepadanya agar bersikap simpatik pada warga pribumi, agar memudahkan jalan menuju Makassar. Bagaimanapun, warga pribumi masih menaruh dendam kesumat kepada Belanda, apatah lagi peristiwa Perang Gowa terkahir di tahun 1905-1906 masih membekas di hati mereka.

Perjalanan menggempur Makassar begitu mudah, beberapa pembesar Belanda mengungsi ke pedalaman, di antaranya Camba dan Sengkang. Pasukan Jepang mengejarnya hingga ke Camba. Beberapa batalyon dari Pare-Pare juga mulai merangseng masuk menuju Barru, lalu ke Soppeng, kemudian menuju Sengkang.

Tidak butuh waktu lama memaksa Belanda menyerah. Takluknya Belanda membuka mata kaum pribumi, bahwa bangsa Asia mampu mengalahkan bangsa Eropa.

Pesawat kini lepas landas dari Kemayoran, perjalanan menuju Singapura akan memangsa waktu cukup lama, dari Singapura pesawat akan menuju Dalat, lalu dari Dalat ke Hongkong, dan akhirnya ke Tokyo.

Saya mengembuskan nafas, lalu sejenak mataku melirik pada koper yang ukurannya tidak terlalu besar, isinya catatan perjalananku selama lima tahun di Tanah Hindia. Entahlah, meninggalkan tanah di bawah garis khatulistiwa ini membuatku sedih, tentunya ada kenangan indah yang pernah tergores.

“Sayonara Indonesia, selamat tinggal tanah di bawa garis khatulistiwa, tanah dengan nyiut melambai, tanah yang sebentar lagi merdeka, tanah yang bernama Indonesia.”

 “Indonesia, Ik Hou van Jou….” dan pesawat terbang pun lepas landas, mengangkasa membawaku menuju Negeri Matahari Terbit.


Sumber gambar: www.kompas.com/skola/read/2020/04/16/193000169/tiga-wilayah-pemerintahan-militer-jepang-di-indonesia?page=all

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *