Penghujung purnama kedua di 2021, saya lewati dengan sepucuk kebahagiaan. Sebab, pada bulan Februari itu, saya merayakan hari lahir. Tapi tidak dengan masyarakat Myanmar yang jauh di sana. Sejak hari pertama di bulan itu, Myanmar mengalami konflik politik yang diakibatkan oleh kudeta militer.
Seperti yang dilansir oleh CNBC Indonesia (28/02/2020): “Kudeta, yang menghentikan kemajuan Myanmar menuju demokrasi, telah membawa ratusan ribu pengunjuk rasa ke jalan-jalan dan menuai kecaman dari negara-negara Barat, dengan beberapa bahkan menjatuhkan sanksi terbatas kepada negara eks Burma ini”.
Ada banyak alasan mengapa kudeta militer ditolak oleh banyak orang. Salah satunya, kudeta militer hanya berujung pada otoritarianisme. Selain itu, kudeta militer juga melahirkan supremasi militer. Ahmet T. Kuru (2020), penulis asal Turki, dalam buku anggitannya, Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan, menjelaskan, kudeta dan supremasi militer di dunia Islam, menyebabkan otoritarianisme dan kemunduran.
Sebut saja contohnya, Dinasti Abbasiyah, yang harus takluk akibat kudeta militer yang dimotori oleh Dinasti Buwaihi. Kudeta militer itu menginvasi Baghdad dan mengontrol khalifah Abbasiyah, pada 945. Kaum intelektual, pedagang dan ulama independen yang tak mau mengakui kedaulatan Dinasti Buwaihi, dipersekusi.
Meski sedikit berbeda dengan Dinasti Abbasiyah, Dinasti Turki Ustmaniyah diserang oleh Pasukan Yenicheri. Awalnya, Pasukan Yenicheri adalah pasukan kavaleri yang mengabdi pada kekhalifahan. Tetapi, karena penghasilan pajak tanah yang diberikan kepada tentara (baca: iqta) dianggap kurang, pasukan kavaleri itu menyerang kekhalifahan. Tak sampai di situ, observatorium Istanbul, tempat penelitian ilmiah harapan terakhir Dinasti tersebut, hancur oleh serangan itu.
Arkian, Indonesia pun mengalami hal yang sama pada Orde Baru. Di bawah tampuk kepemimpinan Soeharto, hampir-hampir tidak ada sosok intelektual kreatif yang bisa panjang umur. Bahkan genosida intelektual di kampus terjadi di era kepemimpinan Soeharto. Selain persekusi, otoritarianisme sarat akan praktek KKN. Serta membikin negara cenderung despotik, contohnya, Keluarga Cendana.
Namun, tak semua negara yang mengalami buruknya dampak dan akibat pemimpin otoriter, disebabkan oleh kudeta militer. Tapi, setidaknya, otoritarianisme berkait-kelindan dengan supremasi militer. Satu lagi, jika supremasi militer menjadi pilar utama dalam bernegara, despotisme tak dapat dielakkan. Singkatnya, negara yang dipimpin secara otoriter, supremasi militer dan despotisme bak sepasang sisi pada selembar uang.
Meski terungku pagebluk korona tak kunjung usai, hal itu tidak menyusutkan gairah masyarakat Myanmar untuk melakukan agenda demokratisasi. Tak tanggung-tanggung, harga yang harus dibayar oleh masyarakat Myanmar sangat mahal. Bahkan, saya rasa, hingga saat ini, tak ada orang yang secara terang-terangan melabeli harga terhadap nyawa seorang manusia. Berapa pun itu.
Tentunya, 54 orang yang tewas akibat tindakan represif bukan jumlah yang sedikit. Artinya, kudeta militer bak malaikat pencabut nyawa yang efisien bagi 54 orang rakyat Myanmar yang memperjuangkan demokratisasi. Seperti yang dilansir oleh Kompas.com (04/03/2021): “Sedikitnya 54 orang pengunjuk rasa dan 1.700 lebih pedemo lainnya ditangkap, sejak kudeta militer terjadi pada 1 Februari…”
Senada dengan hal di atas, beberapa waktu lalu, warganet dihebohkan oleh berita kematian seorang aktivis perempuan Myanmar. Detiknews mengunggah berita yang diberi tajuk “Kisah Gadis 19 Tahun Ditembak Mati Saat Demo Myanmar, Donasikan Tubuhnya”. Mari saya nukilkan secara verbatim sebagian yang ditulis oleh Detiknews (04/03/2021): “…, Angel, atau … Kyal Sin, tewas tertembak di kepala dalam unjuk rasa di jalanan kota Mandalay…”.
Mungkin saja, bagi beberapa orang, tindakan Kyal Sin, seorang remaja tanggung berumur 19 tahun, ikut berunjuk rasa adalah hal yang konyol. Seharusnya, dia hanya boleh tinggal, dan berdiam diri di dalam rumah. Melakukan apa saja di dalam rumah, asal tidak ikut demo. Urusan demo, biarkan yang lebih tua dan laki-laki yang kerjakan.
Tapi, Kyal Sin bukan perempuan remaja yang memilih tinggal di dalam rumah. Baginya, demokratisasi negaranya dan menjatuhkan kudeta militer lebih penting dari apapun. Apatah lagi, tidak ikut aksi karena alasan hanya laki-laki yang boleh. Selain itu, Kyal Sin merupakan sebentuk citra yang berbeda dari perempuan pada umumnya.
Era kiwari, tidak sedikit perempuan yang bebas dari hegemoni media, tentang apa dan bagaimana seharusnya perempuan menjalani kehidupan sehari-harinya. Kyal Sin adalah salah satu perempuan yang berhasil lepas dari jeratan itu.
Ester Lianawati (2020), menulis buku Ada Serigala Betina dalam Setiap Diri Perempuan, dan Kyal Sin, menjadi salah satu bentuk bukti yang nyata. Ya, Kyal Sin adalah serigala betina dalam rupa perempuan. Bagi Ester, serigala betina memiliki ciri khas yang unik: tegas, berani, dan otonom. Ketiganya ada pada Kyal Sin.
Kyal Sin, bertindak tegas dan berani dalam menghadapi konflik politik yang diakibatkan oleh kudeta militer di negaranya. Ia mandiri dalam mengambil keputusan dan tidak membiarkan diri dikekang oleh norma-norma. Itu, menampilkan dirinya yang otonom.
Lebih lanjut, melalui buku Woman who Run with The Wolves, Myths and Stories of The Wild Women Archetype, karya Clarissa Pinkola Estes, Ester membeberkan kesamaan antara perempuan dan serigala betina: “memiliki pengindraan yang tajam, intuisi kuat, kepedulian terhadap sesama, keberanian, … kekuatan, dan daya tahan”.
Kategori di atas, semuanya dimiliki oleh Kyal Sin—juga perempuan lainnya. Sayangnya, tepat ketika peluru senjata bersarang dalam kepalanya, membuat kemampuan serigala betina dalam dirinya lenyap seketika. Kyal Sin menjadi martir empat hari sebelum Internasional Women’s Day, dirayakan oleh segenap perempuan—juga laki-laki—diseantero alam semesta.
Tanggal 8 Maret 2021, pigura Kyal Sin, kembali memenuhi jagad maya. Kematiannya diperingati karena ketegasan, keberanian, dan kemandiriannya yang menunjukkan sikap feminitas sejati: turun ke jalan, menolak kudeta militer, meski nyawa menjadi taruhannya. Sikap yang tidak terikat dan dideterminasi oleh konvensi sosial terhadap perempuan.
Berikut potongan ode dari Ester Lianawati, yang diberi tajuk “Putri-putriku, jadilah liar”:
…
Kalian adalah seriga betina, Hypatia, prajurit perang, Jenderal Mulan
Kalian adalah perempuan
Tampilkan feminitas yang terliar
Sumber gambar: Twitter aiztafnd@
Ahmad Nurfajri Syahidallah. Aktif sebagai mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Sastra Asia Barat. Selain aktif di bidang akademik, juga aktif di beberapa Lembaga kemasiswaan. Siswa di Kelas Literasi Paradigma Institute